Sirah Nabawiyah

Belajar dari Rasulullah dalam Menyatukan Masyarakat Yatsrib

Rab, 27 April 2022 | 09:30 WIB

Belajar dari Rasulullah dalam Menyatukan Masyarakat Yatsrib

Ilustrasi Nabi Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Baitul Maqdis di Yerusalem menjadi titik pertemuan antara agama-agama samawi, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Baitul Maqdis juga menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Rasulullah saw memindahkannya ke Masjidil Haram, Makkah pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban.


Ironisnya saat ini, Baitul Maqdis yang menjadi kiblat bersama tidak cukup menjadikan Palestina dan Israel berdamai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Israel dengan sumber daya dan kekuatannya terus melakukan pendudukan, pencaplokan, perluasan wilayah, dan blokade terhadap wilayah Palestina.


Bukan hanya itu, Israel juga melakukan pengusiran warga Palestina dari rumahnya sehingga kerap memicu kelompok Hamas untuk menembakkan roket ke Israel. Bentrok fisik kerap terjadi antara tentara Israel dengan warga Palestina. Bahkan sering berujung tragis terhadap penembakan warga sipil Palestina.


Peperangan berakibat kepiluan dan kondisi tragis terhadap kesia-siaan nyawa manusia yang hilang cuma-cuma. Sebab itu, Nabi Muhammad mencontohkan sebuah diplomasi damai dengan mengedepankan titik temu, bukan memperuncing perbedaan yang hanya akan menambah konflik berkepanjangan.


Dahulu, Yatsrib (Madinah) dijelaskan oleh Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980), Rasulullah melaksanakan kebijakan politik tingkat tinggi dengan mewujudkan “Persatuan Yatsrib” mengingat konflik antar-kabilah atau suku yang berlangsung 120 tahun. Nabi Muhammad juga meletakkan dasar kenegaraan dalam Piagam Madinah itu dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan musyawarah dan persekutuan yang erat.


Kaum Yahudi menyambut baik Nabi Muhammad atas tujuannya menyatukan masyarakat Yatsrib. Nabi Muhammad bermusyawarah dengan para kepala suku yang selama ini lekat dengan konflik. Baik dari suku Quraiza, Suku Nadir, dan Suku Qainuqa. Begitu juga dengan kaum Nasrani.


Semua pembesar suku didekatkan oleh Nabi Muhammad. Dasar Nabi Muhammad sederhana karena mereka Ahli Kitab dan kaum Monotheis. Lebih dari itu bahwa ketika kaum Muslimin berpuasa, mereka juga ikut berpuasa karena ajaran umat-umat terdahulu. Bedanya, umat Islam telah disyariatkan dengan jelas oleh Nabi Muhammad.


Dari sisi arah kiblat, pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang masih sama ke arah Baitul Maqdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya keluarga Israil. Dijelaskan oleh Husain Haekal, persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan Nabi Muhammad makin hari makin erat.


Kewibawaan Nabi Muhammad begitu jelas terlihat di depan masyarakat Yatsrib karena penuh dengan akhlak mulia, sangat rendah hati, sarat dengan kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka dengan fakir miskin, dan selalu hadir bagi orang yang hidup menderita.


Nabi Muhammad berhasil menyatukan masyarakat Madinah dengan ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan kebebasan beragama. Namun, Nabi Muhammad sesuai musyawarah juga menetapkan hukuman bagi siapa saja, dari kaum mana pun, dan dari suku apapun yang melanggar kesepakatan dalam Piagam Madinah. (Fathoni Ahmad)