Muhamad Hanif Rahman
Kolomnis
Bulan Ramadhan adalah musim kebaikan dan pahala. Karena pada bulan ini pahala dilipatgandakan dan banyak amal-amalan khususnya. Di antara amalan yang masyhur adalah kesunahan mandi setiap malam bulan Ramadhan, termasuk kesunahan mandi malam lailatul qadar.
Bila kita cermati pendapat ulama tentang kesunahan mandi tiam malam Ramadhan kitab-kitab fiqih, khususnya fiqih Syafi'i, awalnya merupakan pendapat Imam Al-Halimi yang dikutip oleh Al-'Abbadi tanpa menjelaskan dalil haditsnya.
Taqiyuddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar menjelaskan:
وَيسن الْغسْل لكل لَيْلَة من رَمَضَان نَقله الْعَبَّادِيّ عَن الْحَلِيمِيّ
Artinya, "Dan disunahkan mandi setiap malam bulan Ramadhan. Al-'Abbadi mengutipnya dari Al-Halimi." (Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khair: 1994], halaman 48).
Berbeda dengan kesunahan mandi malam lailatul qadar yang mempunyai banyak riwayat sebagaiamana disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali (w 795 H) dalam kitabnya, Lathaiful Ma'arif.
Ibnu Jarir At-Thabari (w 310 H) sebagaimana dikutip Ibnu Rajab mengatakan:
كانوا يستحبون أن يغتسلوا كلّ ليلة من ليالي العشر الأواخر
Artinya, "Mereka ulama salaf menyunahkan mandi pada setiap malam 10 terakhir bulan Ramadhan."
وكان النّخعيّ يغتسل في العشر كلّ ليلة، ومنهم من كان يغتسل ويتطيّب في الليالي التي تكون أرجى لليلة القدر، فأمر زر بن حبيش بالاغتسال ليلة سبع وعشرين من رمضان
Artinya, "An-Nakha'i mandi pada setiap malam 10 terakhir bulan Ramadhan. Sebagian ulama salaf ada ulama yang mandi dan memakai wewangian pada malam-malam yang paling diharapkan merupakan malam lailatul qadar. Zirr bin Hubaisy memerintahkan mandi pada malam 27 Ramadhan."
وروي عن أنس بن مالك أنه إذا كان ليلة أربع وعشرين اغتسل وتطيّب ولبس حلّة إزارا ورداء، فإذا أصبح طواهما فلم يلبسهما إلى مثلها من قابل
Artinya, "Diriwatkan dari Anas bin Malik bahwa, jika malam 24 Ramadhan beliau mandi, memakai wewangian serta mengenakan izar dan rida', dan setelah subuh beliau melipat keduanya dan tidak mengenakannya lagi sampai waktu yang sama pada tahun berikutnya."
وقال حمّاد بن سلمة: كان ثابت البناني، وحميد الطويل يلبسان أحسن ثيابهما ويتطيّبان، ويطيّبون المسجد بالنّضوح والدّخنة في الليلة التي يرجى فيها ليلة القدر. وقال ثابت: كان لتميم الداريّ حلّة اشتراها بألف درهم، كان يلبسها في الليلة التي يرجى فيها ليلة القدر
Artinya, "Hammad bin Salmah berkata: "Tsabit Al-Banani dan Humaid Al-Thawil, keduanya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wewangian dan memberi wewangian masjid dengan wewangian dan asam wewangian pada malam-malam yang diharapkan merupakan malam lailatul qadar." Tsabit berkata: "Tamim Ad-Dari memiliki pakaian yang ia beli dengan 1000 dirham dan ia pakai pada malam yang diharapkan merupakan malam lailatul qadar."
Setelah menyebutkan riwayat-riwayat di atas Ibnu Rajab menyimpulkan, pada malam-malam yang diharapkan merupakan malam lailatul qadar disunahkan untuk membersihkan diri dan berhias, yaitu dengan mandi, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian yang bagus.
فتبيّن بهذا أنّه يستحبّ في الليالي التي ترجى فيها ليلة القدر التنظّف والتزيّن، والتطيب بالغسل والطّيب واللباس الحسن، كما يشرع ذلك في الجمع والأعياد
Artinya, "Dengan ini menjadi jelas bahwa disunahkan pada malam-malam yang diharapkan merupakan malam lailatul qadar untuk membersihkan diri dan berhias, yaitu dengan mandi, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian yang bagus. Semua itu sebagaimana disyariatkan mandi dalam perkumpulan dan hari raya." (Ibnu Rajab, Lathaiful Ma'arif, [Beirut, Darul Ibnu Hazm, 2004], halaman 336-337).
Seorang muhaddits abad 20 berkebangsaan Maghribi atau Maroko Syekh Abdullah bin Muhammad binAs-Shiddiq Al-Ghumari dalam kitabnya Ghayatul Ihsan menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw mandi pada malam-malam 10 terakhir bulan Ramadhan. Demikian itu karena keutamaan lailatul qadar.
Kemudian sebagai dalilnya beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ashim dari 'Aisyah, beliau berkata:
كان رسول الله إذا كان رمضان قام ونام، فإذا دخل العشر شدّ المئزر، واجتنب النساء، واغتسل بين الأذانين، وجعل العشاء سحورا
Artinya, "Rasulullah saw pada bulan Ramadhan mendirikan malamnya dan tidur. Apabila masuk 10 malam akhir Ramadhan beliau mengikat kuat izarnya, menjauhi istri, mandi di antara dua azan (Magrib dan Isya') dan melakukan shalat isya pada waktu sahur." (Abdullah bin Muhammad bin As-Shiddiq Al-Ghumari, Ghayatul Ihsan fi Fadhli Zakatil Fitri ea Fadhli Ramadhan, [Beirut, 'Alamul Kutub: 1985], halaman 59).
Walhasil, berdasarkan riwayat-riwayat di atas, disunahkan mandi pada malam 10 terakhir bulan Ramadhan atau malam lailatul qadar. Dalam arti malam-malam yang diharapkan lailatul qadar berada pada malam-malam tersebut. Bahkan tidak hanya mandi, melainkan berhias dengan menggunakan wewangian dan mengenakan pakaian yang bagus. Demikian itu adalah amalan yang dikerjakan ulama salaf. Wallahu a'lam bisshawab.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworej
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
4
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua