Ini Dua Arus Besar Metode Ushul Fiqih dalam Islam
NU Online ยท Jumat, 4 Mei 2018 | 09:00 WIB
Suatu perbedaan tentunya bertemu di satu sebab. Dalam ushul fiqih, disebutkan dua metode yang digunakan ulama ushul dalam menyimpulkan suatu kaidah. Pertama, metode mutakallimin. Kedua, metode Hanafiyyah.
Sebagaimana dikutip dari Kitab Muhadharah fi Ushul Fiqh (Lihat Tsuroya Muhammad Abdul Fattah, [Mesir, Jamiโah Al-Azhar: 1996], halaman 13-15), dinamakan metode Mutakallimin sebab kebanyakan pengarang kitab ushul dalam metode seperti ini adalah ahli kalam, terkadang metode ini disebut juga sebagai metode As-Syafiโiyyah. Sebab Imam As-Syafiโi orang yang pertama kali menulis kitabnya menggunakan metode ini. Begitupun metode Hanafiyyah, disebut demikian sebab ulama-ulama mazhab Hanafi pencetus metode ini.
Pertama, metode Mutakallim. Metode ini menetapkan kaidah ushul sesuai dalil yang menunjukan pada ketetapan kaidah itu. Selama dalil itu dapat menguatkan kaidah ini, maka ulama dalam metode ini menguatkan kaidah dengan dalil itu. Jika tidak ada dalil yang dapat menguatkannya, maka otomatis dihilangkan. Dalam artian, tak ada dalil jika tak ada kaidah, dengan tanpa condong kepada satu mazhab pun, juga tidak melihat apakah nanti cocok atau tidak dengan masalah furuโiyah dalam fiqih.
Oleh karena demikian, kaidah ushul mereka menjadi penentu dan metode untuk manghakimi masalah furuโ yang muncul, bukan membantu dalam menyelaraskan kaidah dengan masalah furuโ, sebab furuโ mengikuti ushul.
Kitab-kitab ushul fiqih yang menggunakan metode ini di antaranya, Al-โUmdah karya Syekh Abdul Jabbar Al-Muโtazily, sekaligus disyarahi oleh Abul Hasan Al-Bashri (463 H), Al-Burhan karya Imam Al-Haramain Al-Juwainy As-Syafiโi (478 H), Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali (505 H) yang nantinya diringkas oleh Muhammad bin Umar Ar-Rozy (606H) dengan nama Al-Mahshul dan diringkas pula oleh Saifuddin Al-Amidy dengan nama Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam.
Kedua, metode Hanafiyyah. Ulama metode ini menganggap bahwa pendahulu mereka dalam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah bagi mereka seperti halnya Imam As-Syafiโi. Namun, kendati demikian, mereka menjadikan masalah-masalah furuโ dalam fiqih yang ditetapkan oleh imam pendahulu mereka sebagai acuan yang dijadikan kaidah dalam menentukan permasalahan furuโ yang lain.
Mereka berpegang dengan masalah furuโ yang beragam, kemudian mengumpulkan yang serupa dengan masalah tersebut, lalu mengekstrak kaidah dari masalah furuโ yang telah diserupakan. Tujuannya untuk menguatkan masalah furuโ yang baru dengan menggunakan masalah furuโ yang telah diistinbathkan oleh pendahulu mereka.
Apabila terdapat kaidah yang bertentangan, maka mereka berpindah dari satu kaidah ke kaidah lain yang cocok. Kerja metodologi ini berbeda dengan metode Mutakallimin. Dalam metode Mutakallimin, jika tidak ditemukan dalil yang menguatkannya, maka kaidah akan dihapuskan. Simpelnya, jika metode mutakallimin dari ushul menghasilkan furuโ, maka metode Hanafiyyah dari furuโ menghasilkan ushul (kaidah).
Kitab-kitab yang menggunakan metode Hanafiyah ini di antaranya, Al-Ushul karya Abu Bakr bin Ahmad Ali Al-Maโruf (370 H), Taqwimul Adillah karya Abu Zaid Ubaidillah bin โUmar Ad-Dabusy (430 H), Al-Ushul karya As-Sarakhsi (428 H), dan Al-Ushul karya Al-Bazdawy (482 H). Wallahu aโlam. (Amin Nurhakim)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
5
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua