Syariah

Haruskah Khatib Menyebutkan Sumber Hadits saat Khutbah Jumat?

Ahad, 26 Mei 2024 | 17:30 WIB

Haruskah Khatib Menyebutkan Sumber Hadits saat Khutbah Jumat?

Khatib menyampaikan khutbah. (Foto: NU Online/Faizin)

Khutbah Jumat merupakan momen paling tepat serta fasilitas resmi dalam syariat Islam sebagai wadah untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Tidak jarang khatib dalam menyampaikan khutbahnya menggunakan hadits Nabi saw sebagai landasan dari pesan-pesan yang diucapkan.


Tentunya, menyampaikan hadits Rasulullah saw merupakan amal baik, karena secara langsung khatib telah menyampaikan secara deskriptif bagaimana pola kehidupan Nabi saw, khususnya terkait tema yang sedang disinggung dalam khutbahnya.


Mengutip Nurmiswari dalam penelitiannya terhadap kualitas hadits yang disampaikan khatib di masjid Pemerintah Kota Langsa Aceh, beberapa hadits kerap dikutip dari beberapa literatur, baik literatur hadits secara khusus seperti Shahih al-Bukhari dan Muslim, maupun literatur dalam bidang lain namun menyantumkan hadits-hadits yang belum dapat divalidasi kualitasnya, bahkan sebagian problematik, semisal Durratun Nashihin hingga Ta’limul Muta’allim (Nurmiswari, Problematika Hadis yang Dijadikan Hujah Oleh Khatib Jumat, [Ihya Al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab, 2023], hal. 48).


Tentunya penyampaian hadits-hadits dha’if akan terus ditemukan di mana saja, selama pengutipan hadits dilakukan pada literatur keislaman yang belum melalui proses penyuntingan spesialis dalam bidang hadits dan filologi. 


Kemudian pada hakikatnya, penyampaian hadits dalam forum khutbah Jumat tidak menjadi syarat mutlak sahnya khutbah Jumat. Selain itu, forum khutbah Jumat pun bukan forum akademik dan penyampaiannya bersifat monolog. Sehingga kritik otentisitas dan validitas terhadap hadits Nabi saw, yang dijadikan landasan dalam pesan yang disampaikan khatib, tidak begitu urgen untuk dipersoalkan.


Kendati demikian, nyatanya dalam pandangan ulama, seorang khatib harus waspada terhadap sesuatu yang disampaikannya kepada umat, termasuk perkataan khatib yang disandarkan pada otoritas hadits Rasulullah harus disebutkan sumbernya.


Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya terkait khatib yang meriwayatkan banyak hadits tanpa menjelaskan sumbernya, atau periwayatannya. Beliau menjawab: 


ما ذكره من الأحاديث في خطبة من غير أن يبين رواتها أو من ذكرها فجائز بشرط أن يكون من أهل المعرفة في الحديث أو ينقلها من كتاب ملفه كذلك ، وأما الاعتماد في رواية الأحاديث على مجرد رؤيتها في كتاب ليس مؤلفه من أهل الحديث أو في خطب ليس مؤلفها كذلك فلا يحل ذلك


Artinya: “Hadits-hadits yang disebutkan khatib dalam khutbahnya tanpa menjelaskan para perawi atau siapa yang menyebutkannya, itu diperbolehkan dengan syarat bahwa dia adalah orang yang ahli dalam ilmu hadits, atau dia mengutipnya dari penulis yang juga ahli dalam hadits. Adapun mengandalkan periwayatan hadits hanya berdasarkan melihatnya dalam sebuah buku yang penulisnya bukan ahli hadits, atau dalam khutbah yang penulisnya juga bukan ahli hadits, maka itu tidak diperbolehkan!” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.], hal. 44).


Ibnu Hajar al-Haitami juga tegas menyatakan khatib-khatib yang dinilai kurang kompeten sebagaimana keterangan di atas, mesti ditegur. Bahkan jika mengulangi perbuatannya secara berulang maka perlu dilarang menjadi khatib oleh pihak berwenang. Adapun dalam konteks masa Ibnu Hajar al-Haitami, pihak berwenang merupakan pemerintah.


Kemudian Ibnu Hajar juga berpendapat, “Maka, sudah selayaknya seorang khatib menjelaskan sumber hadits yang disampaikannya. Apabila sumbernya shahih, maka tidak ada masalah. Jika tidak, maka pemerintah setempat boleh untuk mengkritiknya, bahkan mencopotnya dari jabatan khatib agar menempati posisi mulia tersebut tanpa kompetensi.” (Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’idut Tahdits, [Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2004], hal. 266).


Tentunya ungkapan Ibnu hajar di atas akan dinilai berlebihan dalam konteks Indonesia. Pasalnya, petugas khatib di Indonesia tidak begitu diawasi oleh koridor pemerintahan, terlebih dalam hal kualitas hadits-hadits yang disampaikan.


Meskipun demikian, tentu penting sekali bagi para khatib di Indonesia untuk lebih cermat dalam mengutip hadits, sehingga pesan-pesan yang disampaikan memang benar sumbernya berasal dari Rasulullah saw. 


Apabila hadits-hadits yang disampaikan berasal dari sumber yang valid, maka setidaknya para khatib telah mengamalkan hadits yang menganjurkan kehati-hatian dalam menyampaikan suatu hadits yang bersumber dari Rasulullah saw. Wallahu a’lam.


Ustadz Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online dan Dosen Universitas PTIQ Jakarta