Sirah Nabawiyah

Rasulullah Tidak Melupakan Makkah

Kam, 29 Juli 2021 | 21:00 WIB

Rasulullah Tidak Melupakan Makkah

Ilustrasi: Penampakan Ka'bah lawas di Kota Makkah. (Foto: The Muslim Vibe)

Dakwah Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan risalah dan kemuliaan ajaran Islam berlangsung selama 13 tahun di Makkah. Misi dakwah tersebut berjalan antara tahun 610-622 M. Kemudian dakwah berlanjut di Yatsrib (Madinah) selama 10 tahun diawali dengan peristiwa hijrah Rasulullah bersama para sahabatnya.


Namun, meskipun mempunyai tempat persinggahan baru yaitu di Madinah hingga akhir hayatnya, Rasulullah sama sekali tidak melupakan Makkah, kota kelahirannya. Puncak perhatian dan kecintaan Rasulullah terhadap tempat kelahirannya itu ialah ketika beliau dan para sahabatnya berupaya membebaskan Kota Makkah yang dikenal dengan peristiwa Fathu Makkah.


Selama di Madinah, Nabi membangun kekuatan umat di samping melakukan gerakan syiar Islam ke kabilah-kabilah atau suku bangsa secara luas hingga ke negeri-negeri lainnya. Langkah strategis ini dilakukan Nabi sambil mengatur cara untuk mengambil kembali Kota Makkah. Akhirnya, terjadilah sejarah Fathu Makkah atau pembebasan Kota Makkah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah bersama kaum Muslimin.


Pasukan Rasulullah penuh dengan kekuatan dalam sejarah Fathu Makkah. Hal ini dipahami betul oleh kafir Quraisy di Makkah yang saat itu di bawah komando Abu Sufyan. Namun, kasih sayang Nabi yang begitu tinggi membuat peristiwa Fathu Makkah terjadi tanpa setetes pun darah yang tertumpah.

 


Revolusi besar tersebut bukan hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan seluruh kaum kafir untuk masuk ke dalam lindungan Nabi sehingga mereka serta merta masuk Islam.


Dijelaskan Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah Imam-imam Besar (2018), di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, ada satu peristiwa ketika Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Kemudian Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan, al-yaum yaumal marhamah (hari ini hari kasih sayang).


Setelah menerima penyerahan Makkah, Muhammad menyatakan amnesti massal bagi sebagian besar musuh-musuhnya, termasuk orang-orang yang telah melawannya dalam pertempuran. Dengan hukum kesukuan yang berlaku, alih-alih kaum Quraisy menjadi budaknya, Nabi malah menyatakan bahwa semua penduduk Makkah (termasuk semua budak) dibebaskan. Hanya enam pria dan empat perempuan yang dihukum mati karena alasan bermacam kejahatan yang pernah mereka lakukan, dan tak seorang pun dipaksa masuk agama Islam.


Karen Armstrong dalam Muhammad: Prophet for Our Time (2006) menjelaskan, semua orang Makkah juga harus mengambil sumpah setia tidak akan berperang lagi melawan Nabi. Di antara orang Quraisy terakhir yang mengambil sumpah itu ada Abu Sufyan dan istrinya, Hindun. Namun, saat secara resmi masuk Islam, mereka berdua tetap bangga dengan kepercayaannya terdahulu dan dengan terang-terangan menabalkan rasa jijik terhadap Muhammad dan “kepercayaannya nan picik”.

 


Penyelesaian Fathu Makkah berjalan sangat manusiawi meskipun menyalahi tradisi perang Arab yang penuh dengan pertumpahan darah, perampasan, dan lain-lain. Namun kasih sayang Nabi Muhammad lebih besar dalam hal ini sehingga betul-betul tidak ada balas dendam. 


Revolusi tanpa setetes darah ini melahirkan keutuhan dan kedamaian monumental serta kemenangan Nabi Muhammad. Era baru di Makkah betul-betul hadir. Era di mana Islam hadir untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin umat Islam. Era penuh dengan kasih sayang dan roda kehidupan yang sesuai nilai-nilai luhur ajaran Islam.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon