Syariah

Kajian Fiqih Syafi’i: Mengapa Tidur Membatalkan Wudhu?

Sab, 1 April 2023 | 11:00 WIB

Kajian Fiqih Syafi’i: Mengapa Tidur Membatalkan Wudhu?

Ilustrasi: tidur - anak (NU Online).

Di dalam mazhab Syafi’i, salah satu hal yang membatalkan wudhu adalah tidur. Tidur yang dimaksud adalah selain tidur dalam posisi duduk, seperti tidur telentang, tidur dengan posisi bersandar dan lain-lain. Tidur dalam posisi duduk akan tetapi tubuhnya bergerak sehingga posisi tulang duduk (pantat) terangkat, juga membatalkan wudhu di dalam mazhab Syafi’i. Demikian ini didasarkan kepada hadits yang menyatakan:
 

الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِّ، فَإِذَا نَامَتْ الْعَيْنَانِ اْنْطَلَقَ الْوِكَاءُ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

 

Artinya, “Kedua mata adalah tali bagi dubur. Ketika kedua mata terpejam (tertidur), maka tali ini akan terbuka. Maka barangsiapa yang tidur, hendaklah berwudhu.”
 

 

Kajian Hadits

Lafal hadits di atas adalah lafal berdasarkan pengutipan penulis dari kitab fiqih Syafi’i di dalam Kifayatul Akhyar. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam pembahasan tentang thaharah, terkhusus di dalam bab wudhu karena tertidur. (hadits nomor 202). Adapun lafal di dalam As-Sunan yang disusun Abu Dawud adalah sebagai berikut:
 

وِكَاءُ السَّهِّ الْعَيْنَانِ، فمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

 

Artinya: “Tali dubur itu adalah mata. Maka barangsiapa yang tidur, hendaklah ia wudhu.”
 

Hadits di atas diriwayatkan Abu Dawud dari Haiwah bin Syuraih Al-Himshi, dan yang lain dari guru Abu Dawud, dari Baqiyyah, dari Wadhiyn bin Atha’, dari Mahfudh bin ’Alqamah, dari Abdurrahman bin ‘Aaidh, dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. Ali bin Abi Thalib berkata bahwa Rasulullah saw bersabda sebagaimana di atas.
 

Demikian pula hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah di dalam pembahasan tentang thaharah terkhusus di dalam bab wudhu disebabkan tidur (hadits nomor 477). Adapun lafal dari Ibnu Majah adalah sebagai berikut:
 

العَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ. فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

 

Artinya, “Mata adalah tali dari dubur. Maka barangsiapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu.”
 

Hadits dari Ibnu Majah ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Al-Mushaffa Al-Himshi. Diceritakan oleh Baqiyyah, dari Al-Wadhiyn bin Atha’, dari Mahfudh bin ‘Alqamah, dari Abdurrahman bin ‘Aaidz Al-Azdi, dari ‘Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan hal ini maka kita mengetahui bahwa sanad hadits ini adalah sama, baik hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, maupun Ibnu Majah. Meskipun lafalnya berbeda.
 

 
Hadits itu diriwayatkan pula oleh Imam Ad-Darimi di dalam pembahasan tentang wudhu, terkhusus dalam bab ke-48 tentang wudhu disebabkan tidur (hadits nomor 1). Demikian pula dijelaskan di dalam kitab “Al-Musnad” karya Imam Ahmad.
 

 

Kajian Fiqih Syafi’iyah

Berdasarkan hadits di atas, dikatakan ulama Syafi’iyah bahwa tertidur menyebabkan wajibnya melaksanakan wudhu jika orang hendak melaksanakan kegiatan yang wajib wudhu, seperti shalat, memegang mushaf, dan sebagainya. Orang yang tidur dalam kondisi berwudhu menjadi batal wudhunya disebabkan tertidur.
 

Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa pada dasarnya tidur itu sendiri tidak membatalkan wudhu, sehingga dapat dipahami bahwa pada dasarnya, orang yang tertidur tidak diwajibkan untuk melaksanakan wudhu ketika hendak melaksanakan kegiatan seperti shalat dan sebagainya. Akan tetapi kewajiban wudhu tersebut menjadi ada karena terdapat ‘illat (alasan hukum) sebagaimana akan dibahas berikut ini:
 

  1. Di dalam hadits sebagaimana di awal tulisan, terdapat suatu klausa (jumlah) syarthiyah dalam bentuk pernyataan: ‘jika….maka’. Pernyataan tersebut adalah: فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ (barang siapa yang tidur, maka hendaklah ia berwudhu). Klausa فَلْيَتَوَضَّأْ (maka hendaklah dia berwudhu), merupakan kata kerja present yang kemudian mendapatkan imbuhan lam (ل), yang berfungsi mengubah makna dari kata kerja present (sedang) menjadi perintah/anjuran (hendaklah).

     
  2. Pertanyaannya kemudian adalah: “Apa hukum berwudhu setelah tidur?”  dalam rangka mengikuti perintah Nabi saw tersebut sebagaimana dijelaskan: “Jika kamu tidur, maka hendaklah berwudhu.” Adakah dengan demikian berwudhu bagi orang yang tidur adalah suatu kewajiban? Atau anjuran sunah? Atau hanya sebatas kebolehan?. Di dalam menjawab hal ini maka dua poin terakhir berikut ini haruslah diperhatikan. 

     
  3. Tidur mengkhawatirkan keluarnya angin dari dubur, yang biasa disebut sebagai kentut, yang menyebabkan batalnya wudhu. Seseorang ketika tertidur, sebagaimana tersirat di dalam hadits di atas, dia tidak akan sadar apakah selama dia tertidur telah keluar angin atau tidak. Kondisi demikian meniscayakan seseorang berada di dalam kebimbangan. Dalam kondisi ini maka wudlu’ pada dasarnya suatu bentuk kehati-hatian.

     
  4. Keluarnya angin adalah tidak berwujud (tidak dapat dilihat) sebagaimana keluarnya benda lain dari kemaluan, seperti kencing, berak, mani, darah, dan sebagainya. Berdasarkan hal ini maka ulama Syafi’iyah berpendapat wajib hukumnya wudhu setelah bangun tidur. Demikian karena seseorang tidak dapat menyadari bahwa selama ia dalam kondisi tertidur telah keluar angin atau , seperti dijelaskan dalam poin pertama, dan angin tersebut tidak dapat dilihat, tidak seperti jika benda lain yang keluar.
 

Sebagai catatan kajian ini merujuk pada ​​​​​​beberapa bacaaan, yang diantaranya adalah Kifayatul Akhyar, Sunan Ibnu Majah​​​​, Al-Badzl Al-Majhud fi Halli Sunan Abi Dawud, dan As-Sunan. Wallahu a’​​​​lam.​​​​​​​

 


Ustadz R Ahmad Nur Kholis, Pengurus LBMNU Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang; Pengajar di Pondok Pesantren PPAI Al Fithriyah Kepanjen Malang.