Nikah/Keluarga

Terlanjur Dinikahkan oleh Bukan Walinya, Perlu Mengulang Akad?

Kamis, 2 Januari 2025 | 12:00 WIB

Terlanjur Dinikahkan oleh Bukan Walinya, Perlu Mengulang Akad?

Ilustrasi latar belakang akad nikah. Sumber: Canva/NU Online.

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya seorang perempuan, 42 tahun, sudah menikah selama 13 tahun, dan alhamdulillah dikaruniai dua orang anak laki-laki.

 

Orang tua saya, papa dulunya seorang duda dengan enam anak, kemudian menikah dengan mama. Setelah itu, lahirlah saya. Saya memiliki tiga orang kakak laki-laki. Papa sudah meninggal dunia saat saya menikah, sehingga kakak laki-laki saya yang menjadi wali pernikahan saya.

 

Namun, suatu hari saya menemukan fakta bahwa saya ternyata anak di luar nikah, alias mama saya hamil duluan. Saat itu, saya secara tidak sengaja menemukan surat nikah mama dan papa yang menunjukkan bahwa mereka menikah pada Juni 1982, sementara saya lahir pada Oktober 1982.

 

Saya ingin bertanya langsung pada mama, tetapi rasanya sangat-sangat tidak sopan. Akhirnya, saya bertanya kepada paman dan bibi saya. Mereka berkata, “Ya, mamamu dulu begitu. Papa biologismu ya papamu. Sudahlah, aib yang sudah ditutup rapat tidak perlu dibuka lagi.

 

Saya tidak kecewa ataupun marah kepada mama dan papa. Justru saya berdoa semoga Allah mengampuni mereka. Selama ini, mereka sudah menjadi orang tua yang sangat baik untuk saya dan kakak-kakak saya.

 

Namun, sejak mengetahui hal tersebut, saya merasa gelisah. Saya mulai bertanya-tanya, apakah pernikahan saya sah? Sebab, dari beberapa artikel yang saya baca, saya tidak memiliki nasab dari papa atau keluarga papa, termasuk anak-anak laki-laki papa.

 

Jika memang pernikahan saya tidak sah, apakah saya harus menikah ulang dengan menggunakan wali hakim?

 

Mohon bantuan dan penjelasannya, Ustadz/Ustadzah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Jawaban:

Waalaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh.


Penanya yang terhormat dan seluruh pembaca NU Online yang semoga selalu mendapat limpahan rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala.


Dalam mazhab Syafii, anak yang dilahirkan dalam pernikahan bisa bernasab kepada ayahnya bila lahir minimal 6 bulan lebih sedikit sejak pertemuan pertama suami istri yang memungkinkan terjadi hubungan badan setelah pernikahan.

 

Jadi semisal setelah akad nikah suami istri pernah sekamar, saat itu dimulai hitungan enam bulan. Hal ini tanpa memandang apakah telah terjadi 'kecelakaan' pra-nikah atau tidak.

 

Selama suami istri pernah melakukan hubungan badan setelah nikah, maka anak yang lahir minimal enam bulan lebih sedikit berarti bernasab kepada suami. Hal ini berdasarkan sabda Nabi dalam hadits yang mutawatir:


الولد للفراش وللعاهر الحجر


Artinya, "Anak itu ikut pemilik alas (suami). Sedang bagi pelaku zina adalah batu (hukuman rajam)." (HR Bukhari dan Muslim).


Menilik permasalahan yang ada dalam pertanyaan, dapat diketahui bahwa jarak kelahiran dengan akad nikah ternyata hanya tiga bulan. Dengan asumsi catatan itu benar, maka anak yang dilahirkan tidak bisa bernasab kepada suami. Bila anak tersebut hasil dari -maaf- perzinaan, maka ia bernasab kepada ibunya dan wali nikahnya adalah hakim. 


Kemudian bagaimana bila ternyata ketika anak tersebut menikah yang menjadi wali adalah saudara laki-laki?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilihat apakah kakak Anda tadi menikahkan secara langsung atau dipasrahkan kepada hakim, dalam hal ini adalah pihak KUA?


Jika kakak Anda bertindak sebagai wali dan kemudian menyerahkan atau mewakilkan kepada pihak KUA untuk melangsungkan akad nikah, maka pernikahan tersebut tetap sah selama pihak KUA tidak menyebutkan dirinya sebagai wakil dalam prosesi akad. Hal ini karena dalam kasus seperti ini, pihak KUA adalah wali yang sebenarnya.

 

Adapun jika terjadi kesalahpahaman, di mana kakak Anda dianggap sebagai wali dan ada proses perwakilan, serta pihak KUA mengira bahwa ia hanya bertindak atas limpahan kuasa dari kakak Anda, hal tersebut tidak memengaruhi keabsahan akad. Kenyataannya, yang melakukan akad adalah wali yang sah, yaitu pihak KUA.


Dalam kitab Qalaidul Kharaid wa Faraidul Fawaid (Jeddah, Darul Qiblah li Tsaqafah al-Islamiyah, cetakan pertama, 1990: hlm. 106), Al-Faqih Abdullah bin Muhammad Baqusyair menyebutkan:


لا يشترط أن يعلم الولي وجه ولايته فلو زوج امرأة بإذنها يظنها بنته فبانت بنت عمه أو عتيقته أو تحت حكمه جاز


Artinya, "Wali tidak wajib mengetahui arah perwaliannya. Jika ia menikahkan seorang perempuan dengan izinnya dan mengira perempuan itu adalah anak perempuannya, padahal perempuan itu adalah anak perempuan paman dari pihak ayah, atau budaknya yang telah dibebaskan, atau berada di bawah pemerintahannya (wali hakim), maka hal itu diperbolehkan."


Jika dalam akad nikah pihak KUA menambahkan kata seperti "مولية أخيها الذي وكلني" (perempuan di bawah perwalian saudaranya yang mewakilkan padaku), padahal perwakilan tersebut tidak sah, maka akad nikah juga tidak sah. Hal ini disebabkan adanya tambahan kata yang tidak berkaitan dengan inti sighat akad nikah (kalam ajnabi).


Sementara itu, jika kakak bertindak sebagai wali dan menikahkan langsung, pernikahan juga tidak sah. Kakak akan berdosa jika tahu bahwa dirinya bukan wali yang sah, namun tetap melakukannya. Ketidaksahan pernikahan ini tidak serta-merta menjadikan hubungan badan setelahnya sebagai zina. 


Jika suami meyakini pernikahan sah karena tidak tahu kakak bukan wali yang sah, maka hubungan tersebut dinamakan wathi syubhat dalam fiqih. Hubungan ini tidak dianggap zina dan tidak berdosa karena dilakukan dengan keyakinan bahwa pasangan adalah istri yang sah. Namun, hubungan tersebut tetap bukan hubungan suami-istri yang sah karena akad nikah tidak sah.


Dalam hal ini, Al-Habib Salim bin Hafidz menjelaskan dalam Fatawi al-Faqih asy-Syahid Ibn Hafidz Jilid II (Amman Yordania, Darul Maqashid, cet. ke-1, 2013: 112):


وأما مباشرة غير وليها الشرعي للعقد فحرام شديد التحريم، ويكون الوطء زناً إن علم الزوج حال العقد أو قبل الوطئ أنه غير ولي، وأما إن جهل الحال، فحكمه حكم وطئ الشبهة يجب عليه به للموطؤة مهر أمثالها، ويحرم عليه أصولها وفروعها، وتحرم هي على أصوله وفروعه، وتجب عليها العدة من ذلك الوطء، إلى غير ذلك من الأحكام المشروحة في كتب العلماء

 

Artinya, "Bila selain wali yang sah secara syara' melakukan akad maka itu sangat haram. Kemudian persetubuhan yang dilakukan dianggap zina jika sang suami mengetahui saat akad atau sebelum persetubuhan bahwa ia bukan wali. Sedang bila suami tidak mengetahui maka hukum persetubuhan tersebut wathi syubhat. Wajib baginya memberi mahar mitsil kepada perempuan yang disetubuhi, haram baginya menikahi orang tua dan keturunan perempuan tersebut, dan sebaliknya perempuan tadi juga haram dinikahi orang tua dan keturunannya, kemudian wajib bagi perempuan tadi beriddah karena persetubuhan serta hukum-hukum lain yang disebutkan dalam kitab-kitab para ulama."


Anak yang lahir dari persetubuhan wathi syubhat tetap bernasab kepada ayah biologisnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, Jilid XL (Kuwait, Wizarah al-Awqaf wa as-Syu'un al-Islamiyyah, cet. ke-2, 1427 H: 236):


ذهب جمهور الفقهاء إلى أن الوطء بشبهة يثبت النسب، لأن ثبوت النسب هنا إنما جاء من جهة ظن الواطئ، بخلاف الزنا فلا ظن فيه. فإذا وطئ امرأة لا زوج لها بشبهة منه كأن ظنها زوجته، أو أمته فأتت بولد بعد مضي ستة أشهر فأكثر من وقت الوطء ثبت نسبه منه


Artinya, "Mayoritas ulama berpendapat bahwa wathi syubhat bisa menetapkan nasab karena nasab berdasar persangkaan lelaki yang menyetubuhi. Berbeda dengan zina yang tidak ada persangkaan sama sekali. Karena itu, bila seseorang menyetubuhi perempuan tak bersuami dengan ada syubhat semisal menyangka itu istrinya atau hamba sahayanya kemudian perempuan tadi melahirkan anak setelah lewat enam bulan atau lebih sejak persetubuhan maka nasab anak tersebut bersambung kepadanya."


Berdasar penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Bila dulu akad nikah Anda dilakukan oleh hakim (pihak KUA) maka pernikahan sah.
  2. Bila dilakukan oleh kakak Anda, maka pernikahan tidak sah, namun anak yang dilahirkan tetap bernasab kepada bapak biologisnya karena hubungan badan yang terjadi berangkat dari persangkaan akad nikah yang sah.
 

Bila kemungkinan kedua ini yang terjadi, Anda dapat melakukan akad nikah lagi melalui wali hakim agar sah dan halal berumah tangga dengan 'suami' Anda. Namun ini tidak memengaruhi nasab dari kedua putra Anda karena Anda mengulangi akad nikah lagi atau tidak, mereka tetap bernasab kepada bapaknya.


Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan sesuai hukum fiqih. Untuk lebih jelas terkait dengan administrasi negara, Anda bisa berkonsultasi dengan pihak KUA setempat. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam

 

Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Inayah Wareng, Tempuran, Magelang.