Syariah

3 Model Suksesi Kepemimpinan dalam Sejarah Islam

Kam, 8 Februari 2024 | 16:00 WIB

3 Model Suksesi Kepemimpinan dalam Sejarah Islam

Ilustrasi: politik islam

Dalam Islam, prosedur politik termasuk dalam kategori hukum sosial (mu’amalah). Dalam fiqih, terdapat kaidah yang menyatakan bahwa prinsip dasar hukum sosial adalah ibahah. Hal tersebut sebagaimana kaidah yang berbunyi:

 

الأصل في المعاملات الحل

 

Artinya: “Hukum asal fiqih mu’amalah adalah boleh dilakukan.” (Abu Muhammad Sholeh bin Muhammad bin Hasan Al-Asmari, Majmu'atul Fawa'id al-Bahiyyah 'ala Mandzumatil Qawa'idil Fiqhiyyah, [Arab Saudi: Darush Shomi'i, 2000 M],  halaman 75).

 

Mengacu kaidah fiqih tersebut, prosedur mengenai ranah politik dan sistem pemerintahan bisa jadi tidak memerlukan dalil dari teks agama yang rinci.

 

Dasar pembentukan sebuah pemerintahan dalam kaca mata syariat Islam adalah kemaslahatan yang tidak dituangkan secara tertulis, namun tergambar dalam bentuk dalil yang bersifat universal, yakni berupa prinsip-prinsip umum dalam berbagai seruan moral.

 

Adapun menyangkut detail operasionalnya, Islam sangat akomodatif dan kompatibel dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu tata negara.

 

Dalam sejarah perkembangan Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, terdapat beberapa mekanisme pengangkatan pemimpin.


1. Bai’at

Menurut Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah, bai’at dalam konteks politik adalah janji dan sumpah setia ketundukan terhadap seorang pemimpin untuk menjalankan segala urusan dirinya dengan rakyat. (Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, : 009 M], juz I, halaman 261)

 

Dalam sejarah Islam, proses bai’at pertama kali terjadi pada pengukuhan Abu Bakar ra sebagai pemimpin yang telah melewati proses Panjang dalam musyawarah yang terjadi di balai pertemuan Bani Sa’adah.

 

Dalam musyawarah ini, Abu Bakar ra dipilih oleh Umar bin Khathab ra dan sahabat lain yang turut berkumpul di tempat tersebut. Setelah sepakat untuk memilih Abu Bakar ra, seluruh sahabat memberikan bai’at mereka kepada beliau, sebagai bukti ketaatan atas perintah keputusannya. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 2017 M], juz IV, halaman 596).

 

Begitu juga dalam pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan ra dan terjadi kekosongan pemimpin, beberapa sahabat menghendaki untuk berbai’at kepada Ali bin Abi Thalib. (Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, [Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyyah, 2011 M], halaman 144-145).

 

2. Istikhlaf

Secara terminologi, istikhlaf merupakan wewenang khusus seorang pemimpin untuk menunjuk pengganti setelahnya, atau memberikan kriteria-kriteria tertentu tentang calon pemimpin yang menggantikannya, karena factor dampak positif (maslahat) yang dipertimbangkan oleh seorang pemimpin.

 

Dalam catatan sejarah, mekanisme ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar ra saat menunjuk Umar bin Khatthab ra sebagai penggantinya. 

 

Namun, perlu dipahami dalam mekanisme kedua ini, tidak lantas mengesampingkan kredibilitas calon-calon pemimpin yang disodorkan, serta tidak berarti meniadakan proses musyawarah. 

 

Karena realita sejarah mencatat tentang permusyawarahan Abu Bakar ra dengan para pembesar sahabat perihal penerus tampuk kepemimpinan amirul mu'minin, sebelum melayangkan surat keputusan suksesi kepemimpinan kepada Umar bin Khathab.

 

Jika mekanisme istikhlaf ini dilakukan tanpa sepengetahuan pihak ahlul halli wal ‘aqdi, maka wilayah atau jabatan kepemimpinannya tidak dapat mendapatkan keabsahan dalam syariat. (Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1999 M], juz VIII, halaman 339).

 

3. Taghallub

Taghallub berbeda dengan dua mekanisme sebelumnya. Secara terminologi mekanisme Taghallub merupakan wujud kekuasaan yang diperoleh dengan cara pemaksaan atau menjatuhkan pemimpin sebelumnya (kudeta) tanpa melewati dua proses sebelumnya, meski terkadang dalam mekanisme ini diakhiri dengan proses baiat.

 

Meski demikian, para pakar fiqih sepakat tentang keabsahan pemimpin yang memperoleh kekuasaannya melalui mekanisme ketiga ini meskipun tidak prosedural. Pada asalnya setiap manusia berhak untuk mempertahankan hak-hak yang dimiliki, seperti menjaga agama, harta, dan hal yang berkaitan dengan kehidupannya. 

 

Namun terdapat pengecualian dalam permasalahan kepemimpinan, di mana ada waktunya bersabar atas kezaliman penguasa merupakan salah satu cara untuk menyelematkan hak-hak kehidupan. ( Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami, juzVI, halaman 590).

 

Melihat penjelasan di atas, taghallub (pemaksaan) adalah sistem pengecualian, di mana keabsahannya diperoleh sebagai bentuk untuk menghindari adanya kerusakan yang lebih besar seperti tragedi konflik yang mengakibatkan pertumpahan darah. 

 

Karena jika mengikuti mekanisme yang benar, pengangkatan haruslah dilakukan atas dasar kerelaan dari rakyat.
 

Kepemimpinan otoriter merupakan gambaran kecil dari mekanisme taghallub, sistem kepemimpinan yang diperoleh dengan kekuatan militer, hingga memaksa rakyat yang memiliki hak untuk tunduk dan patuh dalam setiap keputusannya meskipun tidak sesuai dengan syariat.

 

Dalam mekanisme ini, meski kepemimpinannya diabsahkan oleh para ulama, namun dalam melakukan mekanisme ini, pemimpin dengan model taghallub diharamkan dan dianggap sebagai orang yang keluar dari ketentuan dan ajaran agama. Karena di dalamnya terdapat unsur menguasai hak milik orang lain tanpa izin. (Sulaiman bin Umar  Al-Jamal, Hasyiatul Jamal ‘ala Syarh Manhajuth Thullab, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 2003 M], juz VII, halaman 566).

 

Dalam mekanisme yang berbeda-beda tersebut terdapat suatu hikmah yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw tidak meninggalkan ketentuan mekanisme khusus dalam pemilihan pemimpin.
 

Nabi saw justru memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menentukan sendiri cara yang lebih maslahat, karena tuntutan zaman, waktu, dan tempat yang sangat beraneka ragam.

 

Hal tersebut karena yang terpenting dari itu semuanya adalah bagaimana relasi kewajiban dunia dan akhirat dapat terjaga dan terkonsolidasi dengan baik. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Ryan Romadhon, Alumni Ma'had Aly Al-Iman Bulus Purworejo