Syariah

3 Peringatan Nabi untuk Orang yang Menuduh Zina

NU Online  ·  Kamis, 24 Juli 2025 | 11:00 WIB

3 Peringatan Nabi untuk Orang yang Menuduh Zina

Ilustrasi pasangan suami istri. (Foto: NU Online/Freepik)

Di tengah maraknya ujaran kebencian di media sosial dan mudahnya orang menyebarkan kabar tanpa verifikasi, Islam hadir dengan aturan yang ketat, di antaranya soal tuduhan zina. Syariat mengharuskan adanya pembuktian yang jelas sebagai bentuk perlindungan terhadap kehormatan manusia.

 

Tuduhan zina bukanlah perkara ringan dalam Islam karena perilaku buruk ini menyangkut kehormatan, harga diri, dan martabat seseorang. Dalam kehidupan sosial, tuduhan semacam ini bisa memicu kehancuran nama baik dan keretakan hubungan, bahkan meski tak terbukti kebenarannya.

 

Al-Qur’an menegaskan: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang menjaga kehormatannya (berbuat zina), lalu mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan jangan kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.” (QS. An-Nur: 4). Ayat ini menjadi landasan utama dalam hukum qazhaf, yakni menuduh zina tanpa bukti.

 

Nabi Muhammad SAW memberi peringatan keras terhadap perilaku menuduh zina secara sembarangan, setidaknya ada 3 hadits yang melarang keras menuduh zina kepada orang lain. 

 

1. Termasuk Dosa Besar

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ‌اجْتَنِبُوا ‌السَّبْعَ ‌الْمُوبِقَاتِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّٰهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ  بِاللّٰهِ ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ ٱللّٰهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda: “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan." Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Beliau menjawab: "(1) Syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, (4) memakan riba, (5) memakan harta anak yatim, (6) lari dari medan perang, dan (7) menuduh zina terhadap perempuan mukmin yang terjaga (kehormatannya), tidak tahu-menahu (tentang kejahatan), dan beriman.” (HR. Bukhari)

 

Hadits pertama memuat larangan keras terhadap tujuh dosa besar dan menempatkan qazhaf sejajar dengan dosa-dosa berat seperti syirik, sihir, pembunuhan, dan riba. Ini menunjukkan bahwa menjaga kehormatan sesama muslim bukan sekadar urusan etika sosial, melainkan juga bagian dari kewajiban syariat yang sangat serius. Nabi SAW secara eksplisit menyebut qazhaf sebagai salah satu perbuatan al-mûbiqât, yaitu dosa yang membinasakan pelakunya, baik di dunia maupun akhirat.

 

Meskipun dalam redaksi hadits disebutkan secara khusus, “perempuan mukminah yang terjaga”, namun ulama menjelaskan bahwa larangan ini tidak terbatas pada perempuan saja, menuduh laki-laki berzina juga termasuk dosa besar.” (Ibnu Bathal, Syarh Shahih Bukhari, [Riyadh: Maktabah Ar-Rasyd, 2003] jilid 8, halaman 489) 

 

2. Membuat Bangkrut

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ ٱللّٰهُ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ قَالَ: فَإِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَزَكَاةٍ وَصِيَامٍ، قَدْ شَتَمَ هَذَا، ‌وَقَذَفَ ‌هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُقْضَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki dirham maupun harta.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, zakat, dan puasa, namun ia pernah mencaci maki orang lain, menuduh zina orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain. Maka masing-masing dari mereka diberi bagian dari pahala kebaikannya. Jika pahala-pahalanya habis sebelum kewajiban terhadap orang-orang itu terpenuhi, maka dosa-dosa mereka akan dipindahkan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

 

Hadits kedua ini memberikan peringatan yang sangat jelas, bahwa tidak semua orang yang tampak saleh di dunia akan selamat di akhirat. Nabi SAW menjelaskan bahwa orang yang datang di hari kiamat dengan membawa pahala shalat, zakat, dan puasa bisa saja menjadi bangkrut, yakni kehilangan semua pahalanya, dikarenakan selama hidupnya ia menyakiti sesama, termasuk dengan menuduh orang lain berzina tanpa bukti.

 

Dalam konteks ini, qazhaf menjadi salah satu sebab utama kebangkrutan akhirat. Nabi menyebut bahwa penuduh zina menjadi bagian dari dosa sosial yang harus ditunaikan melalui pemberian pahala kepada korban. Kehilangan pahala akibat perbuatan zalim inilah yang layak disebut sebagai kebangkrutan hakiki. (Al-Qadhi Iyadh, Ikmalul Mu’lim bi Fawaid Muslim, [Mesir: Darul Wafa’, 1998] jilid 8, halaman 50) 

 

3. Azab di Akhirat

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ‌مَنْ ‌قَذَفَ ‌مَمْلُوكَهُ، وَهُوَ بَرِيءٌ مِمَّا قَالَ، جُلِدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ كَمَا قَالَ

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Aku mendengar Abu al-Qasim Saw, bersabda, “Barang siapa menuduh budaknya berzina, padahal ia terbebas dari tuduhan itu, maka orang yang menuduh tersebut akan dikenakan cambukan pada hari kiamat, kecuali jika tuduhan itu benar seperti yang ia katakan.” (HR. Bukhari)

 

Hadits ketiga ini memperlihatkan bagaimana Islam memberikan perlindungan terhadap martabat setiap manusia, termasuk mereka yang secara sosial berada dalam posisi lebih rendah, seperti budak pada masa dahulu. Nabi SAW bersabda bahwa siapa pun yang menuduh budaknya melakukan zina tanpa bukti, padahal ia terbebas dari tuduhan itu, maka si penuduh akan dicambuk pada hari kiamat. 

 

Selain itu, hadits ini mengandung isyarat bahwa tidak dikenakan hukuman had di dunia bagi orang yang menuduh budaknya berzina. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Namun, menurut Imam An-Nawawi, meskipun budak bukan termasuk muhshān (yakni, orang yang terjaga kehormatannya secara syar’i) sehingga tidak memenuhi syarat untuk ditegakkan had qazhaf, pelaku tuduhan tetap dikenai sanksi berupa ta’zīr (hukuman disiplin) oleh penguasa. (Abdurrahman al-Mubarakhufuri, Tuhfatul Ahwazi, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tt] jilid 6, halaman 66)

 

Menuduh Zina dalam Hukum Negara

Sebagai tambahan, dalam konteks digital saat ini, tindakan menuduh seseorang tanpa bukti, terutama tuduhan zina di media sosial bisa berujung pelanggaran UU ITE. Sesuai Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19/2016, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi elektronik yang memuat penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda hingga Rp750 juta. 

 

Selain itu, UU ini diperkuat lagi melalui penjelasan MK bahwa Pasal 27 ayat (3) merujuk pada definisi pencemaran nama baik dalam Pasal 310 KUHP, sehingga cocok untuk kasus tuduhan zina tanpa bukti. Artinya, fitnah secara langsung maupun melalui media sosial tidak hanya dipandang sebagai dosa spiritual, tapi juga dapat berhadapan langsung dengan hukum negara.

 

Terakhir, tuduhan zina tanpa bukti bukan hanya menyakiti kehormatan seseorang, tetapi juga merupakan dosa besar yang akan mendapat balasan berat, baik di dunia maupun di akhirat. Hadits-hadits Nabi SAW dengan tegas menempatkan qazhaf sebagai perbuatan yang membinasakan dan menyebabkan pelakunya bangkrut total pada hari kiamat.

 

Melalui peringatan Nabi SAW dan ancaman melalui hukum negara, kita diingatkan agar selalu menjaga lisan, tidak mudah memvonis, dan menahan diri dari menyebarkan fitnah. Islam mengajarkan kehati-hatian dalam berkata, terutama saat menyangkut harga diri sesama manusia. Wallahu a’lam.

 

Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman