Ramadhan

Muhasabah Ramadhan: Puasa Tumbuhkan Kejujuran

Rab, 12 Mei 2021 | 06:45 WIB

Muhasabah Ramadhan: Puasa Tumbuhkan Kejujuran

Iustrasi puasa ramadhan. (Foto: NU Online)

Dr KH Zakky Mubarak


Salah satu hikmah dari pelaksanaan puasa Ramadhan adalah menumbuhkan sikap jujur, rajin menegakkan keadilan dan kebenaran. Ibadah puasa pada dasarnya memerlukan kejujuran dari setiap orang yang melaksanakannya, baik jujur terhadap dirinya atau terhadap orang lain. Tanpa kejujuran tidak mungkin ada ibadah puasa, karena ibadah itu dilakukan dengan keinsyafan dan tidak ada pengawasan dari manusia lain.


Allah s.w.t. memerintahkan kepada kita agar menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Maidah, [5]: 8).


Ayat tersebut memerintahkan kepada kita agar: (1) Selalu menegakkan kejujuran serta kebenaran karena Allah semata. Maksudnya kita berlaku jujur dan menegakkan kebenaran itu, tidak mengharapkan pamrih materi atau kemewahan dunia lainnya, tetapi hanya mengharap keridhaan Allah s.w.t. (2) Menjadi saksi yang adil, apabila kita diperlukan untuk memberikan kesaksian, dalam rangka mencari kejelasan suatu perkara hendaknya bersedia menjadi saksi yang adil. Kita harus selalu terpanggil untuk ikut andil dalam melahirkan keputusan-keputusan yang benar dan jujur. (3) Janganlah kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kita untuk berbuat tidak adil. Menetapkan suatu hukum harus selalu berdasarkan keadilan, baik terhadap orang yang dicintai ataupun yang dibenci.


Yang dimaksud dengan jujur pada kajian ini adalah sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta atau pun tanggung jawab. Orang yang melaksanakan amanat dijuluki dengan sebutan “al-Amin” artinya orang yang terpercaya, jujur, dan setia. Dinamai demikian karena segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya menjadi aman dan terjamin dari segala bentuk gangguan dan rongrongan, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Sifat jujur dan terpercaya merupakan sesuatu yang sangat dipentingkan dalam segala kehidupan, seperti dalam kehidupan rumah tangga, perniagaan, perusahaan dan hidup bermasyarakat.


Dalam kehidupan rumah tangga, kejujuran harus dilakukan oleh seluruh anggota keluarga itu, demi ketentraman dan kebahagiaan yang sama-sama didambakan. Sekiranya tidak ada kejujuran dalam kehidupan suatu keluarga, maka tatanan keluarga itu menjadi porak-poranda. Bayangkan, sekiranya anggota keluarga saling tidak jujur, suami terhadap istri demikian pula sebaliknya, anak terhadap orang tua, demikian juga orang tua terhadap anak, pasti rumah tangga itu akan menjadi berantakan.


Dunia perdagangan dan perniagaan juga memerlukan kejujuran, dengan kejujuran perniagaan itu akan memperoleh kemajuan yang tinggi, karena tidak ada orang yang dirugikan. Penjual ataupun pembeli sama-sama memperoleh keuntungan yang bermanfaat bagi kelompoknya masing-masing. Perdagangan yang tidak disertai dengan kejujuran, pasti akan menimbulkan penipuan-penipuan, dengan jalan memalsu barang, mengurangi takaran, yang kesemuanya itu akan mengakibatkan kerugian dan perdagangannya akan bangkrut.


Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara juga memerlukan kejujuran semua pihak, jika tidak ada kejujuran niscaya akan menimbulkan kegoncangan dan kekacauan di tengah-tengah kehidupan dari masyarakat atau bangsa tersebut. Di antara faktor yang menyebabkan Rasulullah Muhammad s.a.w. berhasil dalam membangun masyarakat Islam adalah karena sifat-sifat dan akhlaknya yang terpuji. Salah satu sifatnya yang menonjol adalah kejujurannya sejak masa kecil sampai akhir hayatnya, sehingga beliau mendapat gelar “al-Amin” (orang yang terpercaya atau orang yang jujur).


Dalam mempertahankan dan menegakkan keadilan haruslah dilakukan sejujur mungkin dan seobyektif mungkin, kepada siapa saja dengan tidak memandang bulu. Kita harus bersikap adil meskipun terhadap orang-orang yang tidak kita sukai, keadilan harus ditegakkan kepada seluruh lapisan masyarakat, tidak boleh melakukan diskriminasi.


Mengenai hal ini dijelaskan dalam firman Allah s.w.t.: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak(mu) dan kaum kerabat(mu). Jika ia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan memberi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Nisa, [4]: 135).


Ibadah puasa yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah akan membentuk para pelakunya menjadi orang-orang yang bersikap adil, menegakkan kebenaran, dan berlaku jujur dalam segala aspek kehidupannya.


Dr KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU