Syariah

Ini Jenis-jenis Wajib dalam Hukum Islam

Ahad, 9 Februari 2014 | 18:40 WIB

Hukum wajib ialah perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan siksa. Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam Ushulul Fiqhil Islamy menjelaskan bahwa hukum wajib bisa dibagi dari empat sudut pandang:
 

للواجب تقسيمات أربعة: أولا من حيث زمن الأداء. ثانيا من حيث تقديره. ثالثا من حيث الملزم بفعله. رابعا من حيث تعيين المطلوب به


Artinya, “Wajib terbagi menurut empat sudut pandang: Pertama dari sudut pandang waktu pengerjaannya, Kedua dari sudut pandang takarannya, Ketiga dari sudut pandang subyek pelaku, Keempat dari sudut pandang penentuan obyeknya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islamy, [Damaskus: Darul Fikr, 2005 M], juz I, halaman 56).

Dari sudut pandnag waktu pengerjaan, wajib dibagi menjadi wajib mutlak dan wajib mu'aqqat.

Wajib mutlak ialah kewajiban yang tidak memiliki batas waktu tertentu. Sifat pengerjaannya mutlak, kapanpun mau dikerjakan, boleh saja. Contohnya adalah seseorang yang telah bersumpah kemudian ia melanggarnya. Ia wajib melaksanakan denda (kafarah) sumpah yang waktunya tidak ditentukan, kapanpun ia hendak melaksanakan, boleh saja.

Wajib mu'aqqat ialah wajib yang memiliki waktu tertentu, seperti shalat lima waktu yang telah ditentukan waktunya, di mana pengerjaan shalat tidak akan sah jika dilakukan sebelum masuknya waktu. Wajib mu'aqqat ini terbagi menjadi dua, yakni: muwassa’, dan mudhayyaq.

Wajib muwassa’ ialah kewajiban yang waktu pelaksanaannya boleh dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban tersebut dan lainnya. Contohnya shalat zhuhur, di mana pada saat waktu zhuhur, kita diperbolehkan melaksanakan shalat zhuhur atau shalat lainnya.

Wajib mudhayyaq ialah kewajiban yang waktu pelaksanaannya hanya boleh dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Contohnya ketika waktu zhuhur hanya tersisa beberapa menit yang cuma cukup untuk mengerjakan shalat zhuhur, maka pada sisa waktu tersebut ia hanya boleh melaksanakan shalat zhuhur. Contoh lain ialah bulan Ramadhan, di mana puasa yang boleh dilakukan pada saat itu adalah puasa Ramadhan, bukan yang lain.

Adapun dari sudut pandang takarannya, wajib terbagi menjadi dua yakni wajib muhaddad dan ghairu muhaddad. Wajib muhaddad ialah kewajiban yang hanya boleh dilaksanakan dengan takaran yang telah ditentukan oleh syariat, seperti shalat wajib sehari semalam lima waktu, tidak kurang tidak lebih. Shalat zhuhur empat rakaat, tidak kurang tidak lebih.

Wajib ghairu muhaddad ialah kewajiban yang tidak ada takarannya pasti menurut syariat, contohnya seperti seseorang yang nadzar mau bersedekah kepada orang fakir. Tidak ada batas seberapa banyak nilai sedekah tersebut sekaligus kepada berapa orang fakir.

Dari sudut pandang subyek pelaku, wajib terbagi menjadi wajib ‘ain dan wajib kifayah. Wajib ‘ain atau biasa disebut fardlu ‘ain ialah kewajiban yang dituntut oleh syariat untuk dilaksanakan oleh orang per orang, seperti shalat lima waktu, yang wajib bagi tiap-tiap Muslim.

Wajib kifayah atau biasa disebut fardhu kifayah ialah kewajiban yang dituntut untuk dilakukan tanpa memandang siapa yang melakukannya. Contohnya ialah tuntutan menjadi dokter. Sebuah komunitas masyarakat pasti membutuhkan dokter, namun tidak semua dituntut untuk menjadi dokter. Ketika sudah ada yang menjadi dokter, maka tuntutan tersebut hilang bagi yang lainnya. Wajib kifayah ini bisa menjadi ‘ain apabila dalam sebuah kondisi, tidak ada lagi yang sanggup melaksanakan hal tersebut kecuali seorang individu.

Dari sudut pandang penentuan obyeknya, wajib terbagi menjadi mu’ayyan dan mukhayyar atau mubham. Wajib muayyan ialah kewajiban yang sudah ditentukan kualitas dan kuantitasnya oleh syariat, seperti zakat yang sudah ditentukan nishab, haul, dan prosentase zakatnya.

Wajib mukhayyar atau mubham ialah kewajiban yang mana syariat memberikan pilihan kepada kita untuk melakukan pilihan mana yang akan kita lakukan. Contohnya ialah denda (kafarah) berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan. Syariat memberikan pilihan apakah kita akan membayarnya dengan membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Wallahu a’lam. (Muhammad Ibnu Sahroji)