Tafsir

Tafsir Surat Shad Ayat 26: Kepemimpinan Nabi Dawud Tak Menuruti Hawa Nafsu

Sel, 6 Februari 2024 | 15:00 WIB

Tafsir Surat Shad Ayat 26: Kepemimpinan Nabi Dawud Tak Menuruti Hawa Nafsu

Ilustrasi: pemimpin (freepik).

Ayat 26 surat Shad merupakan salah satu ayat yang menjelaskan bagaimana Allah mengangkat Nabi Dawud sebagai pemimpin. Tidak hanya itu, Allah juga memberi batasan-batasan kepada Nabi Dawud bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Mari kita simak paparan para ahli tafsir terkait ayat tersebut. Allah berfirman:
 

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ 

 

Yâ dâwûdu innâ ja‘alnâka khalîfatan fil-ardhi faḫkum bainan-nâsi bil-ḫaqqi wa lâ tattabi‘il-hawâ fa yudlillaka ‘an sabîlillâh, innalladzîna yadhillûna ‘an sabîlillâhi lahum ‘azhâbun syadîdum bimâ nasû yaumal-ḫisâb.
 

Artinya: “Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak, dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”

 

As-Samarqandî dalam kitab Bahrul ‘Ulum mengatakan bahwa Allah telah memuliakan Nabi Dawud dengan menjadikannya seorang nabi dan pemimpin agar bisa meneladani para pemimpin sebelumnya.

 

ثم قوله عز وجل: ‌يا ‌داوُدُ ‌إِنَّا ‌جَعَلْناكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ يعني: أكرمناك بالنبوة، وجعلناك خليفة، والخليفة الذي يقوم مقام الذي قبله، فقام مقام الخلفاء الذين قبله، وكان قبله النبوة في سبط، والملك في سبط آخر، فأعطاهما الله تعالى لداود

 

Artinya: “Lalu firman Allah yang maha mulia dan maha agung: "Yâ dâwûdu innâ ja‘alnâka khalîfatan fil-ardhi, yakni: "Kami (Allah) memulyakanmu dengan menjadikan seorang nabi, dan juga seorang pemimpin". Pemimpin yang bisa bertindak selayaknya pemimpin sebelumnya. Maka ia bisa berperilaku seperti pemimpin sebelumnya. Pada masa sebelumnya (masa sebelum Nabi Dawud) ada Nabi dari salah satu suku, dan raja di suku yang lain. Lalu Allah memberikan keduanya (derajat kenabian dan raja) kepada Nabi Dawud.” (As-Samarqandî, Bahrul ‘Ulum, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1993], juz III, halaman 134).

 

Imam At-Tustari mengatakan bahwa dalam memutuskan suatu hukum jangan mengikuti hawa nafsu. Karena hawa nafsu bisa mengalahkan akal fikiran. Dengan kamu mengikuti hawa nafsu orang akan memutuskan suatu hukum tanpa menggunakan akal fikiran.

 

قوله: وَلا تَتَّبِعِ الْهَوى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ [٢٦] قال: أي ظلمة الهوى تستر أنوار ذهن النفس والروح وفهم العقل وفطنة القلب، كما قال النبي صلّى الله عليه وسلّم: إن الهوى والشهوة يغلبان العقل والعلم

 

Artinya: “Firman-Nya: "Walâ tattabi‘il-hawâ fa yudlillaka ‘an sabîlillâh". Beliau (Imam At-Tustari) berkata: "(Yang dimaksud dengan hawâ) yakni kegelapan hawa nafsu bisa menutup pancaran sinar hati nurani, kinerja akal dan kecerdasan hati. Hal ini senada dengan yang disabdakan Nabi saw: “Sungguh hawa nafsu dan syahwat bisa mengalahkan akal pikiran dan pengetahuan.” (At-Tustari, Tafsir At-Tustari, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1423], halaman: 132).

 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Bakrah dikatakan: “Janganlah salah satu dari kalian menghukumi seseorang sedangkan kalian dalam keadaan marah”. Hal tersebut dikarenakan dalam keadaan marah hati kita tidak dalam keadaan normal. Maka kita akan memutuskan suatu hukum sesuai hawa nafsu kita. 
 

Syekh Khathib As-Syirbini dalam tafsirnya menyimpulkan bahwa Allah memberi dua batasan kepada pemimpin dalam memutuskan sesuatu.

 

Pertama, pemimpin dalam memutuskan sesuatu harus adil, dalam artian sesuai dengan ketentuan syari’ah. Karena hal tersebut akan membawa kemaslahatan kepada umat. Kedua, pemimpin dalam memutuskan hendaknya tidak menuruti hawa nafsu. Karena dengan mengikuti hawa nafsu akan menyeretnya kepada lubang kesesatan.
 

فاحكم بين الناس أي: الذين يتحاكمون إليك من أي قوم كانوا بالحق أي: بالعدل لأن الأحكام إذا كانت مطابقة للشريعة الحقة الإلهية انتظمت مصالح العالم واتسعت أبواب الخيرات وإذا كانت الأحكام على وفق الأهوية وتحصيل مقاصد الأنفس أفضى ذلك إلى تخريب العالم ووقوع الهرج فيه والمرج في الخلق وذلك يفضي إلى هلاك ذلك الحاكم ولهذا قال تعالى: ولا تتبع الهوى أي: لا تمل مع ما تشتهي إذا خالف أمر الله تعالى ثم سبب عنه قوله تعالى: فيضلك أي: ذلك الاتباع أو الهوى عن سبيل الله لأن متابعة الهوى توجب الضلال عن سبيل الله والضلال عن سبيل الله يوجب سوء العذاب 

 

Artinya: “Maka berilah putusan di antara manusia yang meminta putusan hukum kepadamu dari manapun berada dengan hak dengan adil maksudnya. Karena ketika suatu putusan hukum sesuai syariah, maka kemaslahatan alam semesta akan terjaga, dan akan membuka pintu-pintu kebaikan. Namun ketika putusan hukum sesuai dengan hawa nafsu, maka akan menyeret pada kerusakan dan membuat alam menjadi kacau. Hal tersebut akan membuat pemimpin tersebut menjadi binasa.

 

Karenanya Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu yakni jangan condong dengan nafsu ketika hal itu berseberangan dengan putusan Allah. Lantas hal tersebut menyebabkan sesuatu yang senada dengan firman Allah ta‘âlâ: "Maka hal itu (mengikuti hawa nafsu) akan menyesatkan dirimu dari jalan Allah. Karena mengikuti hawa nafsu mengharuskan kesesatan dari jalan Allah dan tersesat dari jalan Allah mengharuskan azab yang pedih.” (Al-Khathib As-Syarbini, As-Sirajul Munir, [Cairo, Matba’ah Bulaq: 1285], juz III, halaman 410).

 

Nah, dari surat Shad ayat 26 bisa diambil pelajaran, menjadi seorang pimpinan dalam mengambil keputusan harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Allah dan tidak mengikuti hawa nafsu. Hal itu tidak lain dikarenakan suatu usaha untuk menjaga kemaslahatan alam semesta. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Sirun, Ketua Tahqiqul Kutub Pesantren An-Nur II Bululawang Malang.