Syariah

Bolehkah Wanita Berangkat Haji Saat Iddah? Ini Penjelasan Lengkap Ulama Berdasarkan Kondisi Nyata

NU Online  ·  Senin, 23 Juni 2025 | 10:00 WIB

Bolehkah Wanita Berangkat Haji Saat Iddah? Ini Penjelasan Lengkap Ulama Berdasarkan Kondisi Nyata

Haji wanita iddah (NUO)

Kematian adalah takdir yang tidak dapat diketahui waktunya. Seorang istri bisa saja kehilangan suaminya di waktu yang tidak diduga-duga. Dalam situasi demikian, syariat menetapkan kewajiban bagi seorang wanita untuk menjalani masa iddah di rumah. Namun, bagaimana jika kewajiban ini berbenturan dengan rencana ibadah haji yang telah direncanakan sebelumnya? Apakah seorang wanita harus tetap berangkat haji atau menunda hingga masa iddah selesai.
 

Sayyidina Umar bin Khatthab pernah diriwayatkan menyuruh pulang para wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, bahkan ketika mereka sedang bersiap menunaikan ibadah haji.
 

وَرُوِّينَا عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ كَانَ يَرُدُّ الْمُتَوَفَّى عَنْهُنَّ أَزْوَاجُهُنَّ مِنَ الْبَيْدَاءِ، يَمْنَعُهُنَّ مِنَ الْحَجِّ
 

Artinya, "Diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa beliau pernah menyuruh kembali wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dari al-Baida dan melarang mereka untuk melanjutkan haji." (HR Al-Baihaqi).
 

Dalam fiqih ada tiga kemungkinan kondisi yang dapat dialami oleh wanita yang berada dalam masa iddah terkait rencana perjalanan hajinya. Setiap kondisi memiliki hukum yang berbeda berdasarkan kaidah syar’i yang berlaku.
 

1. Jika Masih Belum Berangkat

Jika istri masih berada di rumah saat suaminya wafat, maka ia wajib menetap di rumah dan tidak berangkat haji. Hal ini karena kewajiban iddah harus dijalani pada saat itu juga, sedangkan ibadah haji dapat ditunda hingga tahun berikutnya.
 

يَجِبُ عَلَيْهَا لُزُومُ الْمَسْكَنِ حَقًّا لِلَّهِ تَعَالَى، فَلَا يَسْقُطُ بِرِضَا الزَّوْجِ، وَإِنَّمَا يُبَاحُ الْخُرُوجُ بِعُذْرٍ ظَاهِرٍ، وَالْأَعْذَارُ عَلَى ثَلَاثِ مَرَاتِبَ. الْأُولَى: مَا يَرْجِعُ إِلَى طَلَبِ الزِّيَادَةِ، كَزِيَارَةٍ وَعِمَارَةٍ وَاسْتِنْمَاءِ مَالٍ وَتَعْجِيلِ حَجِّ الْإِسْلَامِ، وَلَا يَجُوزُ الْخُرُوجُ لِمِثْلِ ذَلِكَ
 

Artinya: "Wanita yang mejalani iddah wajib menetap di rumah sebagai hak Allah Ta’ala, dan hak ini tidak gugur dengan keridhaan suami. Keluar rumah hanya diizinkan jika ada alasan yang jelas. Alasan tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan.
 

Pertama, yang berkaitan dengan upaya tambahan (bukan kewajiban mendesak) seperti ziarah, pembangunan, mengembangkan harta, atau menyegerakan haji Islam (di tahun ini), maka tidak diperbolehkan keluar untuk alasan seperti itu." (Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Wasith fil Mazhab, [Kairo, Darus Salam: 1417], juz VI, halaman 155).

Imam Al-Ghazali secara tegas menyebutkan, menyegerakan haji tidak termasuk alasan bagi seorang wanita yang menjalani iddah untuk keluar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban menjalani iddah di rumah adalah kewajiban yang lebih mendesak dan lebih penting untuk diutamakan.
 

2. Jika Sedang dalam Perjalanan Haji

Apabila suami wafat saat seorang wanita sedang dalam perjalanan, maka ia diberi kebebasan untuk memilih antara kembali ke rumah untuk menjalani iddah atau melanjutkan perjalanan hajinya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa memaksanya kembali ke rumah dapat menimbulkan kesulitan (masyaqqah).
 

Imam Zakariya Al-Anshari menjelaskan:
 

وَخُيِّرَتْ إِذَا لَزِمَتْهَا الْعِدَّةُ فِي سَفَرٍ لَمْ تَنْتَقِلْ فِيهِ، أَيْ فِي سَفَرِ غَيْرِ النُّقْلَةِ إِذَا أَذِنَ لَهَا فِيهِ، كَحَجٍّ... فَإِنَّهَا تَتَخَيَّرُ بَيْنَ الصَّبْرِ إِلَى فَرَاغِ الْعِدَّةِ وَبَيْنَ الْخُرُوجِ لِلنُّسُكِ، لِمَا فِي تَعَيُّنِ الصَّبْرِ مِنْ مَشَقَّةِ مُصَابَرَةِ الْإِحْرَامِ
 

Artinya: "Wanita diberi pilihan (antara melanjutkan perjalanan atau tidak) jika ia terkena kewajiban menjalani iddah dalam perjalanan yang bukan terkait pindah tempat tinggal, seperti haji ketika telah mendapat izin dari suami … ia boleh memilih antara menunggu hingga iddah selesai atau melanjutkan ibadah hajinya, karena memaksanya menunggu dapat menimbulkan kesulitan." (Al-Ghurrarul Bahiyyah fi Syarhil Bahjah Al-Wardiyah, [Mesir, Al-Mathbaʿah Al-Maimaniyah], juz IV, halaman 362).
 

3. Jika Sudah Mengurus Semua Keuangan Haji

Jika seorang wanita telah melunasi semua biaya administrasi, membeli semua perlengkapan haji sebelum suaminya wafat. dan ketika ia sudah siap untuk berangkat kemudian suaminya wafat, maka ia juga diperbolehkan untuk tetap berangkat. Hal ini mengacu pada kekhawatiran terhadap kerugian harta yang telah ia keluarkan, yang mana hal tersebut dapat menjadi alasan kebolehan keluar rumah selama masa iddah.
 

Imam Al-Ghazali menambahkan:
 

اَلثَّالِثَةُ: مَا يَنْتَهِي إِلَى حَدِّ الْحَاجَةِ، كَالْخُرُوجِ لِلطَّعَامِ وَالشَّرَابِ أَوْ تَدَارُكِ مَالٍ أُخْبِرَتْ بِأَنَّهُ أَشْرَفَ عَلَىا الضَّيَاعِ، فَذَلِكَ أَيْضًا رُخْصَةٌ فِي الْخُرُوجِ فِي حَقِّ مَنْ لَا كَافِلَ لَهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ هَذَا الْعُذْرُ نَادِرًا
 

Artinya: "Tingkatan ketiga adalah alasan yang mencapai kebutuhan mendesak, seperti keluar untuk makanan dan minuman, atau menyelamatkan harta yang hampir sia-sia. Alasan ini juga menjadi rukhshah (keringanan) bagi wanita yang tidak memiliki penanggung jawab. Walaupun alasan ini jarang terjadi, tetap diperbolehkan baginya untuk keluar rumah." (ِl-Ghazali, VI/155).
 

Telah diketahui secara umum, di masa kini perjalanan haji diatur oleh negara dengan berbagai pembatasan, termasuk sistem kuota dan giliran yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, sangat mungkin wanita yang menjalani masa iddah berada dalam kondisi akan kesulitan menunaikan ibadah haji di kemudian hari karena pembatasan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, sangat memberatkan baginya apabila dilarang untuk menunaikan ibadah haji.
 

Kesimpulannya, hukum perjalanan haji bagi wanita yang berada dalam masa iddah bergantung pada situasi yang dihadapi:

  1. Bila belum berangkat, maka ia tidak boleh melakukan perjalanan haji dan wajib melaksanakan iddah di rumah.
  2. Bila sudah berada di perjalanan, maka ia boleh memilih antara melanjutkan perjalanan atau kembali ke rumah.
  3. Bila sudah kadung melakukan semua persiapan, lantas suaminya wafat, maka ia boleh keluar memandang hal tersebut adalah kondisi darurat demi menyelamatkan hartanya agar tidak sia-sia. Wallahu a'lam.
     


Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.