Sanad keilmuan adalah nilai penting dalam mencari ilmu agama. Oleh karena itu, agama memerintahkan kita untuk lebih selektif dalam memilih seorang guru.
Muhammad Tholhah al Fayyadl
Kolomnis
Kemajuan teknologi telah memudahkan banyak aktivitas manusia manusia dalam memenuhi kebutuhannya, di antaranya dalam mencari ilmu. Fenomena mengaji daring lewat berbagai media sosial telah menjadi tren di kalangan milenial. Meskipun, sebagian dari kita mungkin prihatin karena tak semua ustadz yang tampil masih belum cakap dalam bidang ilmu agama. Beberapa dari mereka sempat membuat polemik karena menyampaikan ajaran yang tak tepat. Kendati ada masalah dalam hal kapasitas dan sanad keilmuan, ironisnya mereka terlanjur dikerubungi para pengikut fanatik.
Padahal, ulama kita dahulu telah mengatakan:
قال عبد الله بن مبارك الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Abdullah bin Mubarak mengatakan “Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada kewajiban mengambil sanad, niscaya siapa pun akan mengucapkan apa pun yang ia inginkan (mengenai agama)” (Lihat: Muqaddimah Shahih Muslim, hal. 9).
Sanad keilmuan adalah nilai penting dalam mencari ilmu agama. Oleh karena itu, agama memerintahkan kita untuk lebih selektif dalam memilih seorang guru. Sebagaimana dalam hadits:
قَالَ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
Muhammad bin Sirin mengatakan “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian (Lihat: Muqaddimah Shahih Muslim, hal. 10).
Syekh Ibrahim bin Musa asy-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat memberikan kita tips dalam mencari guru yang tepat:
من أنفع طرق العلم الموصلة إلى غاية التحقق به أخذه عن أهله المتحققين به على الكمال والتمام
“Di antara jalan untuk mencari ilmu yang dapat mengantarkan pelajar ke ujung kepakaran dalam bidangnya adalah mengambil ilmu dari ahli/pakar yang telah membidangi ilmu tersebut secara sempurna dan menyeluruh” (Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat [Beirut: Dar Ibnu Affan], 2007, juz 1 hal. 139).
Lantas, bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang itu benar-benar ahli/pakar sehingga layak dijadikan guru yang tepat? Imam asy-Syathibi dalam kitab yang sama menjabarkan dua tanda dan bukti kepakaran seorang guru dalam bidang ilmu.
Pertama, ia telah mengamalkan apa yang telah ia pelajari sehingga ucapan yang keluar darinya sesuai dengan perbuatannya. Apabila perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya maka ia bukan ahli/pakar yang pantas untuk diambil ilmu darinya serta ia tidak pantas dijadikan panutan dalam ilmu.
Kedua, ia adalah seorang guru yang dahulunya ditempa oleh para pakar dalam bidang keilmuan tersebut. Ia telah sempurna mengambil ilmu dari guru-gurunya serta ia telah lama hidup bersama (mulazamah) dengan para guru-gurunya. Sehingga ia pantas mendapatkan pujian dan gelar sebagaimana guru-gurunya.
Menurut Imam asy-Syatibi, begitulah tradisi ulama terdahulu. Pada mulanya, para sahabat Nabi hidup bersama (mulazamah) dengan Nabi, mereka mengambil manfaat dari segenap perkataan dan perbuatan Nabi, serta mereka juga mengikuti seluruh ketetapan Nabi dalam setiap keadaan. Dan tradisi para sahabat Nabi diturunkan kepada generasi selanjutnya. Kemudian, para tabi’in juga meneladani tradisi para sahabat bersama Nabi. Sehingga, para tabi’in mampu sampai ke dalam derajat kesempurnaan dalam ilmu syariat. Dan cukuplah bagi seseorang bukti bahwa tidak ada seseorang yang alim lagi masyhur bermanfaat di antara masyarakat, kecuali mereka memiliki panutan yang masyhur diikuti di zamannya. Dan sedikit sekali ditemukan golongan atau seseorang yang melenceng dari sunnah Nabi, kecuali mereka telah menyimpang dari sifat-sifat (guru) yang telah dijelaskan di atas. (Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat [Beirut: Dar Ibnu Affan], 2007, juz 1 hal. 139).
Dari penjelasan Imam asy-Syathibi, ada hal yang telah menjadi sebuah tradisi sejak zaman dahulu yang relevan hingga sekarang, yaitu seorang yang alim pasti tercetak dari guru-guru yang alim dan kompeten di bidangnya. Sebagaimana contoh Gus Baha’ yang terkenal alim yang dididik oleh seorang guru agung bernama KH Maimoen Zubair dan sesamanya. Oleh karena itu, seandainya kita ingin menjadi seorang ulama di masa mendatang wajib bagi kita untuk mencari guru yang alim nan andal sebagaimana yang dijelaskan ciri-cirinya oleh Imam Ibrahim bin Musa asy-Syathibi.
Sedangkan, bagi kita semua sebagai barisan para penuntut ilmu ketika telah menemukan guru yang tepat maka wajib untuk mempelajari ilmu dengan sabar. Sebagaimana nasihat ulama kita:
قال الزهري إن هذا العلم إن أخذته بالمكاثرة غلبك ولم تظفر منه بشيء، ولكن خذه مع الأيام والليالي أخذا رفيقا تظفر به.
Az-Zuhri mengatakan “Sesungguhnya ilmu (agama) ini, seandainya engkau mempelajarinya dengan terburu-buru, niscaya engkau akan merasa kelelahan dan engkau tak mampu memahami sedikitpun darinya, akan tetapi pelajarilah ilmu (agama) siang dan malam dengan sabar dan lembut, niscaya engkau akan memahaminya dengan baik”. (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyatul Auliya’, [Beirut: Dar al-Fikr], 1996, juz 3 hal. 364).
Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua