Nikah/Keluarga

Penjelasan Len​​​​​​​gkap Kontroversi Nikah Dawud Tanpa Wali dan Saksi

Rab, 1 Februari 2023 | 08:00 WIB

Penjelasan Len​​​​​​​gkap Kontroversi Nikah Dawud Tanpa Wali dan Saksi

Ilustrasi: buku nikah (shutterstock).

Istilah yang beredar, nikah Dawud adalah nikah tanpa wali dan saksi dalam arti pernikahan diam-diam di dalam kamar atau tanpa diketahui orang lain sama sekali. 
 

Beberapa waktu lalu ramai diberitakan kontroversi seorang yang dianggap sebagai tokoh agama setelah ditetapkannya menjadi tersangka atas dugaan pencabulan. Ia berdalih apa yang dilakukan itu bukan perzinaan, melainkan hubungan sah suami istri karena ia telah menikahi korban dengan nikah Dawud, maksudnya nikah tanpa wali dan saksi.
 

Lantas, bolehkan bertaqlid kepada Imam Dawud Az-Zhahiri utamanya dalam hal pernikahan tanpa wali dan saksi dan bagaimana hukum jima'  atau persetubuhan yang dilakukan dengan pernikahan ala Dawud Az-Zhahiri?
 

 

Biografi Singkat Dawud Az-Zhahiri 

Sebelumnya perlu diketahui bahwa Dawud Az-Zhahiri adalah Abu Sulaiman Dawud bin Ali al-Ashfihani Az-Zhahiri dilahirkan di Kufah 202 H dan​​​​​​ wafat di Bagdad 270 H. Ia adalah muasis mazhab Az-Zhahiri. Seorang hufadz hadits, faqih dan mujtahid mustaqil setelah sebelumnya bermazhab Syafi'i. Asas pokok mazhab Az-Zhahiri adalah mengamalkan lahiriah atau tekstual Al-Qur'an dan hadits selama tidak ada dalil yang menghendaki selain makna lahiriahnya.
 

Kemudian jika tidak ditemukan nashnya maka mengambil ijma' dengan syarat ijma' seluruh ulama umat. Mazhab Az-Zhahiri hanya memgambil ijma' sahabat. Jika tidak ditemukan dalam nash Al-Qur'an dan hadits; dan ijma' sahabat, maka mereka mengambil hukum dengan istishab, yakni kebolehan secara asalnya. Mereka tidak menganggap qiyas, ra'yu, istihsan, saddud dzarai', ta'lil 'an nushushil ahkam dengan ijtihad sebagai adillatul ahkam. Mereka juga menolak untuk taqlid. Karena alasan inilah mereka disebut dengan mazhab Az-Zhahiri, yakni mengambil hukum secara tekstual dan menolak ta'wil, ra'yu dan qiyas sebagai adilatul ahkam
 

Mazhab ini tersebar di Andalusia, mulai hilang pada abad ke-5 dan pada abad ke-8 telah lenyap secara sempurna. 
 

Pembela mazhab ini setelah Imam Dawud wafat adalah Abu Muhammad Ali Ibn Said Ibn Hazm Al-Andalusi (384 - 456 H). Di antara kitab dalam fiqihnya adalah Al-Muhalla dan Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam bidang dalam ushul fiqih.
 

Beberapa pendapat kontroversial mazhab Dawud Az-Zhahiri di antaranya sebagai berikut:

  1. Bejana yang terbuat dari emas dan perak menurutnya yang dilarang dalam hadits hanya untuk minum, bukan yang lain.
  2. Riba yang hanya dibatasi pada enam barang: emas, perak, gandum burr, gandum sya’ir, kurma dan garam.
  3. Jum'atan hanya bisa dilaksakan di masjid yang ramai (perkotaan).
  4. Istri yang kaya wajib memberi nafkah kepada suami yang miskin. Semua itu adalah hasil pemahaman tekstual dari nash hadits. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz I, halaman 56).


 

Sebenarnya mazhab Dawud Az-Zhahiri termasuk dalam golongan Ahlussunnah wal Jama'ah sebagaimana diungkapkan dalam kitab Al-Farqu bainal Firaq sebagai berikut:
 

ودخل في هذه الجملة ( أى أهل السنة والجماعة ) جمهور الأمة وسوادها الأعظم من أصحاب مالك والشافعي وأبى حنيفة والأوزاعى والثورى وأهل الظاهر
 

Artinya, "Masuk dalam golongan ini (Ahlussunnah wal Jama'ah) ialah pembesar-pembesar imam, dan kelompok-kelompok mereka yang mayoritas, dari beberapa sahabat Imam Malik, Imam As-Syafi'i, Imam Auza'i, Sufyan At-Tsauri dam Ahli Az-Zhahiriyah (Dawud Az-Zhahiri). (Abu Manshur, Al-Farqu bainal Firaq, [Beirut, Darul Afaq: 1977], halaman 20).
 

 

Hukum Bertaqlid kepada Dawud Az-Zhahiri

Sekalipun Imam Dawud Az-Zhahiri termasuk dalam mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah dan derajatnya adalah mujtahid mustaqil, sekelas Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal, namun untuk mengikuti atau bertaqlid kepadanya ulama menyepekati tidak diperbolehkan. Dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin disebutkan: 
 

مسألة ش: نقل ابن الصلاح الإجماع على أنه لايجوز تقليد غير الأئمة الأربعة أى حتى العمل لنفسه فضلا عن القضاء والفتوى لعدم الثقة بنبستها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف والتبديل
 

Artinya, "(Masalah Syin). Imam Ibnus Shalah menukil ijma' sesungguhnya tidak boleh taqlid/mengikuti selain kepada imam empat. Artinya sampai amal untuk dirinya pun tidak boleh, apalagi untuk menghukumi dan menfatwakan, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan penisbatan kepada pemiliknya dengan sanad yang terhindar dari distorsi atau perubahan dan menggantian." (Abdurahman Ba'alawi, Bugyatul Mustarsyidin​​​, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2012], halaman 14).
 

Penjelasan Bugyah di atas memberikan pemahaman ketidakbolehan bertaqlid kepada selain mazhab empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hambali, itu karena tidak terkodifikasinya mazhab tersebut yang mengakibatkan keotentikan dan validitasnya dipertanyakan, atau tidak ada jaminan pendapatnya tidak mengalami distorsi, perubahan atau pergantian. Bukan berarti meragukan kredibelitas para imam selain mazhab empat. Hanya saja pendapat-pendapat yang tersebar kemudian dinisbatkan kepada mereka itu tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.
 

Karena itu bagi orang yang bersetubuh dari nikah ala mazhab Dawud Az-Dzahiri menurut qaul mu'tamad wajib dihukum had dan hubungan yang dilakukannya adalah perzinaan, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami sebagai berikut:
 

 وسئل هل يجوز عقد النكاح تقليدا لمذهب داود من غير ولى ولا شهودا أو لا، وإذا وطئ فهل يحد أو لا إلى أن قال (فأجاب) بقوله لايجوز تقليد داود فى النكاح بلا ولى ولاشهود، ومن وطئ فى نكاح خال عنهما وجب عليه حدّ الزنا على المنقول المعتمد
 

Artinya, "(Ibnu Hajar ditanya) apakah boleh akad nikah tanpa wali dan saksi, mengikuti pendapat Dawud Az-Zhahiri? Dan ketika dia hubungan badan, apakah terkena hukum had atau tidak? ...”
 

Ibnu Hajar menjawab: "Tidak boleh mengikuti pendapat Dawud Az-Zhahiri dalam nikah tanpa wali dan saksi, barangsiapa berhubungan badan atas nikah tanpa wali dan saksi wajib baginya dihukum had seperti hukuman bagi pelaku zina sesuai pendapat yang mu'tamad." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubra, [Mesir, Al-Maktabah Al-Islamiyah], juz IV, halaman 105).
 

Jadi kesimpulanya tidak diperbolehkan bertaqlid kepada Imam Dawud Ad-Dzahiri sekalipun beliau adalah mujtahid mustaqil sekelas dengan imam madzhab empat Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hambali karena tidak dapat dipertanggungjawabkan penisbatan pada pemiliknya, dengan sanad yang terjamin selamat dari distorsi atau perubahan. Oleh karena itu bertaqlid kepada Imam Dawud Ad-Dzahiri dalam urusan menikah tanpa wali dan saksi tidak diperbolehkan. Adapun hubungan badan yang dilakukan dihukumi perzinahan yang berhak untuk di had atau di beri hukuman bagi para pelakunya.
 

 

Benarkah Mazhab Dawud Az-Zhahiri Melegalkan Pernikahan Tanpa Wali dan Saksi?

Istilah yang beredar, nikah Dawud adalah nikah tanpa wali dan saksi dalam arti pernikahan diam-diam di dalam kamar atau tanpa diketahui orang lain sama sekali. Benarkah demikian?
 

Untuk menguji kebenaran asusmi ini memang tidak mudah oleh karena mazhab ini telah hilang sejak abad ke-8 dan tidak terkodifikasi. Sejauh ini mekanisme nikah ala Dawud hanya didapat dari sitiran atau kutipan kitab-kitab non Dawud yang umumnya difahami dengan menikah tanpa wali dan saksi, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubra di atas. 
 

Hal itu berbeda dengan keterangan ​​​​​​di kitab Al-Mizanul Kubra karya Imam As-Sya’rani. Ia mengatakan bahwa nikah ala Dawud masih memerlukan wali jika si perempuan masih perawan. Apabila sudah janda, barulah ia bisa nikah tanpa wali dan tanpa saksi: 
 

ومع قول داود : إن كانت بكرا لم يصح نكاحها بغير ولي وإن كانت ثيباً صح
 

Artinya, "Dan bersama pendapat Imam Dawud: "Jika perempuannya masih perawan maka nikahnya tidak sah tanpa wali. Namun, jika janda maka sah nikahnya tanpa wali". (Abdul Wahab As-Sya'rani, Al-Mizanul Kubra, [Indonesia, Al-Haramain), juz II, halaman 102).
 

Penjelasan Al-Mizanul Kubra di atas persis yang disampaikan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid sebagai berikut:
 

وَفَرَّقَ دَاوُدُ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ، فَقَالَ بِاشْتِرَاطِ الْوَلِيِّ فِي الْبِكْرِ وَعَدَمِ اشْتِرَاطِهِ فِي الثَّيِّبِ
 

Artinya, "Imam Dawud membedakan antara perawan dan janda. Ia berkata, disyaratkannya wali dalam pernikahan perempuan yang masih perawan dan tidak disyaratkan adanya wali dalam pernikahan wanita yang telah menjadi janda." (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M], juz II, halaman 36).
 

Perbedaan antara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Abdul Wahab As-Sya'rani di atas sekaligus mengonfirmasi alasan ketidakbolehan taqlid kepada selain mazhab empat karena tidak dapat dipertanggungjawabkan penisbatan kepada pemiliknya, dengan sanad yang terhindar dari distorsi atau perubahan. Terbukti dengan bedanya anggapan nikah tanpa wali dan saksi oleh Ibnu Hajar dengan nikah tanpa wali dan saksi hanya untuk janda, bukan wanita yang masih perawan menurut Abdul Wahab As-Sya'rani yang keduanya sama-sama menisbatkan pendapat itu kepada Imam Dawud Az-Zhahiri.
 

Meskipun kemudian difahami nikah tanpa wali dan saksi boleh dilakukan dengan janda dalam arti diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain dinisbatkan kepada pendapat Imam Dawud Az-Zhahiri dapat dibenarkan, namun nikah tanpa wali dan saksi seperti asumsi yang beredad tidak dapat dibenarkan. Sebab dalam mazhab Dawud sendiri ada​​​​​ mekanisme lain yang harus terpen​​​​​​​uhi, yakni khutbah nikah dalam akad hukumnya wajib, serta kewajiban untuk melakukan walimah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hazm sebagai pembela mazhab Dawud Az-Zhahiri sebagai berikut:
 

 مَسْأَلَةٌ: وَفَرْضٌ عَلَى كُلِّ مَنْ تَزَوَّجَ أَنْ يُولِمَ بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ
 

Artinya, "Masalah: dan diwajibkan atas setiap orang yang menikah untuk mengadakan walimah dengan sesuatu yang sedikit atau banyak". (Ibnu Hazm, Al-Muhalla ​​​​​​bil Atsar, [Beirut, Darul Fikr], juz IX, halaman 20).
 

Berikut kewajiban khutbah nikah menurut pandangan Dawud Az-Zhahiri sebagaimana dinukil  oleh Imam Abdul Wahab As-Sya'rani dalam Al-Mizanul Kubra:
 

قول عامة العلماء : إن الخطبة سنة وليست بواجبة . مع قول داود إنها واجبة عند العقد
 

Artinya, "Pendapat mayoritas ulama bahwa khutbah nikah hukumnya sunah, bukan wajib. Pendapat Dawud Az-Zhahiri khutbah nikah hukumnya wajib di saat berlangsungnya akad."
 

Senada juga disampaikan dalam Bidayatul Mujtahid sebagai berikut:
 

وَأَمَّا خُطْبَةُ النِّكَاحِ الْمَرْوِيَّةُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ الْجُمْهُورِ: إِنَّهَا لَيْسَتْ وَاجِبَةً، وَقَالَ دَاوُدُ: هِيَ وَاجِبَةٌ
 

Artinya, "Adapun khutbah nikah yang diriwayatkan dari Nabi, jumhur ulama mengatakan hukumnya tidak wajib, Dawud Az-Zhahiri mengatakan wajib." (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz III, halaman 31).
 

Dengan penjelasan di atas tentu tidak bisa difahami nikah ala Dawud dalam arti diam-diam tanpa diketahui siapapun. Adanya penjelasan kewajiban khutbah nikah dan walimah dalam mazhab Dawud Az-Zhahiri di atas mengharuskan berkumpulnya banyak orang. Walhasil, memahami nikah ala Dawud dalam arti menikah tanpa wali dan saksi yang dilaksanakan diam-diam tanpa melibatkan banyak orang adalah bentuk kedustaan dengan mengatasnamakan Imam Dawud Az-Zhahiri. Oran​​​​​​​​​​​​g yang melakukan praktik yang demikian itu, bisa jadi tidak lain hanya untuk menutup-nutupi kejahatannya saja. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo