Bahtsul Masail

Siapa yang Berhak Menikahkan Janda? 

Kam, 24 Agustus 2023 | 16:30 WIB

Siapa yang Berhak Menikahkan Janda? 

Siapa yang Berhak Menikahkan Janda?. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Assalamualaikum wr. wb. 
Pengasuh Bahtsul Masail NU Online yang saya hormati. Saya sudah lama bercerai dengan suami saya. Kemudian ayah saya menjodohkan saya dengan seorang laki-laki yang dianggapnya cocok sebagai pendamping hidup saya. Walau ayah saya terus mendesak, tetapi saya belum membuka hati untuk menikah lagi. Pasalnya, saya  belum bisa melupakan kegagalan nikah yang pertama. 


Pertanyaannya, salahkah sikap saya yang belum membuka hati dan mengizinkan diri saya untuk menikah lagi? Kemudian jika ayah saya sedikit kecewa, lantas siapa yang berhak menikahkan saya nanti yang statusnya sebagai seorang janda? Mohon penjelasannya, Ustadz! Atas jawabannya, saya haturkan terima kasih. 
Wassalamu’alaikum wr. wb. 
(Hamba Allah)    


Jawaban 

Saudari penanya yang budiman, terima kasih atas pertanyaannya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. 


Sejauh yang saya pahami dari pertanyaan Anda, poin penting pertanyaan Anda ada dua yakni (1) kesediaan pernikahan kedua Anda dan (2) wali yang paling berhak menikahkan Anda.


Poin yang pertama, yakni kesediaan atau izin pernikahan seorang janda, kiranya bisa dijawab dengan mengacu kepada hadits Rasulullah saw. 


الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا


Artinya, “Janda itu lebih berhak atas dirinya,” (HR. Malik). 


Dijelaskan oleh Imam al-Haramain dalam kitabnya: 


والثيب لا تجبر؛ فإن كانت بالغة عاقلة لا تزوج إلا بإذنها، ولو كانت صغيرة، لم تزوج حتى تبلغ وتأذن.


Artinya, “Seorang janda tidak bisa dipaksa nikah (oleh walinya) meskipun ia sudah baligh dan berakal sehat. Ia tidak boleh dinikahkan oleh kecuali atas seizinnya meskipun ia masih anak kecil. Lagi pula ia tidak boleh dinikahkan sampai baligh dan mengizinkan dirinya.” (Lihat: Imam al-Haramain, Nihayatul Mathlab, jilid XII, halaman 42). 


Dengan kata lain, pernikahan seorang janda harus perkenan dan keinginan dirinya. Tidak sah dipaksa nikah jika ia tidak menginginkannya meskipun atas dasar kemaslahatan dan wali yang memaksanya adalah wali mujbir (ayah kandung dan kakek). Bahkan, saat dimintai izin pun, izinnya harus terdengar secara lisan, bukan sekadar diam atau mengiyakan dalam hati. 


Berbeda halnya dengan seorang gadis atau perawan. Wali mujbir yang dalam hal ini adalah ayah kandung dan kakeknya, lebih berhak menikahkan putrinya atas dasar kemaslahatannya, baik masih kecil maupun sudah baligh. 


Meski demikian, menurut mazhab Syafi’i, bukan berarti pernikahan janda diperbolehkan tanpa wali. Bukan pula ia diperbolehkan menikahkan dirinya walaupun atas seizin wali. 


وَالْمَرْأَة لَا تزوج نَفسهَا بِإِذن الْوَلِيّ ودونه وَلَا غَيرهَا بوكالة وَلَاولَايَة وَلَا تقبل النِّكَاح لأحد


Artinya, “Seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya, baik seizin wali maupun tanpa wali. Tidak boleh juga menikahkan perempuan lain, baik dengan perwakilan maupun perwalian langsung. Tidak boleh pula perempuan menerima nikah untuk seorang laki-laki,” (Lihat: Syamsuddin Muhammad asy-Syafi’i, Jawahir al-‘Uqud, jilid II, halaman 6).


Atas dasar ini, pernikahan seorang janda tetap membutuhkan wali. Adapun wali yang paling berhak menikahkannya sesuai dengan urutan wali yang telah disepakati para ulama, yakni:

1.    Ayah kandung 
2.    Ayahnya ayah (kakek) 
3.    Saudara laki-laki yang seayah-seibu (kakak atau adik) 
4.    Saudara laki-laki yang seayah (kakak atau adik) 
5.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seaayah-seibu (keponakan) 
6.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah (keponakan) 
7.    Saudara laki-laki ayah yang seayah-seibu (paman), 
8.    Saudara laki-laki ayah yang seayah 
9.    Anak laki-laki paman yang seayah-seibu (sepupu). 
10.    Anak laki-laki paman yang seayah (sepupu).   


Jika wali nasab di atas tidak ada atau berhalangan, maka kewalian beralih kepada wali hakim atau wali muhakkam. Dan perlu diperhatikan, urutan wali di atas tidak dipertukarkan. Dikecualikan jika wali yang berhak mewakilkan atau memasrahkan hak kewaliannya kepada wali di bawahnya. 


Dari uraian ini, pertanyaan Anda kiranya dapat terjawab bahwa kesediaan dan ketidaksediaan Anda untuk menikah lagi adalah hak Anda. Artinya, Anda berhak menolak atau menerima pernikahan. Pasalnya, selaku seorang janda, Anda lebih berhak atas diri Anda daripada wali Anda. Bahkan, jika seandainya orang tua Anda memaksa Anda untuk menikah, maka pernikahannya tidak sah selama tidak ada izin terucap dari Anda. 


Hanya saja, sebagai permintaan dan usulan orang tua kepada Anda untuk menikah lagi, tentunya perlu dipertimbangkan. Mengingat doa restu orang tua adalah hal yang utama. Namun, jika tidak cocok dengan usulannya, Anda bisa menolaknya dengan baik dan tidak melukai perasaannya. 


Di sisi lain, jika kemudian hari orang tua Anda kecewa, sehingga enggan menikahkan Anda maka tidak dibenarkan jika tidak ada alasan yang kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah:   


فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ        


Artinya, “Janganlah kamu menghalangi mereka (para wanita janda) untuk menikah dengan (calon) suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang patut,” (QS. al-Baqarah [2]: 232).  


Meski begitu, bukan berarti Anda boleh menikah tanpa wali atau menikah sendiri tanpa seizin wali. Sebab, dalam pandangan Syafi’i tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. Adapun urutan wali yang berhak menikahkan Anda sesuai dengan urutan yang ditetapkan syariat dan disepakati para ulama. Jika wali Anda tidak ada atau berhalangan, maka kewalian bisa diambil alih oleh wali hakim atau wali muhakkam. Wallahu a’lam.  


Demikian jawaban singkat kami. Semoga dapat dipahami. Mohon maaf atas kekurangannya. Kami terbuka menerima saran dan kritikan dari para pembaca semua.


Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat