Syariah

Cerai Talak dan Cerai Gugat, Apa Perbedaannya?

NU Online  ·  Selasa, 24 Juni 2025 | 12:00 WIB

Cerai Talak dan Cerai Gugat, Apa Perbedaannya?

Ilustrasi suami-istri tidak harmonis. Sumber: Canva/NU Online.

Mayoritas pasangan suami istri tentu menginginkan tumbuhnya rasa kasih sayang dan ketentraman dalam kehidupan keluarga mereka. Namun, dalam perjalanan rumah tangga, wajar jika terjadi pasang surut, termasuk perselisihan yang menguji kedua belah pihak.


Terkadang, masalah rumah tangga menjadi begitu berat sehingga sulit ditanggung oleh suami dan istri. Dalam situasi seperti ini, kedua pasangan mungkin merasa sulit untuk tetap bersabar menghadapi permasalahan yang sangat serius atau di luar batas kewajaran.


Dalam kondisi demikian, syariat Islam memberikan dua pilihan untuk menyelesaikan masalah tersebut: mempertahankan bahtera rumah tangga meskipun dipenuhi konflik yang dapat menghilangkan esensi pernikahan, atau memilih jalan perceraian yang telah diizinkan oleh syariat.


Pada dasarnya, hak talak berada sepenuhnya di tangan suami. Syariat memiliki alasan tersendiri mengapa hak prerogatif ini diberikan kepada suami dan tidak dibebankan kepada istri.


Hikmah Dibalik Hak Talak Berada di tangan Suami

Dalam ajaran Islam, hak talak diberikan kepada suami sebagai bagian dari tanggung jawabnya dalam memimpin dan menjaga keberlangsungan rumah tangga. Menurut Syekh Al-Jurjawi, hikmah di balik ketentuan ini adalah bahwa suami diharapkan mampu mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan matang, menjaga stabilitas emosi, dan memikul tanggung jawab besar dalam keluarga, termasuk memberikan nafkah dan maskawin (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid. II, hlm. 49). 


Namun, pandangan ini perlu dikontekstualisasikan dengan pemahaman bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki keunikan dalam cara berpikir, mengelola emosi, dan menghadapi tantangan hidup. Faktanya, di antara lelaki, tidak sedikit yang emosinya labil. Di sisi lain, banyak perempuan yang memiliki kematangan berpikir dibanding laki-laki.


Syariat Islam menempatkan pernikahan sebagai institusi yang sakral, dengan tujuan menciptakan harmoni, kasih sayang, dan ketentraman bagi kedua pasangan. Oleh karena itu, hak talak yang diberikan kepada suami tidak dimaksudkan untuk merendahkan perempuan, melainkan sebagai mekanisme untuk menjaga keseimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak besar bagi keluarga. Dalam hal ini, suami diharapkan bertindak dengan bijaksana, adil, dan mempertimbangkan kepentingan bersama.


Meski hak talak berada di tangan suami, Islam juga memberikan ruang bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai, yang dikenal sebagai khulu’ dalam istilah fiqih. Khulu’ memungkinkan istri untuk mengakhiri pernikahan dengan cara yang terhormat, misalnya jika ia merasa tidak lagi dapat melanjutkan hubungan karena alasan yang sah, seperti ketidakharmonisan atau ancaman terhadap keselamatannya.

 

Mekanisme ini mencerminkan prinsip keadilan dalam Islam, yang menjamin hak perempuan untuk dilindungi dan didengar, sekaligus menegaskan bahwa kedua belah pihak memiliki peran setara dalam menjaga keutuhan atau mengakhiri pernikahan dengan penuh martabat.


Dengan demikian, syariat Islam mengakomodasi kebutuhan dan hak kedua pasangan secara seimbang. Baik suami maupun istri memiliki tanggung jawab untuk saling menghormati, mendukung, dan menjaga komitmen pernikahan, sambil tetap diberikan jalan keluar yang adil jika hubungan tidak lagi dapat dipertahankan


Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat

Meskipun sama-sama bernama ‘cerai’, namun ada beberapa perbedaan antara cerai talak dan cerai gugat. Berikut adalah beberapa perbedaannya:

1. Definisi

Mengenai definisi, keduanya mempunyai definisi ataupun pengertian yang berbeda. Adapun cerai talak secara etimologis, adalah melepas ikatan. Sedangkan menurut terminologi syariah, cerai talak adalah sebuah nama perbuatan untuk melepas ikatan pernikahan. Pengertian khulu' sendiri menurut terminologi syariat adalah perceraian dengan memberikan kompensasi ('iwadh) kepada suami. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 240-241).

 

2. Rukun dan syarat

Dalam hal syarat dan rukun, terdapat perbedaan antara cerai talak dan cerai gugat (khulu’). Pada cerai talak, rukun dan syarat utamanya mencakup lima hal: suami sebagai pihak yang menjatuhkan talak, redaksi atau sighat talak yang diucapkan, istri sebagai pihak yang dicerai, adanya otoritas atau wewenang untuk menjatuhkan talak, serta unsur kesengajaan, artinya talak tersebut tidak dilakukan karena paksaan.


Sementara itu, dalam cerai gugat atau khulu’, rukun dan syaratnya juga terdiri dari lima unsur, namun dengan komposisi yang berbeda. Unsur-unsur tersebut meliputi suami, pihak yang memberikan kompensasi (‘iwadh), perempuan yang meminta cerai, kompensasi itu sendiri, serta sighat atau redaksi pernyataan gugat cerai. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Khathib Asy-Syirbini dalam kitab Mughnil Muhtaj (Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1415 H, jilid IV, hlm. 430–455).


3. Objek dan Subjek

Dalam cerai talak, suami bertindak sebagai pemohon (subjek), sedangkan istri sebagai termohon (objek). Sebaliknya, dalam cerai gugat, istri bertindak sebagai penggugat (subjek), sedangkan suami sebagai tergugat (objek). Dengan kata lain, cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh istri.


4. Waktu

Terkait waktu pelaksanaan, cerai talak dan cerai gugat memiliki ketentuan yang berbeda. Cerai talak hanya diperbolehkan dilakukan ketika istri dalam keadaan suci dari haid atau nifas dan belum disetubuhi pada masa suci tersebut, sesuai dengan ketentuan syariat untuk menjaga kejelasan status pernikahan dan masa iddah.


Sebaliknya, cerai gugat (khulu’) dapat diajukan oleh istri kapan saja, baik dalam keadaan suci maupun tidak. Hal ini karena istri yang mengajukan khulu’ biasanya memberikan kompensasi (iwadh), yang menunjukkan kesediaannya untuk menjalani masa iddah yang diperlukan.

 

Dengan demikian, dalam cerai gugat tidak dikenal istilah talak bid’ah (yang dilarang) atau talak sunni (yang diperbolehkan), karena sifatnya bergantung pada kesepakatan dan kompensasi istri (Lihat karya Syekh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid. IX, hlm. 378 dan karya Syekh Al-Bujairami, Hasyiah Al-Bujairami ‘ala Khathib, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid. III, hlm. 486).


5. Implikasi Hukum

Akibat hukum dari cerai talak dan cerai gugat juga berbeda. Dalam cerai talak, jumlah talak terbatas hingga tiga kali. Jika talak satu atau dua diucapkan, suami masih dapat merujuk (kembali kepada) istrinya selama masa iddah tanpa memerlukan akad nikah baru. Namun, jika talak telah mencapai tiga kali, hubungan pernikahan tidak dapat dilanjutkan kecuali setelah istri menikah dengan pria lain, terjadi hubungan suami-istri, dan pernikahan tersebut berakhir secara sah.


Sebaliknya, dalam cerai gugat (khulu’), istri yang telah mengajukan gugatan dan diterima menjadi sepenuhnya terbebas dari ikatan pernikahan dengan suami. Suami tidak memiliki hak untuk merujuk istrinya kembali setelah khulu’ tanpa akad nikah baru. Jika kedua pihak ingin kembali menjalin hubungan pernikahan, mereka harus melakukan akad nikah ulang dengan syarat dan rukun yang berlaku (Syekh Al-Bujairami, Hasyiah Al-Bujairami ‘ala Khathib, jilid III, hlm. 486).


Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cerai talak dan cerai gugat memiliki perbedaan signifikan dalam hal definisi, rukun dan syarat, subjek dan objek, waktu pelaksanaan, serta akibat hukum yang ditimbulkan. Ketentuan ini mencerminkan fleksibilitas syariat Islam dalam mengakomodasi kebutuhan kedua pihak dalam pernikahan, dengan tetap menjaga prinsip keadilan dan tanggung jawab bersama. Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.