Sirah Nabawiyah

Alasan Abrahah dan Pasukan Gajah Ingin Hancurkan Ka’bah

Sen, 25 Oktober 2021 | 06:00 WIB

Alasan Abrahah dan Pasukan Gajah Ingin Hancurkan Ka’bah

Ilustrasi pasukan gajah. (Foto: Wikipedia)

Penduduk Makkah, melalui pemimpin mereka, Abdul Muthalib mendapat kabar bahwa kota tempat berdirinya Ka’bah tersebut hendak diserang oleh Abrahah dan pasukan bergajahnya. Pasukan yang akan menyerbu Kota Makkah saat itu dikenal sangat kuat. Kedatangan mereka tidak lain untuk menghancurkan Ka’bah Baitullah yang senantiasa dimuliakan oleh penduduk Makkah.


Pasukan biadab itu berasal dari Negeri Yaman yang berada dalam kekuasaan Abessinia (sekarang Ethiopia). Mereka dipimpin oleh seorang panglima besar bernama Abrahah. Abrahah dan para pemimpin Abessinia merasa iri dan dengki terhadap penduduk Makkah dengan Ka’bahnya karena senantiasa dikunjungi oleh para pelancong dari segala penjuru Arabia, baik untuk berhaji maupun hanya sekedar berziarah.


Perasaan dengki inilah yang melatarbelakangi maksud dari tindakan terkutuk tersebut. Abrahah dan para pemimpin Abessinia menginginkan agar tempat ziarah itu berada di Yaman, bukan di Makkah. Akhirnya mereka membangun gereja megah di Sana'a yang diberi nama al-Qalis dengan harapan dapat menjadi tempat ibadah haji terbesar di seluruh Arab, menyaingi Makkah.


Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015) menuliskan, hal ini mengundang kemarahan suku yang tersebar di Hijaz dan Najd. Seseorang dari suku Kinanah, yang punya hubungan nasab dengan Quraisy, meruntuhkan gereja itu. Abrahah geram dan bersumpah meratakan Ka'bah.


Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menyebutkan, Abrahah yang sudah menghiasi rumah sucinya sedemikian rupa, berhadapan dengan kenyataan: orang-orang Arab hanya berniat ziarah ke Mekkah. Mereka menganggap ziarah tidak akan sah jika tidak ke Ka'bah. Abrahah kemudian mengambil keputusan menyerang Mekkah. Dia sendiri tampil paling depan di atas seekor gajah besar.


Tetapi, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena ‘magnet’ Ka’bah masih ampuh untuk menarik para pelancong mengunjunginya. Maka api kedengkian pun kian menyulut ubun-ubun mereka, tak terbendungkan lagi. Dengan dipimpin langsung oleh Abrahah, pasukan besar dari Yaman dengan sebagian besar mengendari gajah berbaris untuk menyerbu Kota Makkah sekaligus menghancurkan Ka’bah.


Ketika Abrahah dan pasukannya tiba di daerah Mughammas, dekat Kota Makkah, mereka pun singgah sejenak untuk beristirahat. Abrahah mengirimkan seorang utusan kepada Abdul Muthalib pemimpin kota suci yang amat dicintai penduduknya itu, untuk memberitahukan bahwa mereka akan menghancurkan Ka’bah. Mengetahui hal itu, Abdul Muthalib dan rakyatnya tidak bisa berbuat banyak karena pasukan Abrahah sangat kuat.


Dengan perasaan sedih bercampur takut, satu persatu penduduk Makkah meninggalkan tanah kelahirannya menuju bukit-bukit yang mengelilingi kota tua itu untuk bersembunyi. Abdul Muthalib sendiri, sebelum pergi, ia menyempatkan untuk ‘pamit’ terlebih dahulu ke Baitullah.


Di sana Abdul Muthalib berdoa seraya menyerahkan pemeliharaan Baitullah sepenuhnya kepada pemiliknya sendiri yaitu Tuhan Yang Mahaperkasa. Doanya itu diuntainya dalam sebuah syair dengan sangat memelas, 


“Wahai Tuhanku, Tidak ada yang kuharapkan selain dari-Mu. Wahai Tuhanku, Selamatkan rumah-Mu dari serangan mereka. Sesungguhnya mereka yang akan merusak bait-Mu, Adalah musuh-Mu.”


Doa Abdul Muthalib yang tulus dan amat bersungguh-sungguh itu kiranya dikabulkan oleh Allah swt. Sebelum tentara Abrahah menjamah Ka’bah, mereka telah disambut oleh gerombolan burung Ababil yang melemparkan bebatuan sampai mereka binasa bagaikan dedaunan yang dimakan ulat. Peristiwa ini diabadikan oleh Al-Qur’an Surat Al-Fil ayat 1-5.


Di tengah peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan gajah tersebut, lahir seorang anak laki-laki dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Setelah lahir di tahun gajah itu, Abdul Muthalib yang mendengar kabar ini demikian gembira, mengangkatnya, dan membawanya ke Ka'bah. Ia memberi nama Muhammad untuk sang cucu, bukan nama umum di kalangan Arab saat itu.


Namun, Abdul Muthalib, yang menjadi saksi bagaimana Tuhan melindungi Ka'bah dari serangan pasukan Abrahah punya alasan kuat. Abdul Muthalib menginginkan cucunya kelak menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon