Ramadhan

Puasa Ramadhan untuk Sopir Angkutan Jarak Jauh

Sen, 4 Mei 2020 | 10:30 WIB

Puasa Ramadhan untuk Sopir Angkutan Jarak Jauh

Apakah sopir angkutan jarak jauh termasuk bagian orang yang diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena tergolong sebagai musafir?

Salah satu orang yang diberi keringanan (rukhsah) oleh syariat untuk boleh tidak menjalankan ibadah puasa saat Ramadhan adalah musafir atau orang yang berada dalam keadaan bepergian. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:

 

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

 

“Dan barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (dan tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. al-Baqarah: 185)

 

Bolehnya tidak berpuasa bagi musafir tentunya dengan beberapa ketentuan khusus yang harus terpenuhi, seperti perjalanan tidak dimaksudkan untuk kemaksiatan, perjalanan harus jauh (safar thawil; sekiranya boleh untuk mengqashar shalat), perjalanan hanya terkhusus untuk keberangkatan sebelum terbitnya fajar, serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat kita simak dalam penjelasan “Aturan Fiqih Tidak Berpuasa bagi Musafir”.

 

Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengulas kajian tentang orang yang berprofesi sebagai sopir angkutan jarak jauh: apakah ia termasuk bagian orang yang diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena tergolong sebagai musafir? Mengingat dengan profesinya sebagai sopir, tentu hampir setiap hari ia berada di perjalanan, karena bepergian keluar kota merupakan rutinitas yang dijalaninya setiap hari.

 

Dalam literatur fiqih madzhab Syafi’i, musafir memang tergolong sebagai orang yang boleh untuk tidak melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, namun terdapat satu pengecualian musafir yang tidak dapat membatalkan puasanya, yakni orang yang berada dalam kondisi bepergian secara terus-menerus tanpa adanya jeda waktu untuk bermukim di suatu tempat. Dalam istilah fiqih disebut sebagai mudimus safar.

 

Para ulama berpandangan bahwa wajib bagi mudimus safar untuk tetap berpuasa di bulan Ramadhan, sebab jika ia tidak berpuasa, maka ia tidak menemukan waktu untuk mengqadha (mengganti) puasanya di kemudian hari, sebab seluruh hari dalam hidupnya terus-menerus berada dalam kondisi bepergian, sehingga tidak ada waktu saat bermukim yang dapat digunakan untuk mengqadha puasanya. Berbeda halnya ketika ia berinisiatif untuk mengqadha puasanya di kemudian hari, meski dalam keadaan bepergian, maka dalam keadaan demikian boleh baginya untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.

 

Sedangkan Imam Ibnu Hajar memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, tidak berpuasa bagi musafir berlaku secara mutlak tanpa adanya pengecualian. Sehingga juga mencakup terhadap mudimus safar. Perbedaan pendapat ini tertuang dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin:

 

ويستثنى من جواز الفطر بالسفر مديم السفر فلا يباح له الفطر لأنه يؤدي إلى إسقاط الوجوب بالكلية إلا أن يقصد قضاء في أيام أخر في سفره ومثله من علم موته عقب العيد فيجب عليه الصوم إن كان قادرا فجواز الفطر للمسافر إنما هو فيمن يرجو إقامة يقضي فيها وهذا هو ما جرى عليه السبكي واستظهره في النهاية والذي استوجهه في التحفة خلافه وهو أنه يباح له الفطر مطلقا.

 

“Dikecualikan dari bolehnya membatalkan puasa bagi musafir adalah orang yang selamanya berada dalam keadaan bepergian, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menggugurkan kewajiban puasa secara keseluruhan kecuali ia berencana untuk mengqadha puasanya sewaktu perjalanan di kemudian hari. Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang mengetahui bahwa kematiannya akan terjadi setelah idul fitri, maka wajib baginya untuk puasa jika memang masih mampu.

 

Bolehnya membatalkan puasa bagi musafir hanya ketika ia dapat bermukim (di suatu tempat) agar dapat mengqadha puasanya. Pandangan ini diusung oleh Imam As-Subki dan didukung oleh Imam ar-Ramli dalam kitab an-Nihayah. Sedangkan pendapat yang dipandang kuat menurut Imam Ibnu Hajar dalam kitab at-Tuhfah adalah sebaliknya maksudnya adalah boleh tidak berpuasa bagi musafir secara mutlak (Termasuk bagi orang yang berada di perjalanan selamanya)” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 236)

 

Perincian hukum tentang mudimus safar di atas penerapannya juga berlaku bagi sopir yang menjalani hari-harinya di perjalanan. Jika sopir masih sempat bermukim dalam beberapa hari setelah selesainya bulan Ramadhan, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Sebab ia memiliki watu untuk mengqadha puasanya, sehingga boleh baginya untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam hal ini ia bukan termasuk kategori mudimus safar, tapi sama seperti halnya musafir yang lain.

 

Sedangkan jika sopir terus-menerus berada di perjalanan tanpa adanya jeda waktu untuk bermukim di suatu tempat dalam beberapa hari yang cukup untuk mengqadha puasa, namun ia memiliki tekad untuk mengqadha puasanya saat di perjalanan setelah selesainya bulan Ramadhan, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa.

 

Berbeda halnya jika seorang sopir terus-menerus berada di perjalanan, dan ia sudah paham bahwa tidak mungkin baginya untuk mengqadha puasa di kemudian hari di luar Ramadhan, maka tetap wajib baginya untuk berpuasa di bulan Ramadhan, kecuali menurut pandangan Imam Ibnu Hajar.

 

Pada umumnya orang yang berprofesi sebagai sopir pasti memiliki jeda waktu dalam satu tahun untuk menetap di rumahnya atau di tempat transit lain yang sekiranya cukup untuk dibuat mengqadha puasanya tatkala berada di perjalanan saat Ramadhan. Sehingga dalam keadaan demikian boleh baginya untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan tatkala berada di perjalanan, meskipun selama 30 hari penuh, selama masih tersedia waktu baginya untuk mengqadha puasa di hari yang lain tatkala ia tidak berada di perjalanan dan ia sanggup untuk mengqadha puasa yang ia tinggalkan tersebut.

 

Berbeda halnya ketika sopir memiliki dugaan kuat bahwa jika ia tidak berpuasa saat Ramadhan, tentu ia tidak akan dapat mengqadha puasa yang pernah ia tinggalkan saat Ramadhan di kemudian hari, karena faktor malas, lupa atau faktor yang lainnya. Maka dalam keadaan demikian, tetap wajib baginya untuk berpuasa selama Ramadhan meski dalam keadaan bepergian. Karena jika ia tidak berpuasa, maka akan menyebabkan tidak terlaksananya kewajiban puasa yang dibebankan kepadanya. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember