Syariah

Perbedaan Suap dan Hadiah dalam Fiqih Islam

Kam, 8 Februari 2024 | 10:00 WIB

Perbedaan Suap dan Hadiah dalam Fiqih Islam

Ilustrasi: uang - rupiah (freepik)1.

Suap atau Risywah memiliki karakter yang sama dengan hibah, hadiah, dan sedekah, yaitu sama-sama model pemberian dengan mengandung unsur kerelaan, namun status hukumnya berbeda.

 

Dalam sebuah hadits, Nabi saw dengan tegas melaknat pelaku suap, penerima, dan orang yang menjadi perantara di dalamnya. Nabi saw bersabda:

 

عَنْ ثَوْبَانَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشُ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا (رواه أحمد)

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Tsauban ra, ia berkata: “Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap dan perantaranya” maksudnya orang yang menjadi perantara penyuap dan penerimanya." (HR Ahmad).

 

Syekh Nawawi Al-Bantani mendefinisikan risywah atau suap sebagai pemberian kepada qadhi (hakim) dengan motif agar menggagalkan sebuah kebenaran atau melegalkan kejahatan. Dalam kitab Nihayatuz Zain, Syekh Nawawi mengatakan: 
 

وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطائها كذلك لأنه إعانة على معصية
 

Artinya, “Menerima suap haram hukumnya. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada qadhi agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar. Memberi suap juga diharamkan sebab termasuk membantu terjadinya maksiat.” (Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, halaman 370).

 

Sementara itu Ibnu Katsir dalam Mishbahul Munir menjelaskan bahwa praktik suap tidak hanya menyangkut pemberian terhadap hakim yang memiliki otoritas putusan hukum dalam suatu negara, akan tetapi lebih luas daripada itu. Ibnu Katsir menulis: 

 

 الرِّشْوَةُ -بِالكَسْرِ- مَا يُعْطِيْهِ الشَّحْصُ الحَاكِمَ وَغَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ أَو يَحْمِلُهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ
 

Artinya, “Risywah -dengan harakat kasrah pada huruf ra'- adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya agar menetapkan hukum yang memihak penyuap, atau agar menuruti apa yang diinginkan penyuap.” (Ibnu Katsir, Misbahul Munir, juz I, halaman 228).

 

Dari pengertian di atas, risywah atau suap memiliki motif supaya orang yang menerima suap bersedia melakukan hal-hal yang menyimpang. Penyuap, penerima suap dan perantara yang terlibat di dalamnya akan mendapatkan dosa.

 

Perbedaan Suap dan Hadiah

Jika dilihat sekilas, risywah atau suap memang memiliki kesamaan dengan model pemberian lainnya. Menurut Imam Al-Ghazali, secara umum istilah pemberian (hibah) dapat mencakup hadiah, sedekah, dan suap. Ketiganya sama-sama mengandung unsur kerelaan dari pemberi. Namun yang membedakan ketiganya terletak pada motif pemberian.

 

Imam Al-Ghazali merinci motif pemberian:

  1. Jika dilatari dengan motif ukhrawi seperti pahala, maka disebut sedekah. Sedangkan jika dengan motif memuliakan, maka disebut hadiah.
  2. Jika dilatari dengan motif duniawi maka dapat dikategorikan hibbah bi tsawab (pemberian dengan adanya balasan), atau ijarah (upah dalam akad ijarah).
  3. Jika pemberian dilatari dengan motif agar tujuan pemberi tercapai melalui perantara penerima, maka tergolong risywah atau suap.
 

Berikut penjelasan Imam Al-Ghazali yang dikutip Syekh Zakariya Al-Anshori dalam Asnal Mathalib:

 

قَوْلُهُ تَحْرُمُ الرِّشْوَةُ: قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ أَوْ مُبَاحٍ فَإِجَارَةٌ أَوْ جَعَالَةٌ أَوْ تَوَدُّدٍ مُجَرَّدٍ أَوْ تَوَسُّلٍ بِجَاهِهِ إلَى أَغْرَاضِهِ فَهَدِيَّةٌ إنْ كَانَ جَاهُهُ بِالْعِلْمِ أَوْ النَّسَبِ ، وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ أَوْ الْعَمَلِ فَرِشْوَةٌ

 

Artinya, “Risywah haram" Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya' berkata: "Harta jika diberikan dengan tujuan mendatang (pahala akhirat) maka dinamakan sedekah. Jika diberikan untuk tujuan ‘ajal (imbalan dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyartit tsawab. Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an maka dinamakan risywah. Jika untuk perkara yang mubah maka dinamakan dengan ijarah atau ja'alah. Jika pemberian harta karena murni tali kasih atau untuk berwasilah dengan derajat pangkatnya agar tercapai tujuan-tujuannya, itu dinamakan hadiah. Jika kedudukan dan derajatnya itu berupa ilmu atau nasab; namun jika berupa putusan hukum atau satu tindakan maka dinamakan risywah.” (Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz IV, halaman 200)

 

Perspektif Ilmu Hukum Positif

Dalam ilmu Hukum Pidana, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Prof. Eddy Omar Syarif menerangkan perbedaan suap dengan bentuk pemberian lainnya adalah pada ada atau tidaknya meeting of minds pada saat penerimaan. Meeting of minds dapat diartikan sebagai konsesus atau kesepakatan. Dalam tindak pidana suap, terdapat meeting of minds atau kesepakatan antara pemberi dan penerima suap. (Pengantar Grafitikasi. [Jakarta: Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan:, 2015, halaman 85-86).

 

Hal itu bisa digambarkan  ada seseorang datang menemui atasannya untuk dipromosikan, lalu orang tersebut memberikan kesepakatan dengan mengimi-imingi sesuatu jika dirinya berhasil dipromosikan. Dalam kasus ini terdapat meeting of minds antara keduanya sehingga masuk praktek suap menyuap.

 

Beda halnya jika seseorang diangkat dalam suatu jabatan atas dasar kewenangan. Lalu dia  datang memberikan sesuatu kepada orang yang memberinya jabatan. Maka hal ini tidak termasuk praktek suap-menyuap karen tidak ada meeting of minds sebelumnya.

 

Hal itu selaras dengan pasal 2 dan 3 UU No. II tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap yang berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 2

"Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selamalamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belasjuta rupiah)."

 

Pasal 3

"Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)."

 

Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa risywah atau suap merupakan bentuk pemberian dengan motif agar tujuan-tujuan si pemberi dapat tercapai melalui perantara penerima suap. Semantara hadiah atau sedekah adalah murni pemberian atas dasar sukarela dengan motif ukhrawi seperti pahala atau dengan tujuan memuliakan orang. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan