Syariah

Krisis Energi dan Amanah Lingkungan: Telaah Fiqih Energi Terbarukan

NU Online  ·  Senin, 23 Juni 2025 | 19:00 WIB

Krisis Energi dan Amanah Lingkungan: Telaah Fiqih Energi Terbarukan

Ilustrasi energi terbarukan. Sumber: Canva/NU Online.

Energi, khususnya bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam, merupakan salah satu sumber daya utama yang mendukung berbagai aspek kehidupan manusia. Untuk memperoleh sumber energi ini, yang umumnya terletak di dalam lapisan bumi, diperlukan proses ekstraksi seperti pengeboran, penggalian, atau pembukaan lahan.

 

Proses ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat berdampak signifikan pada lingkungan, seperti kerusakan ekosistem atau perubahan lanskap alam. Dalam perspektif Islam, menjaga keseimbangan alam merupakan tanggung jawab penting, sehingga pengelolaan sumber daya harus dilakukan secara bijaksana.


Di sisi lain, sumber daya energi, termasuk bahan bakar fosil, adalah anugerah dari Allah yang diberikan untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan umat manusia. Pemanfaatan energi ini telah menjadi fokus utama dunia untuk mendukung berbagai kebutuhan, mulai dari industri hingga kehidupan sehari-hari. Namun, penting untuk memastikan bahwa pemanfaatan ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab agar dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalisasi.


Seiring perkembangan zaman, dunia mulai beralih ke energi terbarukan, seperti energi surya, angin, dan air, yang dianggap lebih ramah lingkungan karena dampaknya terhadap alam jauh lebih kecil dibandingkan energi fosil. Energi terbarukan menawarkan alternatif yang berkelanjutan, sehingga menjadi pilihan yang semakin dianjurkan untuk mendukung pembangunan yang seimbang antara kebutuhan manusia dan pelestarian lingkungan.


Dalam pandangan Islam, pemanfaatan energi harus selaras dengan prinsip menjaga amanah Allah atas alam. Energi terbarukan, dengan karakteristiknya yang minim dampak lingkungan, sering dianggap lebih sesuai dengan nilai-nilai ini dibandingkan energi fosil, yang proses ekstraksinya dapat menimbulkan tantangan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.


Pemanfaatan Energi dalam Perspektif Islam

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa sumber daya seperti air, api, dan padang rumput merupakan kebutuhan kolektif umat manusia. Hadits ini relevan dengan kondisi saat ini, di mana energi menjadi kebutuhan primer untuk mendukung berbagai aspek kehidupan modern, mulai dari ekonomi hingga teknologi.

 

Dalam konteks ini, Islam mendorong pemanfaatan sumber daya secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Beliau bersabda:


وَعَنْ رَجُلٍ مِنَ الصَّحَابَةِ  قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: «النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَأِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ» رَوَاهُ أَحْمَدُ


Artinya, “Dari salah seorang sahabat berkata: Aku berperang bersama Rasulullah kemudian mendengarnya bersabda: Manusia secara kolektif memiliki hak pada tiga hal, dalam padang rumput, air, dan api.” (HR. Imam Ahmad)


Syekh Wahbah Zuhaili secara eksplisit mengomentari hadits ini sebagai penekanan terhadap suatu negara yang mewakili rakyatnya untuk mengelola energi-energi yang tersedia di negara tersebut. Sudah sepatutnya negara menguasai sesuatu yang menjadi kebutuhan mendasar dari sisi kekayaan alam mentah, industri-industri ekstraktif, dan produksi bahan mentah.


Selain itu, Negara juga harus menguasai kepentingan umum dan sesuatu yang berubah serta berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan dan zaman seperti berbagai macam sungai-sungai umum, mineral dan minyak meskipun didapati pada lahan yang dimiliki oleh pihak tertentu. Begitu juga terlibat secara penuh dalam pengadaan energi listrik, fasilitas umum dan sejenisnya yang termasuk dari fasilitas-fasilitas vital demi kepentingan publik. (Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 1985], juz 5, halaman 4990).


Oleh karena itu, apa yang sudah dilakukan pemerintah saat ini sudah benar jika ditinjau dari perspektif Islam. Melakukan proses ekstraktif untuk mendapatkan energi serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, terdapat ketimpangan kebijakan produksi maksimal dengan realisasi produk energi.


Berdasarkan Badan Pusat Statistika, dalam jangka satu tahun Indonesia mampu memproduksi mineral batubara sebanyak  775.183.592 ton. Volume ini melebihi batas maksimal produksi mineral batubara, sebagaimana yang tercantum di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional yang membatasi jumlah produksi mineral batubara pada volume 400 juta ton. 


Over Produksi dari salah satu energi fosil berupa batu bara akan berdampak negatif di berbagai hal. Aktivitas pertambangan akan berpengaruh terhadap kerusakan lahan, polusi udara, perubahan iklim yang ekstrem. Padahal, Ibnu Asyur menegaskan untuk tidak berlebihan dalam melakukan aktivitas pertambangan.

 

Beliau menyatakan, Proses ekstraktif berbagai mineral seharusnya memberikan maslahat kepada masyarakat luas. Namun, dengan pemaksaan produksi justru akan menyebabkan terhalangnya tujuan dari penciptaan, pengelolaan bumi, pengembangan, dan produksi. (Ibnu Asyur, Maqashid As-Syariah, [Qatar, Kementrian Wakaf: 2004], juz II, halaman 408)


Dengan demikian, adanya over produksi mineral melanggar ajaran Islam yang menekankan pada perawatan lingkungan. Karena dalam memproduksi beberapa mineral yang berlebih pasti akan cenderung eksploitatif dan merusak lingkungan. Menurut At-Thabari, sebagaimana yang dikutip Al-Qurthubi, bagi siapa saja yang membakar tanaman dan membunuh keledai (merusak lingkungan) akan dilaknat oleh Allah.” (Syamsuddin Al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo,  Darul Kutub al-Mishriyah: 1963] Jilid 3, halaman 17).


Dari sudut pandang warga sipil pun sering mengeluhkan aktivitas pertambangan sangat mengganggu. Dampak lingkungan jangka panjang seperti perubahan panas yang ekstrim berimbas pada kehidupan, baik dalam bentuk meningkatnya risiko bencana alam, terganggunya ekosistem, menurunnya hasil pertanian, hingga memburuknya kesehatan manusia akibat gelombang panas dan kualitas udara yang menurun. Sehingga, kebermanfaatan dari aktivitas pertambangan tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkannya.


Pemberdayaan Energi Terbarukan Sebagai Alternatif Terbaik

Energi fosil memiliki dampak negatif yang cukup besar. Di satu sisi, pemberdayaan energi tetap diperlukan manusia dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, energi terbarukan menjadi alternatif terbaik.


Dalam buku buku Fikih Energi Terbarukan tahun 2017, dijelaskan bahwa kemaslahatan yang diberikan oleh energi baik energi terbarukan maupun energi fosil dalam persoalan penggunaan energi adalah kemaslahatan yang nyata. Pun Sebaliknya, bahwa kerusakan yang ditimbulkan dari keduanya juga jelas nyata. Akan tetapi, kerugian energi terbarukan tidak semasif dan merusak pemberdayaan energi fosil.


Mempertimbangkan aspek mafsadat atau kerusakan yang lebih ringan dari keduanya, maka penggunaan energi terbarukan adalah sesuatu yang harus dipilih. Pilihan ini berdasar pada kaidah fiqih yang memilih kerugian paling ringan dari dua pilihan yang berpotensi memunculkan kerugian. 


إِذَا اجْتَمَعَ مُفْسِدَتَانِ قُدِّمَ أَخَفُّهُمَ


Artinya, “Apabila terdapat dua kemafsadatan, maka kemafsadatan yang lebih ringan harus didahulukan.” (Abu Abdurrahman al-Jazairi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Mustakhraj min Kitab I'lam al Muwaqqi'in, [Riyadh, Dar Ibn Affan: 2011], hlm. 333).


Agar pembaca memiliki gambaran, penulis akan membandingkan antara pemberdayaan energi fosil dan terbarukan. Lazimnya, luas lahan yang dijadikan aktivitas tambang 50 hektar. Sebelumnya, industri harus menambang sejauh 1 kilometer dari pemukiman.

 

Setelah aktivitas pertambangan, industri harus melakukan konservasi lingkungan setiap periode tertentu, yang mana belum tentu konservasi tersebut berhasil. Terlebih industri harus memitigasi terjadinya kerusakan alam yang menjadi kewajiban industri, walaupun kerusakan alam pasti terjadi di wilayah pertambangan.


Berbeda ketika lahan seluas 50 hektar tadi cukup ditutupi panel surya. Tidak ada dampak pada lingkungan se ekstrim pertambangan. Bahkan, dengan pemaksimalan energi terbarukan seperti panel surya yang membentang luas akan mampu  mengurangi biaya penggunaan sampai di titik nol rupiah. Tentu, ini merupakan pilihan yang paling tepat dan selaras dengan misi Islam dalam menjaga lingkungan.


Sebagai penutup, Islam sangat merekomendasikan energi terbarukan lantaran karakternya yang ramah akan lingkungan. Proses pemberdayaan energi fosil yang berlebih dan eksploitatif terhadap lingkungan akan menimbulkan kemarahan serta laknat dari Allah. Meskipun begitu, aktivitas pertambangan tidak perlu dihentikan secara mutlak. Tetap menambang sesuai batas produksi, lalu digunakan untuk pemberdayaan energi terbarukan seperti memproduksi panel surya masal. Wallahu A’lam.


Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Ainul Yaqin.