Nikah/Keluarga

Tata Cara Bayar Kafarat Zhihar atau Ungkapan Pisah Ranjang

NU Online  ·  Ahad, 13 Juli 2025 | 17:00 WIB

Tata Cara Bayar Kafarat Zhihar atau Ungkapan Pisah Ranjang

Ilustrasi pasangan suami istri. (Foto: NU Online/Freepik)

Zhihar atau ungkapan pisah ranjang merupakan salah satu budaya masyarakat Jahiliah. Ketika seorang suami membenci istrinya namun pada saat yang sama juga enggan menceraikannya, dia akan melakukan zhihar atau bersumpah li’an kepada istrinya. Konsekuensi dari zhihar lebih berat daripada talak di era Jahiliah. Sebab, perempuan tidak bisa menikah lagi setelah dijatuhi zhihar. Begitu pula tidak ada laki-laki yang bisa menikahinya. Baik mantan suaminya sendiri maupun orang lain.

 

Dengan demikian, istri menjadi terkatung-katung tidak memiliki belahan jiwa yang dapat mengayomi dirinya. Oleh karena itu, Islam hadir merevisi ketentuan zhihar dan menetapkan dosa besar bagi siapa pun yang melakukannya, Allah berfirman dalam surat Al-Mujadilah ayat 1:

 

قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِۖ وَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ ۝١

 

Artinya: “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

 

Secara etimologi, zhihar diambil dari kata “adh-dhahru” yang bermakna “punggung”. Sedangkan dalam terminologi syariah, dhihar adalah perkataan suami yang menyerupakan istrinya (yang tidak tertalak ba’in) dengan wanita yang tidak halal dinikahi oleh sang suami tersebut. Seperti ucapan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 248)

 

Konsekuensi zhihar

Jika seorang suami menjatuhkan dhihar pada istrinya, maka berlaku beberapa konsekuensi sebagai berikut:

 
  1. Jika ungkapan zhihar sang suami diiringi dengan talak, seperti setelah mengucapkan zhihar kemudian mengucapkan talak, maka hukum zhihar masuk secara otomatis ke dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan talak.
  2. Jika ungkapan zhihar tidak diikuti talak, maka tidak tercapai sesuatu yang memutuskan pernikahan. Sebab, dhihar dianggap kembali kepada perkataan suami dan bertolak belakang dengan ucapannya sendiri. Konsekuensinya, ketika suami tidak berpisah dengan istri karena telah menyerupakannya dengan salah seorang mahramnya, maka penyerupaan itu hanya dianggap pembatal dari pihak suami dan pelanggar ketentuan. Maka dalam kondisi itu, si suami hanya diwajibkan menunaikan kafarat dan kafarat itu dilakukan pada saat itu pula. (Dr. Mushthafa al-Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Daul Qalam: 1413 H], jilid. IV, hlm. 147).
 

Tata Cara Bayar Kafarat Zhihar

Terdapat 3 jenis kafarat yang dibebankan pada pelaku zhihar. Adapun tata cara kafarat di dalam permasalahan dhihar adalah dengan secara tertib (runtut). Artinya, seseorang tidak diperbolehkan memilih untuk melakukan kafarat yang kedua jika ia masih mampu untuk melakukan kafarat yang pertama. Begitu juga tidak diperbolehkan memilih untuk melakukan kafarat yang ketiga jika ia masih mampu untuk melakukan kafarat yang kedua. (Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiah Jamal ‘ala Manhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid. IV, hlm. 415)

 

Adapun mengenai penjelasan runtutan kafarat tersebut adalah sebagai berikut:

 

1. Memerdekakan budak

Budak yang hendak dimerdekakan harus memenuhi kualifikasi, yaitu pertama mukmin. Syarat mukmin ini bisa didapatkan meskipun sebab keislamannya hanya berasal dari salah satu dari kedua orang tuanya. Sehingga tidak sah menebus kafarat dengan memerdekakan budak yang Non-Muslim. Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Khathib Asy-Syirbini dalam Mugnil Muhtaj sebagai berikut,

 

أَوَّلُهَا مَا ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ (مُؤْمِنَةٍ) وَلَوْ بِإِسْلَامِ أَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَوْ تَبَعًا لِلسَّابِي فَلَا يُجْزِئُ كَافِرٌ

 

Artinya: “Syarat pertama membayar kafarat sebagaimana ucapannya (perempuan mukmin), meski sebab keislamannya hanya berasal dari salah satu dari kedua orang tuanya. Tidak sah jika budaknya adalah budak kafir.” (Syekh Khathib Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1415 H], jilid. V, hlm. 41)

 

Kedua, budak yang dimerdekakan diharuskan tidak ada aib yang dapat mengurangi kinerja dan dapat mengurangi harga. Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Khathib Asy-Syirbini dalam Mugnil Muhtaj sebagai berikut,

 

الشَّرْطُ الثَّانِي، أَنْ تَكُونَ سَالِمَةً (بِلَا عَيْبٍ) فِيهَا (يُخِلُّ) بِأَنْ يَضُرَّ (بِالْعَمَلِ وَالْكَسْبِ) إضْرَارًا بَيِّنًا

 

Artinya: “Syarat yang kedua adalah budaknya harus selamat dari aib nyata, yang bisa membahayakannya dari kinerja dan produktifitas.” (Mughnil Muhtaj, jilid. V, hlm. 41)

 

2. Puasa dua bulan berturut-turut

Apabila suami yang menjatuhkan dhihar pada istrinya tidak mampu memerdekakan budak, atau bahkan tidak menemukan budak di zaman modern ini, maka dia harus berpuasa selama dua bulan Hijriah berturut-turut, dengan niat membayar kafarat zhihar.

 

Sang suami dianggap sudah tidak berturut-turut (tatabu’) dalam puasanya jika puasanya terlewat satu hari tanpa adanya uzur, atau sebab sakit (menurut qaul jadid). Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Khathib Asy-Syirbini dalam Mugnil Muhtaj sebagai berikut,

 

فَإِنْ عَجَزَ) الْمُظَاهِرُ حِسًّا أَوْ شَرْعًا (عَنْ عِتْقٍ صَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ) لِلْآيَةِ، وَيُعْتَبَرُ الشَّهْرَانِ (بِالْهِلَالِ) وَلَوْ نَقَصَا، وَيَكُونُ صَوْمُهُمَا (بِنِيَّةِ كَفَّارَةٍ) مِنْ اللَّيْلِ لِكُلِّ يَوْمٍ مِنْهُمَا كَمَا هُوَ مَعْلُومٌ فِي صَوْمِ الْفَرْضِ

 

Artinya: “Jika orang yang melakuan dhihar (mudhahir) tidak mampu memerdekakan budak, baik karena faktor uzur syar’i maupun hissi (secara kasat mata memang tidak menemukan budak), maka ia wajib membayar kafaratnya dengan berpuasa dua bulan berturut-turut berdasarkaan ayat Al-Qur’an. Hitungan dua bulan ini didasarkan pada perhitungan kalender bulan Hijriah. Puasa ini dilakukan dengan niat untuk membayar kafarat. Berniat setiap malamnya seperti yang telah berlaku juga pada puasa wajib (Ramadhan).” (Mughnil Muhtaj, jilid. V, hlm. 48)

 

3. Memberi makan 60 orang miskin

Apabila suami yang menjatuhkan dhihar pada istrinya tidak mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut, misalnya karena sudah lanjut usia, sakit yang sudah tidak dapat disembuhkan, jika berpuasa akan sangat kesulitan, atau bahkan penyakitnya akan semakin parah, maka dia membayar kafarat dhihar dengan cara memberi makan 60 orang miskin atau fakir. Bukan kepada orang kafir, Bani Hasyim, atau Bani Muthalib.

 

Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Khathib Asy-Syirbini dalam Mugnil Muhtaj sebagai berikut,

 

فَإِنْ عَجَزَ) الْمُظَاهِرُ (عَنْ صَوْمٍ) أَوْ وَلَاءٍ (بِهَرَمٍ أَوْ مَرَضٍ لَا يُرْجَى زَوَالُهُ) (أَوْ) لَمْ يَعْجِزْ، وَلَكِنْ (لَحِقَهُ بِالصَّوْمِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ) (أَوْ خَافَ) مِنْ الصَّوْمِ (زِيَادَةَ مَرَضٍ كَفَّرَ بِإِطْعَامِ سِتِّينَ مِسْكِينًا) لِلْآيَةِ السَّابِقَةِ (أَوْ فَقِيرًا) لِأَنَّهُ أَشَدُّ حَالًا مِنْهُ، وَيَكْفِي الْبَعْضُ مَسَاكِينُ وَالْبَعْضُ فُقَرَاءُ

 

Artinya: “Jika orang yang melakukan dhihar (mudhahir) tidak mampu berpuasa karena sudah pikun, sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau tidak mampu namun merasakan kesusahan yang teramat sangat ketika berpuasa, atau bahkan dikhawatirkan bertambahnya sakit, maka ia dapat membayar kafarat dengan cara memberi makan 60 orang miskin ataupun fakir.” (Mughnil Muhtaj, jilid. V, hlm. 50)

 

Terlepas dari paparan tata cara kafarat zhihar  menurut para ulama di atas, penting untuk memperhatikan bagaimana persoalan ini diposisikan dalam hukum Islam di Indonesia. Dalam hukum positif, pisah ranjang lebih dikenal dengan sebutan ‘perpisahan meja dan ranjang’, di mana suami istri berpisah tanpa memutus ikatan perkawinan.

 

Seorang suami sudah tidak memiliki beban tanggung jawab untuk menunaikan kewajiban atau memperoleh haknya dari seorang istri, begitu pula sebaliknya seorang istri telah bebas dari kewajibannya terhadap suami serta tidak dapat meminta haknya sebagai seorang istri. Dalam hal ini suami istri tidak memiliki kewajiban tinggal berdampingan dalam satu rumah layaknya tidak ada hubungan suami istri.

 

Akibat hukum dari adanya pisah meja dan ranjang yang termuat dalam pasal 242 KUH Perdata yang menyatakan, “Karena perpisahan meja dan ranjang, perkawinan antara suami istri tidak dibubarkan, melainkan mereka dibebaskan karenanya dari kewajiban untuk berdiam atau bertempat tiggal bersama.”

 

Dari pasal di atas, dapat kita ketahui bahwa perpisahan meja dan ranjang tidak menyebabkan berakhirnya perkawinan, namun suami istri tersebut hanya dibebaskan dalam hal kewajiban yang timbul dari adanya hubungan suami istri tersebut.

 

Walhasil, dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tata cara kafarat di dalam permasalahan zhihar adalah dengan secara tertib (runtut). Artinya, seseorang tidak diperbolehkan memilih untuk melakukan kafarat yang kedua jika ia masih mampu untuk melakukan kafarat yang pertama. Begitu juga tidak diperbolehkan memilih untuk melakukan kafarat yang ketiga jika ia masih mampu untuk melakukan kafarat yang kedua.

 

Adapun bentuk kafaratnya pertama adalah memerdekakan budak mukmin yang sehat jasmani dan rohani serta giat dalam bekerja. Kedua adalah berpuasa selama dua bulan hijriah secara berturut-turut. Ketiga memberi makanan kepada 60 orang miskin. Masing-masing sebanyak satu mud (kira-kira ¾ kg) makanan pokok di negeri si pelaku. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.