Kompensasi atas Kejahatan Negara terhadap Warganya
NU Online · Ahad, 10 Agustus 2025 | 15:00 WIB
Moh. Zainal Abidin
Kolomnis
Dalam realitas sejarah dan kehidupan bernegara, tak jarang sebuah negara melalui aparat, lembaga, atau kebijakannya melakukan kejahatan atau pelanggaran hak asasi terhadap warga negaranya sendiri. Mulai dari penyiksaan, perampasan hak milik, penghilangan nyawa, hingga diskriminasi sistematis. Pertanyaannya, bagaimana Islam memandang keadilan dalam konteks relasi negara dan rakyat, khususnya mengenai kompensasi atas kejahatan tersebut?
Dijelaskan dalam Al-Qur’an, Islam meletakkan keadilan (al-‘adl) sebagai fondasi utama pemerintahan dan kekuasaan. Allah Swt berfirman dalam surat An-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan."
Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa keadilan yang dimaksud dalam ayat ini mencakup keadilan penguasa kepada rakyatnya, termasuk memberikan hak yang semestinya dan menghapus kezaliman yang terjadi. Bila negara bersalah, maka prinsip keadilan menuntut pemulihan (restitusi) terhadap korban. (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], juz 10, hal. 204).
Selain itu, prinsip keadilan ini ditegaskan lagi dalam surat An-Nisa ayat 58:
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Artinya: "Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil."
Ayat ini merupakan bagian dari perintah Allah kepada para pemegang amanah dan kekuasaan agar tidak menyalahgunakan wewenangnya. Penegasan lafaz "idza hakamtum" (apabila kamu menetapkan hukum) menunjukkan bahwa kewajiban berbuat adil ini tidak hanya berlaku bagi penguasa negara, tetapi juga bagi siapa pun yang memiliki kewenangan dalam menetapkan keputusan, baik dalam pemerintahan, pengadilan, keluarga, maupun organisasi sosial.
Imam al-Thabari menjelaskan dalam Jâmi‘ al-Bayān:
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ أي: بما أمر الله به، لا بما تهواه أنفسكم
Artinya: "Yakni, hendaklah kalian berhukum dengan apa yang diperintahkan Allah, bukan mengikuti hawa nafsu kalian." (al-Thabari, Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an, [Kairo: Dar Hijr, 2001], juz 8, hal. 493)
Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafatihul Ghaib juga menjelaskan bahwa keadilan dalam ayat ini mengandung makna universal, berlaku baik dalam urusan besar seperti hukum pidana maupun urusan kecil seperti memutuskan hak antar tetangga. Ia menyebut bahwa keadilan adalah asas utama keutuhan masyarakat dan legitimasi kekuasaan. (Imam Fakhruddin al-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1999], juz 11, hal. 121).
Di sisi lain, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Dalam sebuah hadits sahih Rasulullah Saw bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829)
Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menerangkan bahwa tanggung jawab pemimpin tidak hanya dalam menjaga stabilitas, tetapi juga mencakup penegakan keadilan dan penghapusan kezaliman. Bila negara bersalah terhadap rakyatnya, maka pemimpin bertanggung jawab secara syar‘i untuk menanggung akibatnya, termasuk memberi kompensasi atau memulihkan hak-hak korban. (Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 2001], juz 12, hal. 213).
Kompensasi dalam Hukum Fiqih
Para ulama fiqih menjelaskan bahwa siapa pun yang melakukan kezaliman atas hak orang lain, termasuk penguasa, wajib mengganti rugi atau membayar diyat (ganti rugi jiwa) dan ‘iwadh (kompensasi). Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah disebutkan:
وَإِذَا أَتْلَفَ السُّلْطَانُ مَالَ الإِنْسَانِ ظُلْمًا وَجَبَ عَلَيْهِ تَعْوِيضُهُ
Artinya: "Jika penguasa merusak atau merampas harta seseorang secara zalim, maka wajib baginya memberikan kompensasi." (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Beirut: Dar al-Fikr], juz 9, hal. 134)
Demikian juga disebutkan dalam Fatawa al-Hindiyyah:
فَإِنْ قَتَلَ السُّلْطَانُ نَفْسًا بِغَيْرِ حَقٍّ وَجَبَ عَلَيْهِ الدِّيَةُ
Artinya: "Jika seorang penguasa membunuh seseorang tanpa hak, maka wajib baginya membayar diyat (ganti rugi jiwa)." (Tim Ulama Hanafiyyah India, al-Fatawa al-Hindiyyah, [Beirut: Dar al-Fikr, 2000], juz 3, hal. 321).
Hal ini menunjukkan bahwa negara sebagai entitas hukum tidak kebal dari kewajiban syariat, bahkan negara bertanggung jawab lebih besar karena memegang kekuasaan publik.
Maqashid asy-Syari‘ah atau tujuan-tujuan syariat sangat relevan dalam isu ini. Menurut Imam asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat, tujuan syariat adalah menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika negara melanggar salah satu dari lima tujuan ini, maka wajib dilakukan tindakan korektif, termasuk kompensasi terhadap korban.
قال الشاطبي :المصالح التي راعاها الشرع خمسة: حفظ الدين، والنفس، والنسل، والعقل، والمال، وكل ما خرج عن هذه الخمسة فليس بمقصود شرعاً
Artinya: "Asy-Syatibi berkata: Maslahat-maslahat yang dijaga oleh syariat ada lima: menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Segala sesuatu yang keluar dari lima perkara ini, maka tidak termasuk tujuan syariat." (Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996], juz 2, hal. 8)
Seorang korban penyiksaan, penghilangan paksa, atau perampasan tanah oleh aparat negara, berarti mengalami pelanggaran terhadap hifzh an-nafs dan hifzh al-mal (penjagaan jiwa dan harta). Maka, sebagai bentuk tobat dan koreksi, negara wajib mengembalikan hak tersebut.
Dalam sejarah Islam, praktik rekonsiliasi dan restitusi pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia memerintahkan agar harta-harta rampasan masa sebelumnya dikembalikan kepada pemilik sahnya. Beliau berkata:
إِنَّ لِي قَوْمًا يَسْتَحِقُّونَ الْحَقَّ وَلَمْ يُوصَلْ إِلَيْهِمْ، فَإِنِّي لَا أَرْضَى إِلَّا بِإِعَادَتِهِ
Artinya: "Sesungguhnya ada orang-orang yang berhak atas sesuatu namun tidak sampai kepada mereka. Maka aku tidak ridha kecuali dengan mengembalikannya." (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997], juz 9, hal. 201.)
Model ini menjadi cermin bahwa negara tidak hanya bertanggung jawab secara hukum, tapi juga secara moral dan spiritual terhadap rakyat yang terzaimi.
Sikap PBNU, MUI, dan Komnas HAM
Dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang (2015), Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU merekomendasikan pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui pendekatan ‘adl (keadilan), taubat, dan ta‘widh (kompensasi). Hal ini sejalan dengan maqashid syariah dan nilai ishlah (perdamaian). (LBM PBNU, Keputusan Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama, Jombang: PBNU, Agustus 2015, komisi Baḥtsu’l Masa’il Diniyah Waqi‘iyah)
Lembaga Bantuan Hukum PBNU tercatat aktif mengadvokasi korban pelanggaran HAM, termasuk dalam kasus penggusuran paksa, korban 65, dan diskriminasi atas nama agama. Dalam rilis 2022, LBH NU menyatakan:
“Negara harus bertanggung jawab atas pelanggaran masa lalu dan hari ini. Islam menegaskan hak korban untuk mendapatkan keadilan, bukan hanya pengampunan." (LBH PBNU, Rilis Refleksi Akhir Tahun dan Rekomendasi Advokasi HAM Berbasis Nilai Keislaman, [Jakarta: LBH PBNU, 2022], hlm. 3)
Selain itu, Rais ‘Aam PBNU masa khidmah 2015–2018, KH Ma’ruf Amin dalam berbagai kesempatan menegaskan tentang pentingnya negara hadir untuk merehabilitasi dan memberikan keadilan kepada korban pelanggaran HAM. Dalam pidato resmi di Komnas HAM (2019), beliau menyebut:
"Negara tidak boleh abai. Keadilan restoratif adalah pendekatan Islami untuk menyembuhkan luka sejarah.” (KH. Ma’ruf Amin, Pidato dalam Peringatan Hari HAM Sedunia, Jakarta: Komnas HAM, 10 Desember 2019).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa No. 6 Tahun 2003 menyebut bahwa negara wajib memulihkan hak korban pelanggaran HAM berat, dan negara tidak boleh berlindung di balik alasan kekuasaan atau kedaluwarsa hukum. (Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Nomor 6 Tahun 2003 tentang Penegakan Keadilan terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat).
Komnas HAM sendiri mendorong negara menjalankan prinsip keadilan transisional (transitional justice), yaitu pengakuan, kebenaran, kompensasi, dan reformasi sistemik. (Komnas HAM RI, Rekomendasi Kebijakan Prinsip Keadilan Transisional, 2021).
Walhasil, Islam sangat jelas menempatkan negara sebagai entitas yang wajib bertanggung jawab atas keadilan. Bila negara atau aparatnya melakukan kezaliman terhadap rakyat, maka kompensasinya adalah kewajiban moral dan syar‘i, bukan sekadar pilihan politis.
Dalam perspektif maqashid syariah, keadilan bukan hanya menyangkut hukum dan pidana, tetapi juga pemulihan martabat dan hak-hak korban. Maka, negara yang adil adalah negara yang tidak takut meminta maaf, dan tidak ragu untuk mengembalikan hak rakyat yang dirampas, baik di masa lalu maupun hari ini. Wallahu ‘Alam.
Ustadz H. Moh. Zainal Abidin, Wakil Rois Syuriyah PCNU Surakarta, Pengajar PP Al-Muayyad Surakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
4
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
5
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
6
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tetap Gelar Aksi, Tuntut Mundur Bupati Sudewo
Terkini
Lihat Semua