Sirah Nabawiyah

Praktik Kebebasan Beragama yang Dilakukan Rasulullah SAW

Sel, 14 Januari 2020 | 16:15 WIB

Praktik Kebebasan Beragama yang Dilakukan Rasulullah SAW

Demikian agungnya nilai kebebasan beragama dalam Islam. Rasulullah SAW tidak sedikit pun memberedel dan memberagus kebebasan beragama meski dari wanita yang dicintainya.

Keteladanan menjaga kemerdekaan agama atau menjamin kebebasan beragama tidak hanya dilakukan oleh Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Kebebasan beragama juga dicontohkan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
 
 
Raihana (w 10 H/632 M). Ya, Raihana binti Zaid bin ‘Amr bin Khanafah. Ia merupakan salah seorang ummul mukminin atau istri Nabi Muhammad SAW. Ia adalah wanita Yahudi dari klan Bani Nadhir yang menjadi tawanan. Ia masuk Islam, kemudian dipersunting oleh Nabi Muhammad SAW.

Mengenai asal Raihana, para sejarawan berbeda pendapat. Di antara yang menunjukkan ikhtilaf itu adalah Kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Katsir. Tetapi As-Shalihi mengatakan bahwa Raihana berasal dari klan Bani Nadhir. Ia kemudian menikah dengan laki-laki dari Bani Quraizhah dan tinggal di sana. Dari sana kemudian, ada sejarawan yang menyebutnya berasal dari Bani Nadhir dan ada juga yang menyebutnya berasal dari Bani Quraizhah. (Muhammad bin Yusuf As-Shalihi, Subulul Huda war Rasyad, juz V, halaman 15).

Merujuk pada Al-A‘lam, sebuah ensiklopedi populer, karya Khairuddin Az-Zirikli (1310-1396 H/1893-1976 M), Raihana menjadi pasangan hidup Nabi Muhammad SAW hingga wafat. Raihana wafat sepulang dari haji wada’ (10 H). Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’ Al-Gharqad, Kota Madinah. (Az-Zirikli, 2002 M: 38).

Keterangan ini dapat ditemukan pada Al-A‘lam Qamus Tarajim li Asyharir Rijal wan Nisa’ minal ‘Arab wal Musta‘rabin wal Mustasyriqin karya Khairiddin az-Zirikli. (Beirut, Darul Ilmil Malayin: 2002 M).

Sejarawan Islam paling terkemuka asal Madinah, Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al-Muthallibi Al-Madani (w 151 H/768 M) atau Ibnu Ishaq–sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hisyam (w 213 H/828 M)–menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW sangat menghormati Raihana yang lebih memilih Yahudi sebagai agamanya dan (saat itu masih) enggan memeluk Islam. (Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabi SAW, [Thantha, Darus Shahabah lit Turats: 1416 H/1995 M], cetakan pertama, juz III).

Ibnu Ishaq mengisahkan, Raihana menjadi pasangan hidup Nabi Muhammad SAW sampai mati dengan akad milkul yamin. Sebelumnya, Rasulullah SAW telah membujuk Raihana untuk masuk Islam dan hendak menikahinya. Namun, Raihana menolak. Ia dengan tegas mempertahankan Yahudi tetap menjadi agamanya.

يَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَلْ تَتْرُكُنِي فِي مِلْكِكَ فَهُوَ أَخَفُّ عَلَيَّ وَعَلَيْكَ، فَتَرَكَهَا

Artinya, “Wahai Rasulullah SAW, lebih baik Anda biarkan saya dalam akad milkul yamin Anda (tidak menjadi istri dengan akad pernikahan). Sebab hal itu lebih ringan bagi saya dan bagi Anda. (Karena begitu kokohnya pendirihan Raihana), Rasulullah SAW pun membiarkannya dengan Yahudi sebagai agamanya.”

Penolakan Raihana menjadi kegundahan hati tersendiri bagi Rasululah SAW. Namun beberapa waktu kemudian, Tsa’labah bin Sa’yah dari klan Bani Hadal menghampiri Rasululah SAW saat beliau berkumpul dengan para sahabatnya. Tsa’labah bin Sa’yah datang untuk mengabarkan keislaman Raihana. Rasululah SAW pun berbahagia karenanya. (Ibnu Hisyam, 1416 H/1995 M: 235).

Menjelaskan penggalan sejarah ini, Mufti Mesir (2003-2013 M) yang bermazhab Syafi’i Prof DR Syekh Ali Jum’ah (1951 M-…) menyatakan sebagai berikut:

فَرَيْحَانَةَ أَمَةً غَنَمَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَنِي قُرَيْظَةَ، يُعْرَضُ عَلَيْهَا الْإِسْلَامُ وَالزَّوَاجُ مِنْهُ وتَأَبَى إِلَّا الْيَهُودِيَّةَ، فَتَرَكَهَا وَمَا تَشَاءُ، لَمْ يُكْرِهْهَا وَلَمْ يَطْرُدْ مِنْ مِلْكِهِ، وَقَدْ أَخْزَنَهُ رَفْضُهَا لِلْإِسْلَامِ وَسَرَّهُ دُخُولُهَا فِيهِ، وَلَكِنَّهُ لَمْ يَنْزَعْ عَنْهَا حُرِّيَتَهَا الدِّينِيَّةَ فِي كِلَا الْحَالَيْنِ 

Artinya, “Lihatlah Raihana, tawanan dari klan Bani Quraizhah yang diajak masuk Islam dan hendak dinikahi Rasulullah SAW, namun ia teguh dalam agamanya Yahudi. Rasulullah SAW pun membiarkan atas pilihan agamanya. Rasul tidak memaksanya dan tidak melepasnya dari milkul yamin. Penolakannya untuk masuk Islam telah membuat Rasulullah SAW sedih. Namun, kabar gembira atas kesadarannya sendiri untuk memeluk Islam membuat Rasulullah SAW bahagia. Meski demikian, Rasulullah SAW tidak memberangus kebebasan beragamanya dalam dua kondisi itu,” (Ali Jum’ah, Al-Musawah Al-Insaniyyah fil Islam; baynan Nazhariyyah wat Tathbiq, [Kairo, Darul Ma’arif: 2014 M], halaman 77-78).

Demikian agungnya nilai kebebasan beragama dalam Islam. Rasulullah SAW tidak sedikit pun memberedel dan memberagus kebebasan beragama meski dari wanita yang dicintainya.

Lalu bagaimana dengan kita? Benarkah kita telah meneladani Rasulullah atau justru mengumbar ujaran kebencian, persekusi, dan intimidasi terhadap orang lain karena alasan perbedaan agama? Wallahu a'lam.

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur.
 

Catatan: Teks ini ditulis dalam rangka menyambut Munas Alim Ulama NU pada 18-19 Maret 2020 di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah.