Bahtsul Masail

Anak di Luar Nikah, Siapa yang Jadi Walinya?

Rab, 8 November 2023 | 10:00 WIB

Anak di Luar Nikah, Siapa yang Jadi Walinya?

Ilustrasi. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu'alaikum 
Saya ingin bertanya mengenai wali nikah. Saya berumur 27 tahun, bapak saya tidak mau menikahkan saya dengan laki-laki pilihan saya yang sudah saya perjuangkan 3 tahun ke belakang karena berbeda aliran. Bapak saya tidak setuju karena keluarga calon berbeda aliran, sedangkan saya sudah ingin menikah untuk menghindari maksiat karena saya hidup sendiri. Saya mendengar dari ibu saya, jika ibu saya mengandung saya di luar nikah dan baru dinikahi oleh bapak di umur kandungan 2 bulan. Pertanyaan:

 

1. Apakah wali sah saya harus bapak saya? Karena kata ibu sudah ditanyakan ke salah satu ustadz bahwa wali nikah tetap bapak saya.

 

2. Adakah saran untuk saya harus melakukan apa agar saya dapat segera menikah secara sah menurut agama dan negara?

 

Terimakasih banyak.

 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb, penanya yang dirahmati Allah ta’ala. Sebagaimana yang sudah umum diketahui bahwa pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya seorang wali dan dua saksi, sebagaimana Syekh Abu Syuja’ dalam Matan Taqrib menyebutkan:

 

ولا يصح عقد النكاح إلا بوليّ و شاهدَي عدل

 

Artinya, “Nikah tidak sah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang ‘adil.” (Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], hal. 227).

 

Selanjutnya, terkait dengan siapa yang paling berhak menjadi wali, tentunya yang pertama adalah ayah, kemudian ayah dari ayah (kakek), saudara laki-laki dari bapak dan ibu (paman), dan seterusnya sebagaimana Syekh Abu Syuja’ menjelaskan dalam Matan Taqrib. (Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, hal. 228).

 

Konsekuensi bagi perempuan yang nekat menikah tanpa seorang wali maka pernikahannya otomatis batal, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw dalam haditsnya:

 

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل

 

Artinya: “Siapa pun perempuan yang menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal, pernikahannya batal.” (HR. Abu Dawud).

 

Selanjutnya dalam Islam pun perbedaan organisasi, aliran atau partai tidak seketika membuat kedua orang yang ingin menikah dilarang kecuali apabila ada keyakinan menyimpang yang dipegang oleh misalnya calon suami, maka calon isteri perlu mempertimbangkannya terlebih dahulu.

 

Hal di atas masuk ke dalam pembahasan kafa’ah dalam Islam, sebagaimana Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu‘in menyebut:

 

ولا عفيفة وسنية وغيرهما من فاسق ومبتدع

 

Artinya, “Tidak [setara pernikahan] orang yang terhormat, berasal dari kalangan Sunni dan semacamnya dengan kalangan fasik dan bid‘ah.” (Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu‘in, [Beirut: Darul Fikr], hal. 331).

 

Apabila calon suami Anda berasal dari aliran yang dinilai menyimpang, maka perlu ditelisik terlebih dahulu apakah ia merupakan orang yang hanya tergabung dalam aliran tersebut karena latar belakang keluarganya juga demikian atau sebenarnya ia tidak mengerti apa-apa, bahkan tidak mengungkapkan atau meyakini sesuatu yang menyimpang dari syari‘at. 

 

Namun apabila calon suami Anda memiliki kecenderungan penyimpangan terhadap syari‘at dan jelas-jelas mengungkapkannya, maka ia digolongkan kepada mubtadi’. Hal ini sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:

 

فَمُجَرَّدُ اعْتِقَادِ الْمَذْهَب لَا يَكُونُ كُفْرًا عَلَى الْأَصَحِّ السَّابِقِ وَإِنَّمَا يَكْفُرُ إنْ صَرَّحَ بِاعْتِقَادٍ لَازِمٍ مِنْ تِلْكَ اللَّوَازِمِ الْمُكَفِّرَةِ.

 

Artinya: “Meyakini mazhab tertentu tidak menjadikan seseorang kafir menurut pendapat paling shahih sebagaimana sebelumnya telah dipaparkan. Hanya saja dia menjadi kafir apabila mengutarakan penyimpangan yang mengarah kepada kekafiran secara terang-terangan.” (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, [al-Maktabah al-Islamiyyah], jilid IV, hal. 100)

 

Adapun terkait dengan pertanyaan pertama, jika memang benar kabarnya bahwa saudari merupakan anak di luar perkawinan yang sah, maka pendapat mayoritas ulama menegaskan bahwa anak perempuan tidak memiliki hubungan nasab dengan seorang laki-laki yang menghamili ibunya di luar pernikahan yang sah.

 

Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid:

 

واتفق الجمهور على أن أولاد الزنا لا يلحقون بآبائهم إلا في الجاهلية على ما روي عن عمر بن الخطاب على اختلاف في ذلك بين الصحابة 

 

Artinya: “Mayoritas ulama sepakat bahwa anak hasil zina tidak bersambung nasabnya kepada bapak mereka kecuali hal tersebut terjadi pada masa Jahiliyah (pra Islam) sebagaimana penuturan ‘Umar bin Khattab, meski terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini di antara para Sahabat.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Mesir: Mathba’ah Mushtafa, 1975], jilid II, hal. 358).

 

Kesepakatan ulama di atas tentunya berimplikasi kepada hilangnya nasab anak perempuan dari jalur ayahnya, sedangkan nasabnya hanya dapat tersambung kepada ibu dan juga keluarga ibu.

 

Di sisi lain, dalam ajaran Islam, seorang perempuan tidak dapat menjadi wali nikah, maka tidak bisa ibunya menjadi wali nikah baginya, sebagaimana tidak sahnya perwalian perempuan yang dikutip Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ dan juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah:

 

لا تُزوِّجُ المرأةُ المرأةَ، ولا تُزوج المرأةُ نفسَها، فإنَّ الزَّانية هي التي تُزوجُ نفسَها

Artinya: “Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR Ibnu Majah).

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 186 menyebutkan, “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” (H.A. Badruddin, Kompilasi Hukum Islam, PSP Nusantara, 2018, hal. 43).

 

Dengan demikian, sebenarnya wali nikah yang bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan yang sah adalah hakim, atau pejabat hukum yang ditunjuk oleh Kementerian Agama.

 

Adapun yang kedua, terkait dengan solusi yang bisa kami tawarkan adalah saudari hendaknya berterus terang kepada orang tua terkait realita calon suami, apakah ia termasuk pelaku aliran yang menyimpang atau bukan, sehingga dapat menjadi pertimbangan.

 

Kemudian terkait dengan nasab dan perwalian nikah, jika informasi mengenai keterputusan nasab dengan ayah sebab hubungan di luar nikah, maka perlu dijelaskan secara halus kepada ayah penanya bahwa ketentuan dalam Islam, anak perempuan di luar nikah tidak memiliki nasab yang bersambung kepada ayah, sehingga ayah tidak dapat menjadi wali. Adapun walinya adalah hakim. Wallahu a’lam

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences