Sirah Nabawiyah

Kisah Tsuwaibah, Puasa Hari Senin, dan Peringatan Maulid

Ahad, 23 Oktober 2022 | 16:00 WIB

Kisah Tsuwaibah, Puasa Hari Senin, dan Peringatan Maulid

Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah, perempuan yang pernah menyusui Nabi Muhammad.

Perayaan maulid baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah aktivitas yang sudah sejak lama disalahpahami oleh golongan penganut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab. Dari pelbagai perspektif mereka menyerang paham kelompok yang merayakan maulid. Secara bersamaan, lewat banyak arah yang berbeda-beda, golongan tersebut dihujani banyak kritik.


Argumentasi paling sederhana untuk membantah tuduhan bidah mereka adalah menggunakan perspektif kisah Tsuwaibah, seorang budak perempuan yang dimerdekakan Abu Lahab karena telah mengabarkan ihwal kelahiran Nabi Muhammad.


Rupanya, Abu Lahab gembira luar biasa mendapat kabar bahwa anak saudaranya telah lahir. Nyaris tiada nikmat lain yang melebihi kegirangannya kala itu. Sampai-sampai, seorang hamba sahaya perempuan bernama Tsuwaibah yang mengabarkan kepada Abu Lahab, tidak berpikir lama untuk melepas kemerdekaannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, inilah yang membuat siksa Abu Lahab diringankan Allah di setiap hari senin, hari kelahiran Nabi Muhammad.


Mimpi Bertemu Abu Lahab

Dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah (hal. 341) Sayyid Muhammad menulis kisah Abbas bin Abdul Mutthalib yang bermimpi bertemu dengan Abu Lahab setelah ia meninggal dunia. Dalam mimpi itu, Abbas menanyakan bagaimana nian kabar di alam barunya kepada paman Nabi yang sempat bahagia dengan kelahiran anak saudaranya itu.


Abu Lahab menjawab, “Tiada satu kebaikan pun yang sempat kulakukan selain saat aku memerdekakan Tsuwaibah, budak perempuanku itu, sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak saudaraku, Muhammad. Dan, Allah meringankan siksaku di setiap hari senin,” ucapnya di hadapan Abbas. Sekejap setelah itu, Abbas pun terjaga.


Sedikit ataupun banyak, cerita mimpi di atas dapat menguatkan statement bahwa menyambut hari kelahiran baginda Nabi dengan riang gembira adalah perbuatan terpuji. Bahkan sangat terpuji. Dalam tulisan ini penulis akan menyajikan dalil dan argumentasi tentang legalisasi perayaan maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 


Dalil Legalisasi Perayaan Maulid

Baru-baru kemarin, pada awal bulan Rabiulawal sempat ramai gambar seorang pria berjanggut putih dan mengenakan surban yang juga putih yang dililit di kepalanya. Pria yang disebut oleh sebagian orang sebagai seorang sufi itu memakai pakaian jenis jubah yang cukup sederhana. Tampak ia berdiri di sebuah ruangan yang temboknya dihiasi oleh pelbagai judul kitab karya para ulama ahlusunah, kedua tangannya sibuk memegang dua ujung papan yang panjangnya kurang lebih 1,5 meter, sedang ukuran lebarnya sekitar 1 meter. Di papan itu tertulis sebuah statemen berharga yang dikutip banyak netizen, yang berbunyi;


الإحتفال بالمولد الشريف لا يحتاج إلى حديث صحيح بل يحتاج إلى قلب صحيح


Artinya,“Perayaan hari kelahiran sang insan mulia itu, tidak butuh hadist shahih, perayaan ini hanya butuh hati yang sehat.”


Statemen singkat ini menuai banyak kontroversi. Walau sebenarnya, jika direnungkan lebih serius, objek kajian pernyataan di atas bukan pada “tidak butuh hadist shahih”. Tetapi, bahwa merayakan maulid Nabi sangat membutuhkan pembacaan hati yang sehat. Mengingat, sangat sia-sia hadist shahih yang bertebaran di mana-mana itu jika tidak dibaca secara sehat dengan hati yang juga sehat. Berikut hadist yang dimaksud;


Pertama, merdekanya Tsuwaibah, budak Abu Lahab

Dalam al-Mushannaf (juz 9, hal. 61) imam Abu Bakr Abdurrazzaq bin Himam as-Shan’ani (w. 211 H) disebutkan;


أَنَّ أَبَا لَهَبٍ أَعْتَقَ جَارِيَةً لَهَا، يُقَالُ لَهَا ‌ثُوَيْبَةُ وَكَانَتْ قَدْ أَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَأَى أَبَا لَهَبٍ بَعْضُ أَهْلِهِ فِي النَّوْمِ فَسَأَلَهُ مَا وَجَدَ؟ فَقَالَ: مَا وَجَدْتُ بَعْدَكُمْ رَاحَةً غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ مِنِي وَأَشَارَ إِلَى النُّقْرَةِ الَّتِي تَحْتَ إِبْهَامِهِ فِي عِتْقِي ‌ثُوَيْبَةَ


Artinya, “Dahulu, Abu Lahab memerdekakan seorang budak perempuannya yang bernama Tsuwaibah, Tsuwaibah juga pernah menyusui baginda Nabi. Suatu ketika, salah seorang famili Abu Lahab (Abbas bin Abdul Mutthalib) pernah bermimpi bertemu dengannya, lalu bertanya perihal perlakuan yang ia dapatkan di alam barunya. Abu Lahab menjawab, ‘Tak satu pun amal baik yang pernah kulakukan kecuali secuil-seraya memberi isyarah pada lekukan di bawah jempolnya-karena telah memerdekakan Tsuwaibah’.”


Kisah Tsuwaibah ini menjadi dasar kuat legalisali perayaan maulid Nabi. Logika sederhanya, Abu Lahab saja-yang telah dicap celaka ukhrawi dalam surah al-Lahab-turut mendapatkan keringanan siksa dari Allah lantaran pernah memerdekakan Tsuwaibah sebagai ekspresi bahagianya menyambut kelahiran anak saudaranya, Muhammad bin Abdillah. Lalu, bagaimana dengan umatnya yang selalu bershalawat di setiap bakda shalat dan merayakan kelahirannya tanpa pandang waktu dan tempat, terutama pada bulan Rabiul Awal!?


Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (juz II, hal. 273) mengatakan;


لمّا بشرته ثويبة بميلاد ابن أخيه محمد بن عبد الله أعتقها من ساعته فجوزي بذلك لذلك


Artinya, “Ketika Tsuwaibah memberi kabar kembira kepada Abu Thalib tentang kelahiran anak saudaranya, Muhammad bin Abdillah, ia pun langsung memerdekakan budak perempuannya itu seketika juga. Karena hal ini, Allah meringkankan siksanya.”


Kedua, puasa hari senin sebagai media syukur Nabi atas kelahirannya


Inti dari perayaan maulid baginda Nabi Muhammad seperti yang kita saksikan dan banyak dirayakan ini adalah rasa syukur atas kehaliran sang insan paripurna. Siapa yang tidak bahagia atas kelahirannya. Jangankan manusia, pepohonan bahkan bebatuan juga turut merasakannya. Terlalu banyak dalil yang menjelaskannya dan tidak perlu dijejali dalam tulisan singkat ini. Karena perayaan maulid didorong oleh rasa syukur, maka jelas bukan persoalan bagi yang melakukannya. Justru sebaliknya, persoalan besar bagi yang mengharamkan dan membidah-bidahkannya.


Baginda Nabi saja, sebagai ekspresi syukurnya yang teramat besar karena telah dilahirkan di dunia ini dengan segala kesempurnaan dan kemanfaatannya untuk seluruh jagat semesta, ia merayakannya dengan berpuasa di setiap hari senin, hari kelahirannya. Abu Qatadah meriwayatkan sebuah hadist;


أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم سؤل عن صوم يوم إثنين؟ فقال: فيه ولدت وفيه أنزل عليّ


Artinya, “Baginda Nabi ditanya tentang puasa hari senin (yang rutin dikerjakannya)? Nabi menjawab, ‘Karena di hari itulah aku dilahirkan dan hari itu pula wakyu diturunkan kepadaku’.” (HR Muslim dalam Shahih Muslim [juz II, hal. 820]).


Urusan ekspresi syukur, setiap orang bisa berbeda-beda. Tergantung budaya dan tradisi yang berlaku, selama masih dalam pantauan syariat. Sayyid Muhammad menulis dalam Hawlal Ihtifal bi Dzikril Maulid an-Nabawi as-Syarif (hal. 24);


وهذا في معنى الإحتفال به إلا أنّ الصورة مختلفة ولكن المعنى موجود سواء كان ذلك بصيام أو إطعام طعام أو اجتماع على ذكر أو صلاة على النبي صلى الله عليه وسلم أو سماع شمائله الشريفة


Artinya, “Inilah substansi perayaan maulid Nabi, kendati dengan format yang berbeda-beda; ada yang dengan berpuasa, memberi makan kepada sesama, berkumpul dalam halakah zikir dan intelektual, membaca shalawat kepada baginda Nabi, atau menyimak pembacaan sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Semoga manfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.