Syariah

Shalat dengan Sisa Rasa Pedas di Lidah, Apakah Sah?

Sab, 12 Januari 2019 | 02:00 WIB

Salah satu hal yang membatalkan dalam shalat adalah mengonsumsi makanan atau minuman saat shalat sedang berlangsung. Maksudnya, shalat yang sedang dilakukan seseorang akan menjadi batal ketika adanya benda (‘ain) yang masuk dalam salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam—yang dalam istilah fiqih biasa disebut dengan jauf, seperti mulut, telinga, hidung. 

Lubang jauf ini terdapat batas awal yang mana ketika benda melewati batas ini maka shalat seseorang menjadi batal, namun ketika belum melewati batas ini maka shalatnya tidak batal. Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut dengan muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata; dalam telinga batas awalnya adalah bagian dalam yang sekiranya tidak telihat oleh mata; sedangkan dalam mulut, batas awalnya adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan hulqum.

Ketentuan ini sama persis seperti halnya perkara yang membatalkan puasa karena masuknya benda di dalam lubang-lubang dalam tubuh. Shalat atau puasa seseorang menjadi batal ketika terdapat air, makanan atau zat kebendaan lain yang masuk dalam lubang jauf tersebut. 

Hal yang sering terjadi dan masih berkaitan dengan permasalahan ini adalah terkait sisa-sisa rasa pedas yang menetap di lidah ketika setelah mengonsumsi makanan yang pedas. Apakah sisa-sisa rasa tersebut dapat menyebabkan shalat yang dilakukan seseorang menjadi batal? 

Sisa-sisa rasa pedas yang terdapat di lidah, jika memang tidak ada wujud zat kebendaan yang menetap di lidah dan tidak mengubah terhadap warna dan rasa dari air liur maka sisa rasa  pedas ini tidak membatalkan shalat, sebab hal itu hanyalah sebuah atsar (bekas) yang tidak berpengaruh dalam keabsahan shalat seseorang. 

Namun jika sisa rasa pedas yang melekat di lidah terdapat zat kebendaan (‘ain), seperti terdapat potongan dari cabai yang melekat di sela-sela mulut, maka shalat menjadi batal ketika potongan cabai tersebut ditelan dan melewati tenggorokan. Berbeda halnya ketika potongan cabai hanya menetap di bagian mulut saja, maka hal ini tidak membatalkan shalat karena tidak melewati batas awal jauf  dalam mulut yakni tenggorokan.

Sedangkan ketika rasa pedas tidak terkandung zat kebendaan, namun nyatanya dapat mengubah rasa dari air liur menjadi ikut pedas, dan air liur tersebut tertelan, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama’. Sebagian berpendapat bahwa menelan air liur tersebut dapat membatalkan shalat, karena perubahan rasa menunjukkan adanya zat kebendaan yang melekat dalam air liur. Sedangkan ulama yang lain berpandangan bahwa menelannya tidak membatalkan shalat, karena dalam hal ini perubahan rasa hanya sebatas hal yang mengiringi (mujawir) air liur, bukan hal yang bercampur dengan air liur. 

Perincian di atas seperti yang dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Manhaj:

أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلا أَثَرَ لَهُ لانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ وَلَيْسَ مِثْلُ ذَلِكَ الأَثَرُ الْبَاقِي بَعْدَ الْقَهْوَةِ مِمَّا يُغَيِّرُ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ فَيَضُرُّ ابْتِلَاعُهُ لأَنَّ تَغَيُّرَ لَوْنِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِهِ عَيْنًا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ بِعَدَمِ الضَّرَرِ لأَنَّ مُجَرَّدَ اللَّوْنِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اكْتَسَبَهُ الرِّيقُ مِنْ مُجَاوَرَتِهِ لِلأَسْوَدِ مَثَلا وَهَذَا هُوَ الأَقْرَبُ أُخِذَ مِمَّا قَالُوهُ فِي طَهَارَةِ الْمَاءِ إذَا تَغَيَّرَ بِمُجَاوِرٍ اهـ

“Rasa yang tersisa dari bekas makanan tidak membatalkan shalat, sebab tidak adanya zat kebendaan (‘ain)  pada organ dalam seseorang yang sedang shalat. Dan tidak sama dengan hal tersebut yaitu bekas yang tersisa setelah meminum kopi berupa sesuatu yang dapat mengubah warna air liur atau mengubah rasa dari air liur, maka menelan air liur ini dapat membahayakan shalat (membatalkan shalat) , sebab perubahan warna air liur menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat zat kebendaan. 

Dan masalah ini juga bisa saja dikatakan tidak membahayakan shalat, sebab berubahnya warna bisa saja disebabkan karena upaya air liur yang bersanding dengan warna hitam yang ada di dalam kopi misalnya. Pendapat demikian justru yang mendekati kebenaran, berdasarkan keterangan yang disebutkan oleh para ulama’ tentang sucinya air ketika berubah disebabkan hal yang menyandinginya.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Manhaj, juz 1, hal. 436)

Rasa pedas yang dicontohkan di atas bukanlah sebuah hal yang paten. Sehingga perincian hukum seperti di atas  juga berlaku pada rasa-rasa lain yang biasa melekat setelah mengonsumsi sebuah makanan, seperti rasa masam, manis dan rasa-rasa lainnya. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua