Syariah

Hukum Masak Daging Kurban untuk Makan Siang Panitia

Sen, 17 Juni 2024 | 08:00 WIB

Hukum Masak Daging Kurban untuk Makan Siang Panitia

Daging kurban diambil dan dimasak untuk panitia. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Dalam pelaksanaan ibadah kurban, biasanya ta’mir masjid, mushalla, instansi, dan pihak lainnya membentuk kepanitiaan kurban. Panitia ini bertugas menerima amanat dari pihak yang berkurban (mudhahi) untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban, mengolah, dan membagikan dagingnya. Praktik ini dalam pandangan fiqih dikenal sebagai wakalah, di mana panitia bertindak sebagai wakil dari pihak mudhahi (muwakil).


Sudah menjadi kebiasaan, panitia mengambil sebagian daging kurban untuk dimasak dan dimakan sebagai makan siang oleh semua panitia yang terlibat dalam pelaksanaan kurban. Pertanyaannya, bagaimana pandangan fiqih terkait praktik tersebut?  Apakah hal ini dapat dibenarkan?


Pada dasarnya panitia dalam hal ini hanya sebagai kepanjangan tangan dari mudhahi. Artinya kewenangan panitia hanya melaksanakan apa yang menjadi amanahnya, yakni melaksanakan penyembelihan hewan kurban, mengolah, dan membagikan dagingnya. Panitia tidak mempunyai wewenang sedikitpun untuk melakukan tasaruf termasuk memasak daging kurban untuk makan siang. Kecuali mudhahi (muwakil) telah menentukan sejumlah daging untuk panitia (wakil). Maka yang demikian ini diperbolehkan. 


Namun demikian, Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Ibni Qasim mengatakan, menurut sebagian ulama seorang yang mendapatkan amanah (menjadi wakil) untuk membagikan daging aqiqah diperbolehkan mengambil sebagian daging aqiqah tersebut untuk dirinya sendiri. Asalkan kadar yang diambil sesuai kebiasaan yang berlaku yakni sekedar cukup untuk makan siang dan makan malam. Karena adat yang demikian itu masih dapat ditoleransi. 


و إما أن يكون التوكيل في مالية محضة كـ (تفرقة الزكاة مثلاً) أي كتفرقة كفارة ومنذورة، فيجوز التوكيل فيها مطلقاً، ولا يجوز له أخذ شيء منها إلا إن عين له الموكل قدراً منها، لكن قال بعضهم: يجوز لوكيل تفرقة لحم العقيقة أن يأخذ منه قدر كفاية يوم فقط للغداء والعشاء، لأن العادة تتسامح بذلك


Artinya: "Adapun apabila perwakilan itu dalam hal harta murni (maliyah mahdhah), seperti distribusi zakat (misalnya), yaitu seperti distribusi kafarat dan nadzar, maka boleh melakukan perwakilan dalam hal ini secara mutlak, dan tidak boleh bagi wakil mengambil sesuatu darinya kecuali jika pemberi kuasa (muwakil) telah menentukan sejumlah bagian darinya. Namun, beberapa ulama mengatakan: 'diperbolehkan bagi wakil yang mendistribusikan daging aqiqah untuk mengambil darinya sekedar cukup untuk makan siang dan makan malam dalam satu hari, karena adat mentoleransi hal tersebut." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tausyih Ala Ibni Qasim [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah cetakan pertama: 1998], halaman 243).


Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa wakil tidak diperbolehkan untuk mengambil sedikitpun dari apa yang diwakilkan kepadanya, kecuali muwakil telah menentukan sebagian darinya, atau sudah menjadi kebiasaan wakil mengambil bagian darinya. Itu pun dibatasi dengan kadar seminimal mungkin. Hal ini sejalan dengan penjelasan Abu Ishaq sebagai berikut: 


ولا يملك الوكيل من التصرف إلا ما يقتضيه إذن الموكل من جهة النطق أو من جهة العرف لأن تصرفه بالإذن فلا يملك إلا ما يقتضيه الإذن والإذن يعرف بالنطق وبالعرف


Artinya: "Dan wakil tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tasaruf kecuali apa yang diizinkan oleh pemberi kuasa (muwakil) baik dari sisi ucapan maupun dari sisi kebiasaan. Karena tasarufnya adalah berdasarkan izin, maka ia tidak memiliki kewenangan tasaruf kecuali apa yang diizinkan. Izin ini diketahui melalui ucapan dan kebiasaan." (Abu Ishaq as-Syirazi, al-Muhadzab [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t] juz 2, halaman 166).


Dengan ini menjadi jelas bahwa kebiasaan yang telah berlaku merupakan salah satu bentuk izin dari pemberi kuasa (muwakil). 


Walhasil, adat kebiasaan di masyarakat di mana panitia kurban memasak sebagian daging kurban untuk makan siang dapat dibenarkan menurut pandangan fikih dengan kadar secukupnya tidak berlebihan. Namun demikian, alangkah baiknya jika sejak awal panitia meminta izin kepada mudhahi akan hal tersebut. 


Penjelasan di atas masih menyisakan permasalahan, yaitu bagaimana jika kurbannya adalah kurban wajib di mana ketentuannya seluruh daging kurban wajib harus diberikan kepada orang-orang fakir dalam keadaan mentah. Sedangkan bisa jadi tidak seluruh panitianya termasuk golongan orang fakir miskin? 


Untuk menyiasati hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan kepada salah satu panitia yang fakir kemudian dagingnya dimasak untuk dimakan bersama-sama seluruh panitia. Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab I'anah at-Thalibin sebagai berikut:


قوله: ولو على فقير واحد أي فلا يشترط التصدق بها على جمع من الفقراء، بل يكفي واحد منهم فقط، وذلك لأنه يجوز الاقتصار على جزء يسير منها، وهو لا يمكن صرفه لأكثر من واحد. قوله: بشئ أي من اللحم. فلا يكفي غير اللحم من نحو كرش وكبد. وقوله: نيئا أي ليتصرف فيه المسكين بما شاء من بيع وغيره


Artinya: "Dan sekalipun hanya diberikan kepada seorang fakir saja. Artinya, tidak disyaratkan untuk mensedekahkannya kepada sekumpulan fakir miskin, melainkan cukup diberikan kepada salah satu dari mereka saja. Hal ini karena boleh memberikan sebagian kecil darinya, yang mana tidak mungkin dibagikan kepada lebih dari satu orang. Kata sesuatu maksudnya adalah daging. Maka selain daging seperti usus dan hati tidak mencukupi. Dan kata mentah, maksudnya adalah agar fakir tersebut dapat mengolahnya sesuai kehendaknya, seperti menjual atau selainnya."(Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati As-Syafi'i, I'anatut Thalibin, [Beirut, Dar-Fikr: tt], juz II halaman 379).


Terakhir, hemat kami, dalam rangka lebih berhati-hati, panitia meminta biaya akomodasi penyembelihan, pengolahan, dan pembagian daging kurban kepada para mudhahi yang mewakilkannya kepada panitia sehingga kebutuhan konsumsi dan kebutuhan lainnya dapat dialokasikan dari dana tersebut. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo