Syariah

Hukum dan Etika Mengandangkan Hewan 

Kam, 12 Oktober 2023 | 18:00 WIB

Hukum dan Etika Mengandangkan Hewan 

Burung dalam kandang (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Pada dasarnya Islam tidak melarang mengandangkan atau memelihara hewan untuk sebuah kemanfaatan walaupun hanya untuk sekedar mendengar suaranya atau melihat keindahannya. Bahkan anjing sekalipun diperbolehkan jika memang ada kebutuhan terhadapnya semisal untuk berburu atau menjaga keamanan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Qulyubi sebagai berikut:


لَهُ حَبْسُ حَيَوَانٍ وَلَوْ لِسَمَاعِ صَوْتِهِ، أَوْ التَّفَرُّجِ عَلَيْهِ، أَوْ نَحْوَ كَلْبٍ لِلْحَاجَةِ إلَيْهِ مَعَ إطْعَامِهِ


Artinya, "Boleh bagi seseorang untuk mengurung binatang meskipun untuk mendengarkan suaranya atau melihat-lihatnya atau semisal anjing karena dibutuhkan dengan (selalu) memberinya makan." (Qulyubi, Hasyiah Qulyubi, [ Bairut, Daru Ihya' Kutub al-Arabiyah: t.th], juz IV halaman 94).
 

Namun demikian, wajib bagi yang memelihara untuk memberinya makan dan minum. Jika ia tidak melakukannya, maka ia diancam dengan siksa sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: 
 

دخلت امرأة النار في هرة حبستها لا هي أطعمتها ولا هي تركتها تأكل من خشاش الأرض


Artinya, "Sesungguhnya seorang wanita dimasukan ke dalam neraka akibat kucing yang ia tawan. Ia tidak memberikan makan kucing tersebut ketika ditawan. Ia juga tidak membiarkan kucing tersebut memakan sisa-sisa makanan di tanah.” 


Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Syarhun Nawawi ala Muslim, hadits tersebut menjelaskan kewajiban nafaqah (nafkah makanan) hewan bagi pemiliknya. 


وَفِيهِ وُجُوبُ نَفَقَةِ الْحَيَوَانِ عَلَى مَالِكِهِ


Artinya, "Hadits ini menunjukkan kewajiban nafaqah hewan bagi pemiliknya."(Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Syarah Nawawi ala Muslim, [Bairut: Darul Ihya' at-Turots], Juz XIV, halaman 240).


Lebih lanjut dalam fiqih Manhaji dijelaskan bahwa kucing dalam hadits merupakan perumpamaan untuk semua hewan yang dimuliakan baik dapat dimakan dagingnya ataupun tidak. Dikecualikan hewan yang tidak dimuliakan seperti fawasiq al-khamsi (lima hewan yang membahayakan, yaitu: burung gagak, elang, kalajengking, tikus dan anjing gila) yang disebutkan dalam hadits. 


Dalam madzhab Syafi'i, jika pemilik hewan yang dapat dimakan dagingnya tidak mau menafkahinya (memberi makan minum) maka wajib baginya satu dari tiga hal yakni menjualnya, menafkahinya dengan memberi makan atau menyembelihnya (dilakukan untuk menolak dharar pada hewan), dan menetapkan atas kepemilikannya serta agar tidak menyia-nyiakan harta.


Adapun hewan yang tidak dapat dimakan dagingnya, maka ia harus menjualnya atau memberinya nafkah. Tidak diperbolehkan atau haram menyembelihnya karena dagingnya tidak dapat dimakan. Bila pemiliknya tetap membiarkannya tanpa diberi makan maka hakim harus mengambil tindakan yang menurutnya lebih maslahat dan yang sesuai dengan keadaan yang ada. Jika hal ini tidak memungkinkan maka orang-orang Muslim yang mengetahuinya wajib untuk mencukupinya. Lihat:( Kementerian Waqaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz 41 halaman 95). 


Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan larangan memukul wajah dan mencap wajah hewan. 


نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَن الضَّرْبِ في الوَجْهِ ، وَعَن الوَسْمِ في الوَجْهِ 


Artinya, " Rasulullah melarang memukul dan mencap wajah."


Dalam menjelaskan hadits ini, Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syahrun Nawawi ala Muslim menjelaskan larangan memukul wajah seluruh hewan yang dimuliakan. Seperti itu juga mencap dengan besi yang dipanaskan pada wajah hewan. Menurutnya, larangan ini sudah menjadi ijma' atau kesepakatan ulama. Lihat (Syarah Nawawi ala Muslim, Juz XIV, halaman 94).


Nabi melarang untuk menyakiti hewan bila dilakukan tanpa adanya tujuan yang dibenarkan, berikut jelasnya: 


وَأَمَّا نَهْيُهُ عَنْ تَعْذِيبِ الْبَهَائِمِ فَمَخْصُوصٌ فِيمَا لَا غَرَضَ فِيهِ


Artinya, "Adapun larangan baginda Nabi saw untuk melakukan penyiksaan pada binatang, maka itu tertentu pada penyiksaan yang tidak ada tujuan (yang benar) dalam pelaksanaannya." (Al-Mawardi, Hawi al-Kabir, [Bairut, Darur Kutub Ilmiyah: 1999 H], juz IV, halaman 373). 


Dengan demikian Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada hewan dan melarang menyakitinya dan melakukan segala hal yang dapat membahayakannya dengan tanpa adanya tujuan yang dibenarkan. Bagi pelakunya diancam dengan siksaan yang pedih di akhirat kelak.


Sebaliknya, seorang yang merawat hewan dengan baik ia akan mendapatkan pahala sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabada: 


بينما رجل يمشي بطريق اشتد عليه العطش فوجد بئرًا، فنزل فيها فشرب، ثم خرج، فإذا كلب يلهث يأكل الثرى من العطش، فقال الرجل: لقد بلغ هذا الكلب من العطش مثل الذي كان بلغ بي، فنزل البئر فملأ خُفّه ثم أمسكه بفيه فسقى الكلب؛ فشكر الله له؛ فغفر له قالوا: يا رسول الله، وإن لنا في البهائم أجرًا؟ فقال: نعم، في كل ذات كبد رطبة أجر


Artinya, "Suatu ketika ada seseorang yang yang sedang melakukan perjalanannya dalam keadaan sangat haus, lalu dia menemukan sumur dan kemudian turun ke dalamnya. Dia minum (air sumur tersebut) lantas ke luar, dan tiba-tiba ada anjing yang mengeluarkan lidahnya karena haus sambil memakan tanah.

Orang itu berbicara dalam hatinya: "Sungguh anjing ini kehausan seperti apa yang telah saya alami." Lalu dia turun ke sumur dan memenuhi sepatu slopnya (dengan air) lalu menggigit sepatu itu dengan mulutnya, kemudian dia memberi minum anjing. Allah akan memberikan rasa syukur baginya, maka diampuni segala dosanya.


Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah saw apakah kita akan mendapatkan pahala pada binatang?" Rasulullah menjawab, "Pada setiap yang mempunyai hati, maka terdapat pahala." Wallahu a'lam bisshawab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo