Ilmu Al-Qur'an

7 Ayat Al-Qur’an tentang Pemimpin dan Kepemimpinan

Sel, 31 Oktober 2023 | 11:00 WIB

7 Ayat Al-Qur’an tentang Pemimpin dan Kepemimpinan

Ilustrasi Al-Quran. (Foto: NU Online/Freepik)

Pemimpin dan kepemimpinan memiliki peran penting dalam menciptakan ketertiban, keadilan, dan kemajuan dalam suatu masyarakat. Dalam Al-Qur'an, Allah swt memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Mari kita telaah beberapa ajaran Al-Qur'an terkait dengan pemimpin dan kepemimpinan.

 

Di antara sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah jujur dan amanah dalam menjalankan tanggung jawabnya. Kejujuran merupakan landasan utama bagi seorang pemimpin yang hendak mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

 

Pemimpin juga harus bersikap adil dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu, baik terhadap kelompok mayoritas maupun minoritas. Dalam memberi keadilan pemimpin juga harus berfikir dan bertindak dengan bijaksana saat mengambil keputusan. Kebijaksanaan adalah ciri utama seorang pemimpin yang diinginkan oleh Allah. Hal ini untuk memastikan pemberian hak-hak yang sepatutnya pada yang dipimpin.

 

Dalam merangkai kepemimpinan yang Islami, diperlukan sosok pemimpin yang merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Pemimpin yang diilhami oleh nilai-nilai Al-Qur'an akan mampu membawa kemajuan dan keberkahan bagi seluruh masyarakat.

 

Banyak ayat Al-Qur’an yang secara tersurat dan tersirat membahas tentang pemimpin dan kepemimpinan. Dan berikut ini penulis suguhkan 7 ayat dalam Al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan hal tersebut. Ayat ini bisa menjadi salah satu gambaran dan rambu-rambu bagaimana seorang pemimpin senantiasa bertindak menjalankan tugas dan fungsinya. Bukan hanya untuk pemimpin sekala besar, namun juga untuk setiap individu karena memang setiap orang adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya dan keluarganya sendiri.

 

1. QS. Al-Baqarah Ayat 30:

 

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ 

 

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah (pemimpin) di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” 

 

Dalam Tafsir Al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, disebutkan bahwa khalifah yang dimaksud di sini adalah Adam. Ia disebut khalifah karena ia adalah pengganti jin yang datang sebelumnya. Ada yang menafsirkan, Adam disebut khalifah karena ia juga akan digantikan oleh orang lain. Yang jelas, Adam merupakan khalifah Allah di bumi untuk menegakkan ketentuan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.

 

2. QS. Al-Baqarah Ayat 124:

 

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ 

 

Artinya: “(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”

 

Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsir Kemenag RI, makna posisi imam atau pemimpin adalah nabi dan rasul. Posisi ini adalah semata-mata pangkat yang dianugerahkan oleh Allah dan hanya Dia sendiri yang menetapkan kepada siapa pangkat itu akan diberikan-Nya. Tidak semua manusia dapat mencapainya sekalipun dia telah melaksanakan segala perintah dan menghentikan segala larangan Allah. 

 

Dengan perkataan lain, pangkat imam yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Ibrahim itu ditetapkan atas kehendak-Nya, bukan ditetapkan karena Nabi Ibrahim telah menyelesaikan dan menyempurnakan tugas yang diberikan kepadanya, agar dia menyadari bahwa pangkat yang diberikan Allah itu sesuai baginya, dan agar dia merasa dirinya mampu melaksanakan tugas dan memikul beban yang telah diberikan.

 

3. QS. Ali Imran ayat 159:

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ 

 

Artinya: “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

 

Ayat ini adalah contoh bagaimana Rasulullah memberikan tauladan menjadi pemimpin yang santun dan lemah lembut. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam Perang Uhud sehingga menyebabkan kaum Muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. 

 

Rasulullah selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum Muslimin patuh melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. 

 

4. Al-Maidah ayat 8

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ 

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

 

Ayat ini mengingatkan para pemimpin untuk senantiasa berlaku adil. Dalam Kitab Tafsir Al-Khawatir karya Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dijelaskan bahwa sikap adil ini berlalu bagi setiap individu, bahkan dalam menentukan keputusan hukum untuk hal-hal yang terlihat sepele. Kapan dan di mana pun, ayat ini sangat relevan untuk dijadikan pegangan oleh mereka yang memiliki wewenang dalam menetapkan keputusan hukum.

 

5. QS An-Nisaa ayat 34:

 

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا 

 

Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

 

Dalam Tafsir Kementerian Agama RI disebutkan bahwa makna dari اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ adalah kaum laki-laki merupakan pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap istri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya.

 

Suami harus berlaku baik kepada istri yang tidak taat kepadanya. Ia harus memberi nasihat dan jika tidak berhasil, maka suami mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya. Suami sebagai pemimpin juga tak boleh mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar kesalahan-kesalahan yang sudah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu. 

 

6. QS. An-Nisa Ayat 59:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ 

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).”

 

Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslimin taat dan patuh pada pemimpin atau orang yang memegang kekuasaan di antara mereka agar tercipta kemaslahatan umum. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum Muslimin berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur’an dan hadits. Kalau tidak demikian, maka kita tidak wajib melaksanakannya.

 

Jika ada sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat, maka wajib dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hadits. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Tentunya yang dapat melakukan kias seperti yang dimaksud di atas ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mengetahui dan memahami isi Al-Qur’an dan sunah Rasul. (Tafsir kemenag RI)

 

7. QS. Shad Ayat 26:

 

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ 

 

Artinya: “(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”

 

Pada ayat ini, Allah menjelaskan pengangkatan Nabi Daud sebagai penguasa dan penegak hukum di kalangan rakyatnya. Allah menyatakan bahwa Dia mengangkat Daud sebagai penguasa yang memerintah kaumnya. Pengertian penguasa diungkapkan dengan khalifah, yang artinya pengganti, adalah sebagai isyarat agar Daud dalam menjalankan kekuasaannya selalu dihiasi dengan sopan-santun yang baik, yang diridai Allah, dan dalam melaksanakan peraturan hendaknya berpedoman kepada hidayah Allah. Dengan demikian, sifat-sifat khalifah Allah tercermin pada diri pribadinya. Rakyatnya pun tentu akan menaati segala peraturannya dan tingkah lakunya yang patut diteladani.

 

H Muhammad Faizin, Sekretaris MUI Provinsi Lampung