Sirah Nabawiyah

Kisah Kepekaan Ibnu Abbas Sejak Kecil

Jum, 3 Februari 2023 | 12:00 WIB

Kisah Kepekaan Ibnu Abbas Sejak Kecil

Ilustrasi: Sahabat Nabi (NU Online).

  
Dalam kitab Fathul Bārī, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mencatat riwayat tentang Sayyidina Ibnu Abbas. Berikut riwayatnya:
 

حدثنا عبد الله بن محمد قال نا هاشم بن القاسم نا ورقَاءُ عن عبيد الله بن أبي يزيد عن إبن عباس: أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ دَخَلَ الخَلَاءَ، فَوَضَعْتُ له وَضُوءًا قالَ: مَن وضَعَ هذا؟ فَأُخْبِرَ فَقالَ: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ في الدِّينِ

 

Artinya, “Abdullah bin Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata: “​​​​​​​Hasyim bin Al-Qasim bercerita, Wirqa’ bercerita, dari Ubaidillah bin Abi Yazid, dari Ibnu ‘Abbas: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kamar mandi (toilet), kemudian aku meletakkan seember air untuknya.” Rasulullah berkata: “Siapa yang meletakkan ini?” Kemudian diberitahukan (bahwa itu adalah Ibnu ‘Abbas). Lalu Rasulullah berkata: “Ya Allah, berilah Ibnu Abbas kepahaman dalam agama.” (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bārī bi Syarhi Shahīhil Bukhārī, [Beirut, Darur Rayyan lit Turats: 1986], juz I, halaman 294). 

 

Terkadang kecerdasan seseorang bisa terlihat dari perilakunya. Tidak melulu dari struktur kalimat yang kaya bahasa akademik. Begitulah yang ditampilkan Ibnu Abbas. Sebagai anak kecil, ia telah mampu memahami kebutuhan orang lain tanpa instruksi atau perintah. Ia hanya melakukannya. Ia paham betul, bahwa seseorang yang memasuki kamar mandi pasti membutuhkan air. Karena itu, saat Rasulullah keluar dari kamar mandi, ia bertanya: “Siapa yang menaruh seember air di sini?” Kemudian dijawab, “Ibnu Abbas.”
 

Peristiwa ini terjadi di rumah Sayyidah Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah dan bibi Ibnu Abbas dari pihak ibu. Sayyidah Maimunah merupakan saudari kandung Lubabah binti Al-Harits (ibu Abdullah bin Abbas). (Al-Hakim An-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘alā Shahihain, [Beirut: Darul Ma’rifah], juz III, halaman 534). 

 

Ada banyak riwayat dan ragam redaksi tentang kisah di atas, terutama di bagian doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, “Allahumma ‘allimhul hikmah”, “’alimhul kitāb”, dan versi yang lebih lengkap adalah riwayat Ahmad bin Hanbal, “Allahumma faqihhu fiddīn wa ‘allimhut ta’wīl” (Ya Allah berikanlah Ibnu Abbas pemahaman dalam agama dan pengetahuan dalam takwil).
 

Untuk pendalaman, mari kita coba uraikan kisah di atas, tapi sebelumnya kita perlu tahu terlebih dahulu usia Ibnu Abbas saat Rasulullah wafat. Satu riwayat mengatakan usianya masih 10 tahun ketika itu. Ibnu Abbas berkata:
 

مات رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا ابن عشر سنين وأنا مختون
 

Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat (saat) usiaku sepuluh tahun, dan aku sudah disunat.” (HR Ahmad).
 

Di riwayat lain dikatakan usianya 15 tahun. Tapi yang jelas, Ibnu Abbas bergaul dengan Rasulullah saat ia masih kecil. Itu artinya, kisah di atas terjadi saat Ibnu Abbas masih anak-anak.
 

Bisa dikatakan, secara sederhana Ibnu Abbas kecil memiliki kepekaan intelektual yang juga praktikal. Ia peka bahwa siapapun yang memasuki kamar mandi pasti membutuhkan air, apalagi di era itu, yang mana pengairan masih dilakukan secara manual dan tradisional. Bayangkan saja, anak sekecil itu sudah memiliki kepekaan intelektual yang baik dan praktikal. Itulah yang membuatnya luar biasa dan mendapatkan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kepekaannya itu diaktualisasikan dengan “laku”, tidak hanya berkutat dalam ruang teori. Karena banyak dari kita, meskipun sudah tahu dan sadar bahwa sesuatu itu baik, tetap enggan melaksanakannya. Berbeda dengan Ibnu Abbas kecil.
 

Hal ini menunjukkan kecerdasan laku dan pikiran yang membuat takjub Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa anak ini, di usia belia, sudah menjangkau kepekaan yang luar biasa, memiliki inisiatif untuk berbuat baik dan paham akan situasi, kondisi dan kebutuhan orang lain.
Artinya, Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas sudah memahami sesuatu tanpa instruksi. Ia dapat menafsirkan keadaan dengan baik, dan bertindak sesuai dengan penafsirannya yang baik itu. Untuk mencapai kepekaan atau memahami sesuatu tanpa instruksi, tidak banyak orang yang bisa, atau bisa dikatakan juga, enggan untuk bisa karena tidak pernah merenung dan berpikir tentangnya.
 

Contoh lain dari kecerdasan atau kepekaan Ibnu Abbas kecil terjadi saat ia shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berada di belakang, lalu Rasulullah memosisikannya sejajar dengannya. Setelah selesai shalat, Ibnu Abbas kecil bertanya kepada Rasulullah:
 

وينبغي لأحد أن يصلي خذاءك وأنت رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي أعطاك الله؟ فدعا الله أن يزيدني فهما وعلما
 

Artinya, “(Apakah) pantas seseorang shalat sejajar denganmu, padahal engkau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang dikaruniai Allah?” (Mendengar itu), kemudian Rasulullah berdoa kepada Allah agar menambahkan pemahaman dan ilmu untukku.” (Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’ wa Thabaqātul Ashfiyā’, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 316). 
 

Ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas kecil memiliki kesadaran dan kecerdasan akhlak yang luar biasa. Ia sudah berpikir tentang unggah-ungguh, sopan santun, dan etika yang paling pantas saat bersama Rasulullah. Tentu saja, hal ini tidak lepas dari teladan yang ditampilkan Rasulullah, sehingga Ibnu Abbas kecil bisa menyerapnya, memahaminya dan menerapkannya dengan baik.
 

Setelah didoakan oleh Rasulullah, Sayyidina Abdullah bin Abbas terus membersamai Rasulullah, berkhidmah dan belajar darinya. Tidak heran jika ia mendapat banyak pelajaran dan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjadi ahli Al-Qur’an yang sangat mumpuni. Ibnu Abbas berkata:
 

دعا لي رسول الله صلي الله عليه وسلم بخير كثير, وقال: نِعْمَ تُرجمان القرآن أنت
 

Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakanku dengan banyak kebaikan, dan beliau berkata: “Sebaik-baik penerjemah atau penafsir Al-Qur’an adalah kau.” (Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’, juz I, halaman 317). 

 

Maka dari itu, kita perlu meluangkan waktu untuk belajar, menuntut ilmu, merenung, mengambil iktibar dan bertafakur, agar pikiran dan hati kita selalu hidup.
 

Semoga saja kisah ini bisa menjadikan kita bertafakur, mengambil iktibar, dan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hayat. Amin. Wallahu a’lam bis shawwab.



 

Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.