Syariah

Hukum Negara Merampas Aset Tindak Pidana Korupsi

Rab, 3 Januari 2024 | 15:00 WIB

Hukum Negara Merampas Aset Tindak Pidana Korupsi

Korupsi. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

RUU Perampasan Aset dinilai penting kehadirannya sebagai upaya dalam mengembalikan kerugian negara akibat tindakan pidana. Apabila disahkan, maka RUU ini dapat menjadi pijakan hukum untuk optimalisasi pelindungan aset negara dari kerugian tindak pidana.


Aset yang disita atau dirampas di sini bukan hanya tindakan pidana korupsi saja, namun tindakan pidana seperti penyelundupan orang, perdagangan manusia, terorisme dan lain sebagainya. Aset di sini juga termasuk yang telah dihibahkan, atau dikonversi menjadi kekayaan pribadi atau koperasi.


Dalam Islam sendiri, tindakan perampasan aset ini diserupakan dengan pengambilan kembali harta milik seseorang yang dipakai tanpa izin oleh hakim. Dalam istilah fiqih, kita biasanya menyebutnya sebagai hukum ghasab.


NU sendiri melalui Munas Alim Ulama dan Konbes 2012 yang digelar di Cirebon pada pertengahan September, memutuskan bahwa seluruh harta hasil korupsi wajib dikembalikan ke negara meskipun pelaku telah menjalani hukuman penjara.


Selain itu, pemeriksaan kekayaan seseorang oleh negara yang diduga hasil korupsi adalah wajib meskipun tersangka pelaku telah meninggal dunia agar diperoleh kepastian mengenai status harta tersebut. Apabila telah terbukti, bahwa harta tersebut adalah hasil korupsi, maka wajib dikembalikan kepada negara untuk kemaslahatan rakyat dan untuk membersihkan harta warisan dari harta haram.


Merujuk kepada keputusan Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah Komisi Waqi'iyyah di Ponpes Al Inaroh Kabupaten Batang pada Senin 27 Muharram 1445/14 Agustus 2023, hukum negara melakukan perampasan aset adalah boleh, bahkan wajib.


Perampasan aset hasil tindak pidana, semisal tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, perdagangan manusia dan lain merupakan bagian dari tindakan mengembalikan harta hasil tindakan pidana (raddul mazhalim) pada pemiliknya, dalam hal ini adalah individu atau lembaga maupun negara. 


Keputusan bahtsul masail tersebut merupakan hasil dari diskusi yang berlandaskan beberapa referensi dari kitab-kitab fiqih terkait ghasab. Pertama dari kitab Hasyiyatul Jamal:


( قَوْلُهُ نَعَمْ لَا ضَمَانَ عَلَى الْحَاكِمِ ) هَذَا الْكَلَامُ يُفِيدُ جَوَازَ أَخْذِ الْحَاكِمِ لَهُ لِمَصْلَحَةٍ وَهُوَ كَذَلِكَ بَلْ قَدْ يَجِبُ الْأَخْذُ إذَا عَلِمَ الْحَاكِمُ أَنَّهُ إنْ لَمْ يَأْخُذْهُ ضَاعَ عَلَى مَالِكِهِ وَلَمْ يَصِلْ إلَيْهِ وَلَا إلَى بَدَلِهِ لِإِتْلَافِ الْغَاصِبِ لَهُ ....... وَأَمَّا الْغَاصِبُ الَّذِي أَخَذَ مِنْهُ الْحَاكِمُ وَنَائِبُهُ فَلَا يَبْرَأُ إلَّا بِالرَّدِّ لِلْمَالِكِ


Artinya: “(Ucapannya, “Ya, tidak ada jaminan dari pihak hakim”). Pernyataan ini menunjukkan bahwa boleh saja hakim merampas [barang ghasab] karena kemaslahatan, bahkan terkadang tindakan merampas menjadi wajib apabila si hakim mengetahui jika saja ia tidak rampas, maka barang tersebut akan hilang dan tidak sampai pada pemiliknya, tidak juga pada pada penggantinya, disebabkan karena rusak oleh si pelaku ghasab .... Adapun bagi perampas harta yang diambil penguasa dan wakilnya, maka ia tidak akan mendapat pengampunan kecuali dengan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.” (Sulaiman bin ‘Umar al-Azhari, Hasyiyatul Jamal, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid III, hal. 474).


Kemudian selanjutnya dikutip dari kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya syekh Wahbah az-Zuhaili, yaitu:


وأما الملكية غير المشروعة فيجوز للدولة التدخل في شأنها لرد الأموال إلى صاحبها، بل إن لها الحق في مصادرتها، سواء أكانت منقولة أم غير منقولة، كما فعل سيدنا عمر في مشاطرة بعض ولاته الذين وردوا عليه من ولايتهم بأموال لم تكن لهم، استجابة لمصلحة عامة: وهو البعد بها عن الشبهات وعن اتخاذها وسيلة للثراء؛ لأن الملكية مقيدة بالطيبات والمباحات، أما المحرمات التي تجيء عن طريق الرشوة أو الغش أو الربا أو التطفيف في الكيل والميزان أو الاحتكار أو استغلال النفوذ والسلطة، فلا تصلح سبباً مشروعاً للتملك.


Artinya: “Adapun kepemilikan ilegal dan tidak sah, maka negara berhak melakukan intervensi di dalam menanganinya untuk mengembalikan harta benda kepada pemiliknya yang sah. Bahkan lebih jauh dari itu, negara berhak menyita kepemilikan ilegal tersebut, baik itu berupa harta benda bergerak maupun harta benda tidak bergerak, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khathab r.a. di dalam membagi menjadi dua bagian (musyaatharah) harta yang dibawa oleh sebagian gubernurnya yang bukan hak mereka, demi suatu kemaslahatan umum, yaitu menjauhkan jabatan gubernur dari berbagai hal yang tidak baik dan supaya jabatan itu tidak dimanfaatkan sebagai sarana menumpuk kekayaan. Karena kepemilikan dibatasi hanya pada harta yang baik dan mubah. Adapun harta haram yang didapatkan melalui cara-cara ilegal, seperti suap, penipuan, riba, kecurangan di dalam menakar dan menimbang, penimbunan dan monopoli, memanfaatkan pengaruh, jabatan dan kekuasaan untuk menumpuk kekayaan, maka semua itu tidak bisa menjadi sebab yang legal untuk kepemilikan.” (Syekh Wahbah az-Zhuayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid VI, hal. 377).


Selain kutipan di atas, terdapat beberapa kutipan lainnya. Akan tetapi poin yang ingin disasar adalah bahwa aset negara atau individu yang digunakan pihak tertentu untuk tindakan pidana merupakan bagian dari penyelewengan sehingga negara boleh melakukan tindakan perampasan.


Secara hukum Islam yang normatif, RUU Perampasan Aset sudah sesuai dengan pendapat para fuqaha dan tidak menyalahi hukum. Harapannya undang-undang ini dapat mengurangi melindungi aset negara maupun individu. Wallahu a’lam.


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darus Sunnah Jakarta