Syariah

Akibat Memberi Nafkah Anak dari Uang Suap Politik

Sel, 13 Februari 2024 | 21:00 WIB

Akibat Memberi Nafkah Anak dari Uang Suap Politik

Ilustrasi: anak-anak (freepik).

Memberi nafkah anak merupakan kewajiban bagi seorang ayah. Dalam Islam, ayah diwajibkan untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, maupun kesehatan. Namun, bagaimana jika nafkah tersebut diperoleh dari hasil suap politik?

 

Suap politik adalah tindakan memberikan atau menerima sesuatu (uang, barang, atau jasa) dengan tujuan untuk mempengaruhi proses politik. Hal ini termasuk menyuap pejabat pemerintah, anggota parlemen, atau politisi lainnya agar mereka membuat keputusan yang menguntungkan pemberi suap.


 

Dalam pertemuan Musawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) Nomor 01 Tahun 2002 tentang Praktek Money Politik Dan Hibah Terhadap Pejabat, mengatakan bahwa money politik atau suap politik, yang berupa pemberian uang atau bentuk lainnya, bertujuan untuk mempengaruhi atau memanipulasi keputusan yang seharusnya adil dan objektif. Dalam ajaran Islam, tindakan tersebut dianggap sebagai suap (risywah) yang diberi kutukan oleh Allah SWT. Baik yang memberi (raisy), yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raisy), semuanya dianggap berdosa.


 

Hukum Suap Politik dalam Islam

Suap politik merupakan tindakan yang haram dalam Islam. Hal ini dikarenakan suap termasuk dalam kategori korupsi, yang merupakan salah satu dosa besar. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatul Thalibin, bahwa hukum menerima suap, termasuk suap politik, adalah haram mutlak.  
 

 

فرع قد ذكرنا أن الرشوة حرام مطلقاً والهدية جائزة في بعض الأحوال فيطلب الفرق بين حقيقتيهما مع أن الباذل راض فيهما والفرق من وجهين أحدهما ذكره ابن كج أن الرشوة هي التي يشرط على قابلها الحكم بغير الحق أو الامتناع عن الحكم بحق والهدية هي العطية المطلقة والثاني قال الغزالي في الإحياء المال إما يبذل لغرض آجل فهو قربة وصدقة وإما لعاجل وهو إما مال فهو هبة بشرط ثواب أو لتوقع ثواب وإما عمل فإن كان عملا محرماً أو واجباً متعيناً فهو رشوة وإن كان مباحاً فإجارة أو جعالة وإما للتقرب والتودد إلى المبذول له فإن كان بمجرد نفسه فهدية وإن كان ليتوسل بجاهه إلى أغراض ومقاصد فإن كان جاهه بالعلم أو النسب فهو هدية وإن كان بالقضاء والعمل فهو رشوة


 

Artinya, "Cabang Masalah: Apa yang telah kita sebutkan bahwa suap adalah haram secara mutlak dan hadiah adalah halal dalam beberapa keadaan, maka dicari perbedaan antara keduanya, meskipun pemberi keduanya merasa puas. Perbedaannya dari dua sisi. Salah satunya, yang disebutkan oleh Ibnu Kaj, bahwa suap adalah ketika seseorang (memberi harta dengan) menuntut keputusan yang tidak adil atau menolak keputusan yang adil, sedangkan hadiah adalah pemberian tanpa syarat. 


 

Kedua, Al-Ghazali mengatakan dalam Ihya' Ulumiddin bahwa harta bisa diberikan untuk tujuan akhirat, maka pemberian itu bisa menjadi sedekah atau amal ibadah. Atau untuk tujuan duniawi. Bisa berupa harta, maka pemberian itu merupakan hibah dengan syarat ada imbalan hartanya, atau karena mengharap imbalan. Bisa juga berupa perbuatan. Jika perbuatan yang diharapkan tersebut haram atau wajib, maka itu adalah suap, tetapi jika perbuatan yang halal, maka pemberian itu adalah ijarah atau ju'alah


 

Bisa juga pemberian itu karena untuk mendekatkan diri dan menarik simpati orang yang diberi. Jika hal itu hanya terkait dengan diri orang tersebut, maka pemberiannya disebut hadiah; dan jika agar ia menjadikan derajat orang tersebut untuk mencapai berbagai tujuan maksud lain, maka jika derajat itu berupa ilmu atau nasab, maka pemberiannya disebut hadiah, bila derajat itu adalah kewenangan memutuskan hukum dan perbuatan, maka pemberiannya suap." (AN-Nawawi, Raudhatul Thalibin wa Umdatul Muftin, jilid XI, halaman 144).


 

Anjuran Nafkah dengan Halal

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menekankan pentingnya menjaga kehati-hatian dan integritas dalam menerima pemberian dari seseorang, terutama dalam hal nafkah.
 

Penerima perlu memastikan bahwa harta yang diterima halal dan tidak mengandung unsur suap atau manipulasi. Selain itu, penting untuk memahami tujuan pemberi dan memastikan bahwa penerimaannya tidak didasari oleh keserakahan atau manipulasi.


 

Menurut Al-Ghazali, sebelum menerima sesuatu dari seseorang perlu memerhatikan nafsul mal (dzatiyah harta). Ini mengacu pada sumber atau asal-usul dari harta yang diberikan. Penting untuk memastikan bahwa harta yang diterima itu halal dan tidak bermasalah secara syariat agama.
 

 

Seandainya terdapat keraguan atau syubhat mengenai kehalalan harta tersebut, maka orang yang menerimanya sebaiknya berhati-hati dan tidak mengambilnya.


 

Yang perlu diperhatikan juga adalah tujuan pemberi (meeting of minds). Seyogianya perlu diperhatikan apa yang menjadi tujuan dari orang yang memberikan pemberian tersebut. Apakah pemberian itu diberikan dengan niat baik dan tulus, ataukah ada motif tersembunyi di baliknya.
 

Ini penting untuk memastikan bahwa penerimaan pemberian tidak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh pihak yang memberikan dengan tujuan yang kurang baik.
 

 

آداب الفقير في قبول العطاء إذا جاءه بغير سؤال ينبغي أن يلاحظ الفقير فيما جاءه ثلاثة أمور : نفس المال ، وغرض المعطي ، وغرضه في الأخذ . أما نفس المال : فينبغي أن يكون حلالا خاليا عن الشبهات فإن كان فيه شبهة فليحترز من أخذه

 

Artinya, "Adab orang miskin dalam menerima sedekah ketika diberikan tanpa diminta seharusnya memperhatikan tiga hal: sifat dari harta tersebut, tujuan pemberi, dan tujuan penerima. Mengenai sifat dari harta tersebut: seharusnya harta tersebut halal dan bebas dari keraguan, jika ada keraguan maka hendaknya dia menjauhinya. (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, jilid IV, halaman 105).

 

Akibat Memberi Nafkah Anak Menggunakan Uang Suap Politik

Terkait nafkah dari suami yang bersumber dari uang suap politik, yang notabene haram, terdapat beberapa dampak negatif.
 

Dampak pertama, memberi nafkah dari uang haram akan mendapatkan dosa dan siksa kelak di akhirat. KH M Sjafi'i Hadzami, dalam buku 100 Masalah Agama menjelaskan, orang yang sudah dewasa, termasuk anak dan istri, memiliki kewajiban untuk meninggalkan atau tidak mengonsumsi makanan yang diketahui berasal dari sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah.


 

Artinya, jika seseorang mengetahui bahwa makanan tersebut adalah sesuatu yang diharamkan, berdasarkan ajaran agama Islam atau hukum syariat, maka sebaiknya tidak mengonsumsinya.
 

 

Alasannya sebab dalam ajaran Islam, konsumsi makanan yang haram atau diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dianggap sebagai pelanggaran terhadap perintah agama. Oorang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat atas tindakannya tersebut. Dalam konteks ini, mengonsumsi makanan yang haram tidak hanya berdampak di dunia, tetapi juga memiliki konsekuensi di kehidupan akhirat. (KH M Sjafi'i Hadzami, 100 Masalah Agama, jilid III, halaman 286 ).


 

Penjelasan lebih lanjut dari Syekh Zainuddin Al-Malibar. Dalam kitab Fathul Mu'in, ia menyatakan, jika seseorang mengetahui dengan jelas bahwa suatu barang atau makanan adalah tidak baik atau haram secara lahiriah, maka orang tersebut akan diminta pertanggungjawaban di akhirat atas perbuatannya.

 

فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي  


 

Artinya: "Faidah: Jika seseorang mengambil sesuatu dari orang lain dengan cara yang sah, tetapi ia mengiranya halal, padahal sebenarnya haram secara batin, maka jika orang yang memberinya itu tampak baik, maka ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Namun jika tidak, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Hal ini dikatakan oleh Imam Al-Baghawi." (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu'in, halaman 67).



 

Sementara itu Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah mengatakan, memberi nafkah keluarga dengan uang haram, hukumnya adalah haram. Pemberinya akan mendapatkan dosa dan murka dari Allah swt, karena menggunakan harta yang haram untuk menafkahi keluarga. 

 

Lebih jauh lagi, nafkah haram ini bertentangan dengan anjuran Islam yang menganjurkan untuk mencari rezeki yang halal. Pun menerima harta yang haram dapat mempengaruhi spiritual dan moralitas, serta memberikan konsekuensi negatif dalam kehidupan. Untuk itu, Imam Ghazali, menekankan pentingnya menjaga agar perut terhindar dari makanan yang haram dan syubhat (ragu-ragu). 
 

 

وأما البطن: فاحفظه من تناول الحرام والشبهة، واحرص على طلب الحلال، فإذا وجدته فاحرص على أن تقتصر منه على ما دون الشبع، فإن الشبع يقسي القلب، ويفسد الذهن، ويبطل الحفظ، ويثقل الأعضاء عن العبادة والعلم، ويقوي الشهوات، وينصر جنود الشيطان. والشبع من الحلال مبدأ كل شر، فكيف من الحرام وطلب الحلال فريضة على كل مسلم، والعبادة مع أكل الحرام كالبناء على السرجين


 

Artinya, "Jagalah perutmu dari memakan yang haram dan yang meragukan. Berusahalah mencari yang halal. Ketika kamu menemukannya, jagalah agar kamu tidak makan sampai kenyang. Sebab, kekenyangan dapat mengeraskan hati, merusak akal, melemahkan hafalan, memberatkan anggota tubuh dari ibadah dan ilmu, memperkuat hawa nafsu, dan membantu pasukan setan. Kekenyangan dari makanan halal adalah awal dari segala keburukan. Bagaimana bila kenyang dengan makanan haram? Mencari makanan halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Beribadah dengan memakan makanan haram bagaikan membangun di atas kotoran." (Al-Ghazali,Bidayatul Hidayah, [Kairo, Maktabah Madbuli:1993], halaman 56)


 

Dampak kedua, uang haram dari suap politik menghasilkan energi negatif yang mendorong manusia pada perbuatan maksiat. Sayyid Murtadha Az-Zabidi dalam kitab Ithafus Sadah, ketika seseorang mengonsumsi makanan haram, energi yang dihasilkan cenderung mendorongnya untuk melakukan perbuatan maksiat. Hal ini dikarenakan makanan haram mengandung zat-zat yang dapat memicu hawa nafsu dan melemahkan kontrol diri. 


 

Sejatinya, makanan yang dikonsumsi menjadi sumber energi bagi tubuh. Energi ini dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas, baik kebajikan maupun maksiat.  Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa orang yang mengonsumsi makanan haram lebih mudah mengalami agresivitas dan perilaku impulsif. Hal ini menunjukkan bahwa makanan haram dapat memengaruhi kondisi mental dan emosional seseorang, sehingga membuatnya lebih mudah terjerumus ke dalam maksiat. 


 

Simak penjelasan berikut;


وقال سهل رضي الله عنه من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى ، علم أو لم يعلم

 

Artinya, "Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu berkata, "Siapa saja yang memakan makanan haram, maka anggota tubuhnya akan bermaksiat kepada Allah, mau dia suka atau tidak, tahu atau tidak tahu."  Sayyid Murtadha Az-Zabidi, Ithafus Sadah Syarhu Ihya' Ulumiddin, jilid VI, halaman 11).

 

Dengan demikian, makan makanan haram akan berdampak buruk pada diri seseorang, bahkan anggota tubuhnya pun akan bermaksiat kepada Allah. Hal ini terjadi karena makanan haram merupakan sumber energi yang negatif, sehingga dapat memengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang.

 


Dampak ketiga, amal dengan harta haram suap politik tidak diterima Allah swt. Imam Al-Ghazali mengibaratkan seperti membersihkan pakaian kotor dengan air kencing. Air kencing justru akan membuat pakaian semakin kotor.
 

Karena itu, penting bagi seorang muslim untuk mencari harta dengan cara yang halal. Harta halal yang digunakan untuk beramal akan diterima oleh Allah dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
 

 

وقال سفيان الثوري رضي الله عنه : من أنفق من الحرام في طاعة الله كان كمن طهر الثوب النجس بالبول ، والثوب النجس لا يطهره إلا الماء ، والذنب لا يكفره إلا الحلال
 

 

Artinya; Barangsiapa yang menginfakkan harta haram dalam ketaatan kepada Allah, maka dia seperti orang yang membersihkan pakaian kotor dengan air kencing. Pakaian kotor tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air, dan dosa tidak dapat dihapuskan kecuali dengan harta halal." (Al-Ghazali, Ihya, dalam Ithafus Sadah, juz IV, halaman 458).


 

Dengan demikian, sebagai seorang muslim harus berhati-hati dalam memilih makanan dan minuman. Pastikan makanan dan minuman yang kita konsumsi halal dan thayyib, agar tubuh dan jiwa kita terjaga dari pengaruh negatif. Pun seyogianya memberikan nafkah pada keluarga dengan uang yang halal. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Ciputat Jakarta