Syariah

Larangan dan Bahaya Politik Uang dalam Islam

Sel, 13 Februari 2024 | 16:00 WIB

Larangan dan Bahaya Politik Uang dalam Islam

Stop politik uang. (Foto: NU Online)

Uang suap politik, bagaikan benalu yang menggerogoti demokrasi Indonesia. Praktik haram ini bagaikan hantu yang membayangi setiap pesta demokrasi, meredam suara rakyat dan memanipulasi hasil pemilu. Di balik iming-iming uang dan materi, terkandung bahaya besar yang mengancam masa depan bangsa.


Apa itu uang suap politik?. Uang suap politik, atau dikenal sebagai money politic (politik uang), adalah praktik pemberian uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka dalam pemilu. Praktik ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti pemberian uang secara langsung, pemberian sembako, ataupun janji-janji proyek dan jabatan.


Sementara itu dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi, yang diterbitkan oleh Lakpesdam PBNU tahun 2016, halaman 139, diterangkan bahwa yang dimaksud dengan suap politik [risywah politik] adalah pemberian sesuatu kepada pemilih agar mereka memilih calon tertentu. 


Dalam praktiknya, suap politik dapat berupa uang, barang, atau jasa, seperti transportasi, ganti rugi atas waktu yang hilang, atau bahkan zakat dan sedekah. Praktik ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan telah menjadi sorotan utama dalam diskusi di Munas-Konbes NU tahun 2002 tentang Money Politic dan Hibah terhadap Pejabat.


Dengan demikian risywah adalah harta yang diberikan seseorang kepada hakim, pemerintah, aparat negara, atau pihak lain dengan tujuan memberikan keputusan yang dapat menguntungkan pemberi suap atau memutuskan hukum sesuai keinginan pemberi suap. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abidin, dalam kitab Hasiyah Radd al-Mukhtar, juz V, (Bairut: Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M), halaman 362 berikut:


وفي المصباح: الرشوة بالكسر: ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد


Artinya: "Dalam kitab Al-Misbah, kata Risywah (dengan kasrah ra) adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada penguasa atau orang lain agar dia memutuskan perkara untuknya atau membantunya mencapai apa yang diinginkannya."


Sementara itu dalam keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) Nomor: 001 Tahun 1423 H/2002 M tentang Money Politik dan Hibah terhadap Pejabat menyebutkan bahwa money politic [suap politik], yang dalam bentuk pemberian uang atau lainnya, bertujuan untuk memengaruhi atau menyelewengkan keputusan yang adil dan objektif.


Dalam Islam, hal ini dikategorikan sebagai suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah swt. Baik pemberi (raisy), penerima (murtasyi), maupun perantara (raaisy), semuanya berdosa.


Dengan demikian, Muktamar NU pada tahun 2002 dengan tegas  memutuskan bahwa melakukan tindak politik uang bertentangan dengan syariat Islam dan karenanya diharamkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mughni dalam karya Ibnu Qudamah, Jilid X, halaman 118 dijelaskan bahwa seorang pejabat yang menerima harta suap, itu akan membawanya menuju ambang batas kekafiran. 


( ولا يقبل هدية من لم يكن يهدي إليه قبل ولايته ) وذلك لأن الهدية يقصد بها في الغالب استمالة قلبه ، ليعتني به في الحكم ، فتشبه الرشوة . قال مسروق : إذا قبل القاضي الهدية ، أكل السحت ، وإذا قبل الرشوة ، بلغت به الكفر 


Artinya: "Dan tidak boleh menerima hadiah dari orang yang sebelumnya tidak pernah memberinya hadiah sebelum dia (penerima) berkuasa. Hal ini karena hadiah pada umumnya bertujuan untuk menarik hatinya, agar dia (penerima) memperhatikan pemberi hadiah dalam pengambilan keputusan, sehingga mirip dengan suap. Masruq berkata, "Jika seorang hakim menerima hadiah, maka dia telah memakan harta haram, dan jika dia menerima suap, maka suap itu akan mnegantarkannya ke batas kekafiran".


Dampak Negatif Uang Suap Politik

Tak bisa dipungkiri, uang suap politik sangat berbahaya dalam negara demokrasi. Pelanggengan sistem bejat ini akan merusak sendi-sendi demokrasi. Setidaknya, politik uang berdampak negatif pada lima hal. Pertama, politik uang merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kapabilitas. Suara yang seharusnya menjadi representasi aspirasi rakyat tergadaikan oleh iming-iming uang atau materi. Demokrasi yang seharusnya berlandaskan pada kedaulatan rakyat, terdistorsi oleh praktik kotor ini.


Kedua, melahirkan pemimpin korup. Calon pemimpin yang menggunakan uang suap untuk meraih kursi, kemungkinan besar akan terjebak dalam lingkaran korupsi. Mereka terpilih bukan karena kompetensi, tetapi karena kemampuan finansial untuk membeli suara. Ketika terpilih, mereka akan fokus untuk "mengembalikan modal" yang telah dikeluarkan, bukannya melayani rakyat.


Padahal dalam Islam, salah satu kriteria utama dalam memilih pemimpin adalah yang adil. Kata adil dalam kitab Ahkamus Sulthaniyah dijelaskan sebagai orang memiliki rekam jejak yang baik. Pun dalam pemimpin adil merupakan salah satu faktor krusial dalam pembangunan dan keberhasilan sebuah negara. Sebuah negara yang dipimpin oleh pemimpin adil memiliki potensi untuk menciptakan masyarakat yang stabil, sejahtera, dan harmonis. Di bawah kepemimpinan yang adil, keadilan hukum, keamanan, dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai dengan lebih baik.


أمَّا العدالة: فالمراد بها أن يكون صاحب استقامة في السيرة، وأن يكون متجنبًا الأفعال والأحوال الموجبة للفسق والفجور، فكما لا يكون الظالم والغادر مستحقًّا للخلافة 


Artinya: "Adapun keadilan, yang dimaksud dengan itu adalah seseorang yang memiliki integritas dalam perilakunya, dan menjauhkan diri dari perbuatan dan keadaan yang menyebabkan dosa dan kemaksiatan. Seperti halnya seorang yang zalim dan pengkhianat tidak pantas untuk menjadi khalifah, begitu juga seseorang yang terlibat dalam persekongkolan dan tipu daya."


Pada sisi lain, Imam Bajuri dalam kitab Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, halaman 118 menjelaskan bahwa dalam memilih pemimpin, terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan oleh masyarakat. Salah satu kriteria penting tersebut adalah adil.


Maksud keadilan di sini berarti pemimpin tersebut tidak fasik. Orang yang fasik tidak dapat dipercaya dalam menyampaikan perintah maupun larangan karena perilakunya yang tidak terpuji dan tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.


وعدم الفسق لأن الفاسق لا يوثق به في أمره ونهيه


Artinya: "Dan tidak fasik (berbuat maksiat), karena orang yang fasik tidak dapat dipercaya dalam perintah dan larangannya."


Ketiga, memperburuk kesenjangan sosial. Sejatinya, praktik politik uang memperparah kesenjangan sosial yang sudah ada. Calon dengan modal finansial yang kuat memiliki peluang lebih besar untuk menang, sedangkan calon dari kalangan kurang mampu termarginalisasi. Hal ini semakin mempersempit ruang partisipasi rakyat dalam politik.


Keempat, merusak kepercayaan publik. Uang suap politik menumbuhkan rasa apatis dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Rakyat merasa suaranya tidak memiliki nilai dan sistem politik telah dikuasai oleh mereka yang memiliki uang. Kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga demokrasi pun tergerus.


Lebih jauh lagi, Dampak paling jelas dari money politic adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga demokrasi. Ketika rakyat merasa bahwa proses politik didominasi oleh uang dan kepentingan pribadi, kepercayaan terhadap integritas pemerintah dan lembaga-lembaga demokratis mulai luntur. Masyarakat menjadi skeptis terhadap keabsahan keputusan politik dan meragukan kemampuan lembaga-lembaga tersebut untuk mewakili kepentingan masyarakat secara adil.


Yang tak kalah penting, suap politik dalam Pemilu akan melemahkan sistem demokrasi dan mengancam keutuhan bangsa. Dampak kumulatif dari bahaya uang suap politik dapat melemahkan demokrasi secara keseluruhan. Sistem yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan akuntabilitas, terkontaminasi oleh praktik kotor yang mencederai nilai-nilai tersebut. Demokrasi yang rapuh, pada akhirnya, dapat mengancam keutuhan bangsa.


Kelima, uang hasil suap politik dalam Islam hukumnya adalah haram. Dalam Islam Al-Baqarah [2] ayat 188, Allah berfirman terkait larangan memakan harta dengan cara yang haram. Allah berfirman:


وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 


Artinya: "Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."


Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, Jilid I, halaman 414  menjelaskan salah satu yang terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah menyuap atau menyogok. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.  


Lebih lanjut, salah satu yang terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah menyogok. Dalam ayat ini diibaratkan dengan perbuatan menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh air. Timba yang turun tidak terlihat oleh orang lain, khususnya yang tidak berada di dekat sumur. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.  


Sejatinya, Allah melarang praktik menyogok ini, karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Tindakan suap dapat menyebabkan orang yang berwenang mengambil keputusan yang tidak adil dan tidak jujur, karena mereka telah dipengaruhi oleh suap yang diterimanya. Hal ini dapat merugikan pihak lain yang seharusnya mendapatkan haknya.


Pada sisi lain, Di Indonesia, larangan suap politik atau politik uang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pada Pasal 523 ayat 1,2, dan 3 dan juga pada Pasal 515 dalam UU Pemilu tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Dengan demikian, suap politik adalah bahaya yang nyata bagi demokrasi dan pembangunan bangsa. Upaya bersama dari semua pihak diperlukan untuk memerangi praktik ini dan membangun Indonesia yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Pun demi mewujudkan Pemilu Indonesia yang jujur dan adil.