Sejarah Zhihar: Dari Era Pra-Islam hingga Kedatangan Islam
NU Online · Ahad, 13 Juli 2025 | 18:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Dalam sejarah peradaban manusia, relasi antara laki-laki dan perempuan telah melewati banyak bentuk peraturan dan sangat multi-tafsir. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab pra-Islam membentuk sistem kekeluargaan dan aturan rumah tangga berdasarkan adat dan kepentingan patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai sosok superior.
Di dalamnya terdapat sejumlah praktik yang meski sah secara sosial saat itu, namun sangat merugikan bagi para wanita. Dan benar memang, nasib-nasib para wanita saat ini ditempatkan di posisi yang sangat rendah, di mana seorang laki-laki boleh memperlakukannya seperti apa pun yang ia mau, dan salah satunya adalah praktik zhihar.
Zhihar yang sudah dikenal dalam tradisi Arab pra-Islam, merupakan salah satu bentuk penolakan suami terhadap istrinya dengan menyamakan sang istri dengan punggung ibunya. “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”, merupakan contoh dari ucapan zhihar tersebut. Tentu saja, praktik ini tidak sekadar ungkapan emosional belaka, melainkan memiliki konsekuensi sosial dan hukum dalam tatanan masyarakat Jahiliyah saat itu.
Kenapa harus diserupakan dengan punggung? Jawabannya adalah karena dalam tradisi masyarakat Arab, punggung dianggap sebagai simbol tempat “menaiki” atau “menunggangi”, dan perempuan dalam ikatan pernikahan sering diibaratkan sebagai “tunggangan” suaminya, dalam arti ia menjadi tempat beristirahat, bersandar, dan berhubungan.
Maka ketika seorang suami berkata kepada istrinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku,” maksud tersiratnya adalah bahwa ia tidak lagi boleh menyentuh atau istrinya sebagaimana ia tidak boleh melakukannya terhadap ibunya sendiri. (Syekh Abu Bakar Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, 1997 M], jilid IV, halaman 42).
Dalam konteks masyarakat Arab pra-Islam, zhihar menjadi budaya patriarki yang kuat, di mana posisi perempuan sering kali lemah dan rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang dari suami atau keluarga. Karena ketika seorang suami melafalkan zhihar, sang istri tidak hanya tertahan dalam hubungan yang tidak jelas, tetapi juga kehilangan hak-haknya sebagai istri maupun sebagai perempuan merdeka.
Nah, di sinilah sejarah kelamnya, bahwa zhihar menjadi salah satu budaya dari ketimpangan gender pada masa pra-Islam. Tidak ada jalur pengaduan, tidak ada juga mekanisme perlawanan, sebab ucapan laki-laki menjadi hukum yang tidak bisa diganggu gugat. Lantas, bagaimana kisah lengkapnya? Mari kita bahas.
Zhihar di Masa pra-Islam
Perlu diketahui bahwa praktik zhihar bukanlah sesuatu yang muncul setelah datangnya Islam, melainkan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Arab jauh sebelum Islam. Ia termasuk dalam tradisi lama yang diwarisi secara turun-temurun dari adat Jahiliyah, di mana laki-laki memiliki kuasa penuh atas relasi rumah tangga dan dapat memutuskan hubungan dengan istri hanya melalui ucapan tertentu.
Oleh masyarakat pra-Islam saat itu, zhihar dipandang sah secara sosial dan menjadi salah satu cara “menceraikan” istri tanpa harus memenuhi kewajiban yang seharusnya tetap ditunaikan. Maka ketika Islam datang, praktik ini sebenarnya tidak hanya dikenal luas, tetapi juga telah mengakar sebagai bagian dari norma sosial.
Namun, apakah Islam tetap menempatkan zhihar sebagai salah satu cara untuk menceraikan istri? Maka jawabannya tidak. Sebab, ada beberapa ada beberapa hal yang Islam ubah perihal ketentuan-ketentuan yang sudah mengakar di masa Jahiliyah. Benar memang, bahwa Islam mengakui adanya praktik tersebut, tetapi tidak menerimanya secara total. Pendapat ini sebagaimana oleh Imam Abu Ishaq as-Syirazi (wafat 476 H), dalam kitabnya dijelaskan:
اَلظِّهَارُ كَانَ طَلَاقًا فِي النِّسَاءِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَنُسِخَ حُكْمُهُ وَبَقِيَ مَحَلُّهُ
Artinya, “Zhihar menjadi talak bagi perempuan di masa Jahiliyah, kemudian hukumnya dihapus, tetapi bentuk (zhihar)nya tetap ada.” (al-Muhaddzab fi Fiqhil Imam asy-Syafi’i, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid III, halaman 64).
Zhihar sebagai Perkataan Bohong
Dan setelah datangnya syariat Islam, ia tidak hanya mengubah hukum zhihar saja, tetapi juga menjadikan ucapan-ucapan dzihar ini sebagai kemungkaran. Artinya, Islam tidak menjadikan kalimat tersebut sebagai ungkapan sepele sebagai sekadar ekspresi emosional atau adat yang sah saja. Tetapi ia dikecam dan menjadikannya sebagai salah satu ucapan mungkar. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَزُوراً
Artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya (menganggapnya sebagai ibu) di antara kamu, istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkannya. Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.” (QS Al-Mujadilah, [58]: 2).
Kenapa Al-Qur’an menyebut ucapan zhihar sebagai ungkapan mungkar dan dusta? Karena menurut penjelasan Syekh Muhammad Sayyid at-Thanthawi, bagaimana mungkin seorang istri yang halal bagi suami disamakan dengan ibu bagi anaknya. Allah swt tidak pernah mengharamkan istri atas suaminya sebagaimana Dia mengharamkan ibu bagi anaknya. Sebab, hubungan seorang suami dengan istrinya sangat berbeda secara total dengan hubungannya terhadap ibunya. Maka menyamakan keduanya merupakan ungkapan mungkar dan dusta.
فَهُوَ قَوْلٌ كَاذِبٌ وَبَاطِلٌ إِذْ لَمْ يُحَرِّمِ اللهُ الزَّوْجَةَ عَلىَ زَوْجِهَا كَمَا حَرَّمَ عَلَيْهِ أُمَّهُ. فَعَلَاقَةُ الْأَزْوَاجِ بِأُمَّهَاتِهِمْ، تَخْتَلِفُ اخْتِلاَفًا تَامًّا عَنْ عَلاَقَتِهِمْ بِزَوْجَاتِهِمْ
Artinya, “Maka ucapan itu adalah ucapan yang dusta dan batil, karena Allah tidak mengharamkan istri atas suaminya sebagaimana Ia mengharamkan ibunya atasnya. Sebab hubungan suami dengan ibunya sangat berbeda secara total dengan hubungan mereka dengan istri-istri mereka.” (Tafsir al-Wasith lil Qur’anil Karim, [Kairo: Dar Nahdlah, 1998 M], jilid XIV, halaman 247).
Kendati zhihar suami kepada istri dianggap ucapan bohong dan batil dalam Islam, apakah setelah suami mengucapkan dzihar urusan langsung selesai dan tidak memiliki konsekuensi apa-apa? Tentu saja tidak demikian. Ada konsekuensi tersendiri yang telah diatur oleh Islam. Sebab, suami yang mengatakan dzihar kepada istrinya tidak bisa serta merta kembali begitu saja, ada beberapa hal yang harus ia penuhi. Apa? Membayar kafarat.
Membayar Kafarat Jika hendak Kembali
Sebagaimana telah dijelaskan, suami yang men-zhihar istrinya, tidak boleh baginya langsung kembali kepada sang istri sebagaimana di hari-hari biasanya. Ia harus membayar kafarat atas ucapan tersebut. Apa kafaratnya? Al-Qur’an menegaskan bahwa kafarat dzihar adalah memerdekakan budak. Jika tidak mampu, maka berpuasa selama dua bulan secara berturut-turut. Jika masih tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin. Aturan ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan badan. Akan tetapi, siapa yang tidak mampu, (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah ketentuan-ketentuan Allah. Orang-orang kafir mendapat azab yang pedih.” (QS Al-Mujadilah, [58]: 3-4).
Pada prinsipnya, membayar kafarat di atas tergantung kemampuan sang suami (hasbal imkan). Konteks saat ini misalnya, di mana membayar kafarat dengan memerdekakan budak sudah tidak ada, maka boleh dengan puasa selama dua bulan secara terus-menerus. Jika tidak bisa, boleh juga dengan kafarat yang terakhir berupa memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Pada intinya, membayar kafarat itu wajib bagi suami yang mengatakan dzihar kepada istrinya yang hendak kembali kepadanya, dan istri tidak halal hukumnya bagi suami sebelum membayar kafarat tersebut,
إِنَّ كَفَّارَةَ الظِّهَارِ يُطَالَبُ بِهَا الزَّوْجُ عَلىَ الْفَوْرِ، أَي إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ لَهُ وَطْءُ زَوْجَتِهِ قَبْلَ التَّكْفِيْرِ بِأَيِّ الْأَنْوَاعِ الثَّلاَثَةِ، فَإِذَا وَطِىءَ زَوْجَتَهُ قَبْلَ التَّكْفِيْرِ، فَقَدْ عَصَى وَلَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ، لِأَنَّ الْوَطْءَ قَبْلَ التَّكْفِيْرِ حَرَامٌ
Artinya, “Sesungguhnya kafarat zhihar wajib segera ditunaikan oleh suami, yaitu tidak halal baginya menyetubuhi istrinya sebelum menunaikan salah satu dari tiga bentuk kafarat. Maka jika ia menyetubuhi istrinya sebelum menunaikan kafarat, sungguh ia telah berdosa dan tetap wajib atasnya membayar kafarat, karena hubungan suami-istri sebelum menunaikan kafarat itu hukumnya haram.” (Syekh Musthafa al-Khin, dkk, al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992 M], jilid IV, halaman 148).
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bagaimana Islam melakukan revolusi sosial terhadap praktik zhihar yang awalnya merupakan alat penindasan perempuan di masa pra-Islam. Jika sebelumnya zhihar menjadi senjata patriarki untuk menelantarkan istri secara sepihak, Islam datang dengan mengubahnya menjadi mekanisme pertanggungjawaban moral yang adil.
Pertama, Islam menolak legitimasi zhihar sebagai bentuk perceraian dengan menegaskan bahwa ucapan tersebut adalah “perkataan mungkar dan dusta”, karena bertentangan dengan fitrah kemanusiaan dan hukum Allah. Kedua, syariat tidak serta-merta membatalkan praktik ini, melainkan mentransformasikannya melalui sistem kafarat yang mengharuskan pelaku untuk membayarnya sebelum kembali ke istrinya. Wallahu a’lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Inalillahi, Tokoh NU, Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia KH Imam Aziz Wafat
2
Aksi ODOL Tak Digubris Pemerintah, Sopir Truk Mogok Kerja Nasional Mulai 13 Juli 2025
3
Mas Imam Aziz, Gus Dur, dan Purnama Muharramnya
4
Gus Yahya: Sanad adalah Tulang Punggung Keilmuan Pesantren dan NU
5
PM Spanyol Sebut Israel Dalang Genosida Terbesar Abad Ini
6
Al-Azhar Mesir Kecam Pertemuan Sekelompok Imam Eropa dengan Presiden Israel
Terkini
Lihat Semua