Sirah Nabawiyah

Hikmah Haji Wada’, Haji Jelang Rasulullah Wafat

Kam, 22 Juli 2021 | 20:15 WIB

Hikmah Haji Wada’, Haji Jelang Rasulullah Wafat

Rasulullah Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Haji Wada’ merupakan haji pertama sekaligus terakhir bagi Rasulullah saw setelah diutus menjadi nabi. Tepatnya pada bulan Dzulqa’dah tahun 10 hijriah. Peristiwa itu tidak hanya menjadi pertanda disyari’atkannya ibadah haji bagi umat Muslim, tetapi juga pertanda bahwa usia Rasulullah tidak lama lagi.


Kata Wada’ sendiri secara bahasa memiliki arti perpisahan, karena tidak lama setelah itu, Rasulullah saw tutup usia. Selain Haji Wada’, dinamai juga Haji Balagh, karena Nabi menyampaikan syari’at haji dengan perkataan dan perbuatan (praktek manasik). Kata ‘Balagh’ sendiri berarti penyampaian. (lihat ash-Shallabi, Sirah an-Nabawiyah, hal. 870)


Menurut Abul Hasan an-Nadawi (w. 1999 M), jumlah jamaah yang ikut bersama Rasulullah saat itu mencapai 100.000. Sementara Musthafa as-Siba’i (w. 1964 M) mengatakan sebanyak 114.000, selisih 14.000 dari perhitungan An-Nadawi. Tetapi, penting dicatat, perbedaan jumlah seperti itu wajar terjadi dalam data sejarah. Pada akhirnya, para sejarawan berkesimpulan, jumlah yang banyak itu menunjukkan ‘membludaknya’ jamaah saat itu yang datang dari berbagai penjuru Jazirah Arab.


Jumlah sebanyak itu jelas sebuah pencapaian dakwah yang luar biasa. Hanya butuh waktu 23 tahun bagi Rasulullah untuk membuat orang-orang kafir memeluk agama Islam. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui, sebelumnya mereka adalah masyarakat yang berada dalam pengaruh ajaran paganisme dan kesyirikan, mengutuk keras ajaran Rasulullah, dan berbagai respons yang pada intinya menunjukkan penolakan atas agama baru yang mengusik keyakinan nenek moyang mereka.


Pada hari itu, Allah menurunkan ayat yang berbunyi,


ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ 


Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3)


Mendengar ayat itu, sebagian sahabat menangis. Termasuk di antaranya Umar bin al-Khattab. Seolah mereka paham, usia Rasulullah tidak akan lama lagi. Saat Umar ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?”


Umar menjawab, “Sesungguhnya, tidak ada kesempurnaan, kecuali setelahnya ada kekurangan.”


Maksud ucapan Umar di atas, agama Islam telah sempurna. Dengan begitu, tuntas sudah tugas Rasulullah saw untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam di tengah umatnya. Dan ‘kekurangan’ yang dimaksud adalah kepergian Rasulullah setelah itu.


Dalam haji itu, Rasulullah menyampaikan khutbah panjang yang begitu menggetarkan. Berikut adalah beberapa poin khutbah yang penulis rangkum dari As-Sirah an-Nabawiyah karya As-Siba’i (hal. 163-165):


1. Haram membunuh dan mengambil harta yang bukan haknya.


2. Haram melakukan praktik riba.


3. Perintah untuk memenuhi hak-hak istri.


4. Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.


5. Mempererat tali persaudaraan sesama umat Muslim.


Dalam proses haji itu, Nabi mencontohkannya langsung kepada umat Muslim yang ikut, dari awal proses haji sampai selesai. Rasulullah bersabda,


لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلِّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ


Artinya: “Ambillah manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR. Muslim).


Hadits ini menunjukkan, betapa Rasulullah mempraktekan langsung proses peribadatan haji dalam rangka mengajak umatnya. Dari mulai apa saja yang perlu dilakukan, bacaan yang harus dibaca, dan semua yang terkait dengan ibadah haji. Hadits ini juga mengindikasikan akan suatu perpisahan, karena tidak lama setelah itu beliau wafat. Oleh karena itu disebut sebagai Haji Wada’ (haji perpisahan). (lihat An-Nawawi, Syarah Muslim, juz 9, hal. 45)


Hikmah dan Perenungan


Pertama, Haji Wada’ merupakan even yang menunjukkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Bagaimana tidak, dakwah hanya dalam kurun waktu 23 tahun, tetapi berhasil mendapat pengikut sebanyak itu. Jumlah 114.00 yang terhitung dalam Haji Wada’ itu, hanya umat Muslim yang ikut melaksanakan haji. Penulis yakin, di luar mereka yang turut serta haji, tidak kalah lebih banyak. 


Ini menunjukkan akan kebenaran risalah yang dibawa Nabi. Karena kebenaran itulah, mampu mendapat kepercayaan dari banyak orang sebagai bentuk pengakuan atas kebenaran ajaran-ajaran Islam.


Kedua, jumlah pencapaian sebanyak itu merupakan bukti kesungguhan dakwah Nabi selama 23 tahun. Kita tahu, selama itu banyak penindasan yang dialami Nabi. Namun, karena kegigihan beliau, akhirnya berhasil meraih pencapaian gemilang.


Ketiga, Rasulullah saw adalah sosok pendidik yang mencontohkan setiap apa yang diajarkannya. Peristiwa Haji Wada’ ini penting untuk kita renungkan. Beliau menyampaikan syari’at haji dan beliau sendiri yang menuntun proses pelaksanaannya, tahap demi tahap. 


Hal ini memang menjadi salah satu prinsip Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam, termasuk beliau pernah memerintahkan shalat dan beliau sendiri yang langsung mempraktikkan bagaimana shalat dilakukan. Rasululah saw bersabda,


صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ


Artinya: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.”


Keempat, Haji Wada’ merupakan puncak kematangan umat Islam. Artinya, tugas-tugas Rasulullah telah selesai untuk menyampaikan risalah. Segala persoalan agama pun sudah terkodifikasi dalam Al-Qur’an dan Hadits. Secara tekstual memang sekilas ‘tidak lengkap’, tapi persoalan-persoalan yang belum dibahas secara zahir (transparan), bisa digali melalui metode qiyas (analogi) sebagaimana klaim para pendukung qiyas. (lihat Al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, juz 11, hal. 141)


Demikianlah beberapa hikmah dan perenungan yang bisa diambil dari peristiwa Haji Wada’. Selebihnya, pembaca bisa gali lebih dalam lagi. Dari Haji Wada’, kita bisa mengambil pesan terpenting: setiap ada pertemuan, pasti diakhiri perpisahan.


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta