Sirah Nabawiyah

Alasan Nabi Muhammad Menerima Perjanjian Hudaibiyah

Jum, 30 Juli 2021 | 20:01 WIB

Alasan Nabi Muhammad Menerima Perjanjian Hudaibiyah

Ilustrasi Nabi Muhammad. (Foto: NU Online)

Pada 628 M, setahun setelah Perang Parit, tepatnya pada Dzulqa’dah tahun ke-6 hijriah, Nabi Muhammad tanpa diduga mengumumkan akan pergi ke Makkah untuk melakukan ibadah haji. Karena dia sedang dalam sengketa perang yang belum usai dengan penduduk Makkah, tentu ini suatu keputusan yang tidak masuk akal. Nabi Muhammad tidak peduli bagaimana kaum Quraisy dalam enam tahun terakhir berusaha keras membunuhnya—yang bisa jadi dengan mudah mereka lakukan saat dia dan pengikutnya melakukan tawaf.


Namun, pendirian Nabi Muhammad tidak goyah. Dengan lebih dari seribu orang pengikut berbaris di belakangnya, dia mengarungi padang pasir menuju kota kelahirannya, sambil mengumandangkan puji-pujian pertanda kedatangan peziarah tanpa rasa takut di sepanjang jalan: "Labbayk Allahumma labbayk"—“Aku datang, Ya Allah, Aku datang!”


Kaum Quraisy Makkah yang panik dan bingung segera mengadang Nabi Muhammad dan orang-orangnya sebelum mereka bisa memasuki kota Makkah. Kedua pihak bertemu di pinggiran luar kota, di sebuah tempat bernama Hudaibiyah. Kaum Quraisy menawarkan gencatan senjata kepada Nabi Muhammad. Penawaran ini sangat bertentangan dengan apa yang diinginkan Nabi Muhammad dan bagi pengikutnya pasti kelihatan seperti suatu penghinaan.


Hudaibiyah merupakan sebuah sumur yang terdapat di arah barat daya kota Makkah yaitu sekitar 22 km. Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah beserta rombongan kaum Muslimin yang hendak melaksanakan umrah. Walaupun Rasulullah tahu bahwa orang-orang kafir Quraisy akan menghalanginya, dan akan terjadi kontak senjata.

 


Dalam perjanjian dengan Kafir Quraisy tersebut, keputusan yang dilakukan Rasulullah sangat tidak masuk akal dalam pandangan para sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga dianggap melecehkan simbol-simbol akidah Islam. Karena saat itu, akidah Islam harus terus diperkuat di tengah kekejaman orang-orang kafir pada fase dakwah Islam Makkah.


Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad (2003) menyatakan, sulit mendedahkan mengapa Mabi Muhammad menerima Perjanjian Hudaibiyah ini. Bisa jadi dia punya rencana untuk menggalang kekuatannya kembali dan menunggu waktu yang pas untuk menaklukkan Makkah secara paksa.


Bisa jadi Nabi Muhammad juga menjalankan mandat Ilahi dan doktrin jihad untuk "memerangi mereka sehingga tak ada lagi penindasan, dan yang ada hanya keadilan dan keimanan kepada Allah SWT; tetapi bila mereka berhenti, janganlah ada lagi permusuhan. Kecuali terhadap mereka yang melakukan kezaliman." (Q.S. 2: 193)


Pada akhirnya, apa yang ditetapkan oleh Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, maka akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Makkah. Sebaliknya, para pelintas dari Madinah yang ditahan di Makkah akan dibiarkan, karena pasti mereka adalah para kader yang dapat melakukan upaya politik pecah belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraisy.

 


Dalam diplomasi Hudaibiyah, Nabi menuai kesuksesan luar biasa di kemudian hari. Semua lahir dari kemampuan menahan diri dari meraih keuntungan jangka pendek hari ini, demi keuntungan yang lebih besar di masa depan. Dengan kata lain, dalam menghadapi situasi yang sulit sekali pun hendaknya kita mencontoh sikap dan perilaku Rasulullah yang tidak mudah terbawa emosi, seraya meletakkan pandangan jauh ke depan.


Disebutkan oleh Pakar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) bahwa ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin langsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin oleh seorang diplomat ulung bernama Suhail.


Sebagai preambul naskah perjanjian Hudaibiyah itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata bismillahirrohamanirrohim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing. Lalu Suhail mengusulkan kalimat bismika allhumma, kalimat yang populer di tengah masyarakat Arab kala itu.


Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat tersebut dan mengusulkan kalimat hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

 


Akibat pencoretan basmalah dan kata Rasulullah membuat para sahabat Nabi tersinggung dan menolak perjanjian tersebut. Namun, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon, Rasulullah mengambil sendiri penulisan naskah itu karena para sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah satu prinsip dalam akidah Islam.


Kelemahan lain dari sisi substansi, menurut para sahabat, terdapat materi yang tidak adil karena apabila orang kafir Quraisy yang menyeberang batas wilayah Muslim di Madinah, maka segera dibebaskan. Sedangkan jika yang melanggar batas umat Islam, maka orangnya ditahan di Makkah. Materi perjanjian ini pun disetujui oleh Nabi Muhammad.


Soal pencoretan kata basmalah dan Rasulullah, Nabi menilai hal itu sebagai batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Nabi mengetahui akibat yang akan dialami umat Islam jika dilakukan gencatan senjata. Namun, beliau sangat paham langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya. Akidah di dada umat Islam semakin kuat. Teladan dan ajaran Rasulullah juga tidak sedikit pun luntur di hati para pengikutnya. 


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon