Syariah

Batasan Orang Disebut Mampu Berkurban

Kam, 30 Juli 2020 | 08:30 WIB

Batasan Orang Disebut Mampu Berkurban

Kesunahan berkurban tidak berlaku bagi setiap orang, melainkan bagi mereka yang masuk ke dalam kategori orang mampu.

Sebuah syiar Islam akan segera datang menghampiri kita semua yaitu hari raya Idul Adha atau biasa disebut sebagai hari raya kurban, sebab pada hari itu umat Muslim di dunia akan melaksanakan ibadah kurban.


Ibadah kurban memiliki nilai hikmah yang sangat besar, di antaranya adalah berbagi kegembiraan kepada mereka yang membutuhkan, memperkuat tali persaudaraan di antara umat Muslim dan menanamkan rasa kasih sayang di antara mereka. Ibadah kurban merupakan salah satu ibadah sunah yang sangat dianjurkan, Allah subhanahu wata'ala berfirman: 


فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ


   “Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan sembelihlah hewan kurban”(QS. al Kautsar ayat 2).


Namun demikian, kesunnahan ini tidak berlaku bagi setiap orang, melainkan bagi mereka yang masuk ke dalam kategori orang mampu, sehingga bagi mereka yang tidak tergolong mampu, tidak dituntut melakukan kurban. Di saat situasi ekonomi serba sulit seperti masa pandemi ini, banyak orang merasa tidak mampu berkurban. Lantas sejauh mana batasan orang yang mampu berkurban?


Seseorang dapat dikatakan mampu apabila ia memiliki dana yang cukup dibuat kurban yang melebihi kebutuhannya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi, selama hari raya kurban dan tiga hari tasyriq setelahnya (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah). 


Berpijak dari hal tersebut, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan pihak yang wajib dinafkahi akan kekurangan di saat hari raya Idul Adha atau hari tasyriq, maka ia bukan tergolong mampu berkurban. 


Sebagian ulama hanya mensyaratkan harta yang ia gunakan untuk berkurban melebihi kebutuhan nafkah wajib di saat hari dan malam Idul Adlha saja. Berpijak dari pendapat ini, seseorang yang mempunyai uang senilai harga hewan kurban, semisal tiga juta yang cukup untuk membeli kambing, akan tetapi kebutuhan pokok bagi dirinya dan keluarganya akan kekurangan di saat hari raya dan malamnya, maka ia bukan tergolong mampu berkurban. Apabila kebutuhan pokok di hari dan malam Idul Adha terpenuhi, namun tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok di hari tasyriq, maka tergolong orang yang mampu berkurban.


Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi berkata:


وإنما تسن لمسلم قادر حر كله، أو بعضه والمراد بالقادر من ملك زائدا عما يحتاجه يوم العيد وليلته وأيام التشريق ما يحصل به الأضحية خلافا لمن نازع فيه وقال فاضلا عن يومه وليلته


“Dan kurban disunahkan hanya bagi orang Islam yang mampu, merdeka seluruh dirinya ataupun hanya sebagian saja. Dan yang dikehendaki dengan orang yang mampu adalah orang yang memiliki harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhannya ketika hari raya, malamnya dan beberapa hari tasyriq. Berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang menyelisihi perihal standar mampu ini, menurutnya yang menjadi standar adalah harta yang melebihi kebutuhan di hari raya dan malamnya. (Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi, Hasyiyah al Bujairomi ‘Ala Syarh Manhaj al Thulab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 4, hal 396).


Dalam keterangan yang lain, Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:


هي سنة في حقنا لحر أو مبعض مسلم مكلف رشيد نعم للولي الأب أو الجد لا غير التضحية عن موليه من مال نفسه كما يأتي قادر بأن فضل عن حاجة ممونه ما مر في صدقة التطوع 


“Dan kurban disunnahkan dalam hak kita bagi orang yang merdeka atau sebagian dirinya saja yang merdeka, Muslim, mukallaf dan cakap mengelola harta. Bagi wali yaitu bapak atau kakek bukan selainnya boleh berkurban untuk orang yang berada dalam kekuasaannya dari hartanya seperti keterangan yang akan datang, yang mampu yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi, seperti keterangan yang telah lewat dalam fasal sedekah Sunah. (Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 12 hal 245-246).


Mengomentari referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata:


 (قوله بأن فضل عن حاجة ممونه إلخ) ومنه نفسه


“Ucapan Syekh Ibnu Hajar (yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi), di antaranya adalah melebihi kebutuhan dirinya sendiri”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 12, hal. 245-246).


Termasuk orang yang wajib dinafkahi adalah fakir miskin yang membutuhkan kebutuhan pokok sandang-pangan, meski bukan dari kerabatnya. Sehingga orang disebut mampu berkurban apabila memiliki dana kurban yang melebihi tanggung jawab nafkah kaum dluafa. Kurban adalah ibadah sunah, sedangkan memenuhi kebutuhan darurat kaum lemah adalah wajib, perlu memahami skala prioritas di antara keduanya, dengan mendahulukan ibadah wajib atas ibadah sunah.


Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati berkata:


والمراد بمن يجب نفقته الزوجة والقريب والمملوك المحتاج لخدمته وأهل الضرورات من المسلمين ولو من غير أقاربه لما ذكروه في السير من أن دفع ضرورات المسلمين بإطعام جائع وكسوة عار ونحوهما فرض على من ملك أكثر من كفاية سنة وقد أهمل هذا غالب الناس حتى من ينتسب إلى الصلاح.


“Yang dikehendaki dari orang yang wajib dinafkahi adalah istri, kerabat, budak yang dimilikinya yang dibutuhkan untuk melayaninya, dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan walaupun bukan kerabatnya karena alasan yang disebutkan dalam bab Al-Sair (jihad) bahwa membantu orang-orang Islam yang sangat membutuhkan dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang-orang yang telanjang (tidak punya pakaian) dan selainnya merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki lebih dari kecukupan satu tahun. Mayoritas orang acuh terhadap hal ini, bahkan orang yang disebut-sebut saleh sekalipun.” (Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Tholibin, al-Hidayah, juz 2, hal 282).


Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan seseorang dapat di kategorikan mampu berkurban adalah orang yang mempunyai harta yang cukup untuk berkurban yang melebihi dari kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti keluarga dan fakir miskin yang mengalami darurat sandang pangan. Perihal durasi kecukupan yang dimaksud ulama berbeda pendapat. Pendapat yang kuat menyatakan terhitung sejak hari raya kurban sampai akhir hari tasyriq. Sebagian ulama mencukupkan di hari dan malam hari raya kurban saja. 
 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
 


Baca juga artikel seputar kurban lainnya di Kumpulan Artikel tentang Ibadah Kurban