Sunnatullah
Kolomnis
Perceraian adalah pintu terakhir yang Islam berikan ketika semua jalan damai telah ditempuh namun tak membuahkan titik temu yang baik. Ketika ucapan cerai sudah terucap dari suami, maka semua hal-hal yang dibolehkan selama masih dalam ikatan pernikahan menjadi terlarang, seperti berhubungan badan, berpelukan, dan semacamnya.
Namun, Islam tidak membiarkan perceraian menjadi alasan bagi siapa pun untuk lepas tanggung jawab. Sekalipun keduanya sudah tidak lagi dalam ikatan keluarga yang sah dalam pernikahan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh sang suami kepada mantan istrinya yang sudah tercerai.
Namun sayangnya, banyak yang tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban ini. Sebab, banyak yang beranggapan bahwa talak merupakan akhir dari segalanya dalam rumah tangga, sehingga ketika sudah terjadi cerai, urusan suami menjadi haknya sendiri, dan urusan istri juga menjadi urusannya sendiri. Masing-masing dari keduanya tidak berhak untuk mengintervensi kehidupan lainnya. Semua berjalan masing-masing.
Tentu saja anggapan seperti ini perlu diluruskan kembali, sebab Islam tidak hanya mengatur pernikahan dalam suka dan bahagia saja, lebih dari itu juga memberikan pedoman jelas ketika pernikahan harus berakhir. Lantas, apa kewajiban suami kepada istri ketika masih dalam masa-masa talak? Mari kita bahas.
Kewajiban Suami di Masa Talak
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ketika seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya, kewajibannya tidak serta-merta berakhir dengan adanya cerai. Selama masa iddah, ia tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada istri yang ditalaknya, baik berupa makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Bahkan jika talaknya berupa talak raj’i, maka sang istri tetap berhak atas semua hak layaknya seorang istri selama masa iddah kecuali giliran bermalam. Adapun jika talaknya berupa talak ba’in, maka haknya atas tempat tinggal tetap wajib diberikan, baik ia dalam keadaan hamil maupun tidak. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Abul Husain Yahya bin Abil Khair al-Umrani (wafat 558 H), dalam salah satu kitabnya dijelaskan,
إِذَا طَلقَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ طَلاَقًا رَجْعِيًّا، فَإِنَّهَا تَسْتَحِقُّ عَلىَ الزَّوْجِ جَمِيْعَ مَا تَسْتَحِقُّ الزَّوْجَةُ، إِلاَّ الْقَسْمَ، إِلىَ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، وَهُوَ إِجْمَاعٌ. وَإِنْ كَانَ الطَّلاَقُ بَائِنًا، وَجَبَ لَهَا السُّكْنَى، حَائِلاً كَانَتْ أَوْ حَامِلًا
Baca Juga
Hukum Mengucapkan Talak Tiga Sekaligus
Artinya, “Jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan talak raj’i, maka istri tersebut tetap berhak mendapatkan seluruh hak istri dari suaminya, kecuali giliran bermalam, hingga masa iddahnya selesai. Ini merupakan kesepakatan para ulama. Dan jika talaknya adalah talak bain, maka istri tetap berhak mendapatkan tempat tinggal, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun sedang hamil.” (al-Bayan fi Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Jeddah: Darul Minhaj, 2000 M], jilid XI, halaman 230).
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis ulas dengan lebih detail, luas, dan mudah dipahami. Sebab, beberapa kewajiban suami terhadap istri juga melihat kondisi dan waktu terjadinya talak. Artinya, tanggung jawab suami kepada istri yang dicerai sebelum berhubungan badan berbeda dengan wanita yang ditalak setelah berhubungan badan. Wanita yang ditalak dalam status talak raj’i, berbeda dengan wanita yang tertalak bain.
Beberapa status di atas yang menjadi penyebab berbedanya tanggung jawab suami terhadap istri diulas secara detail oleh Syekh Dr. Musthafa al-Khin, Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, dan Syekh Dr. Ali as-Syarbaji, dalam kitab kodifikasinya dijelaskan sebagai berikut:
1. Talak sebelum berhubungan badan
Jika terjadi cerai antara seorang suami dan istri, baik melalui pembatalan (fasakh) atau terjadinya cerai sebelum berhubungan badan (jima’), maka suami tidak memiliki kewajiban apa-apa dan istri juga tidak berkewajiban menjalani masa-masa iddah setelah terjadinya penceraian tersebut.
2. Talak setelah berhubungan badan
Jika terjadi cerai antara seorang suami dan istri, baik melalui pembatalan (fasakh) atau terjadinya cerai setelah berhubungan badan, maka talak tersebut antara talak raj’i dan talak bain. Bagaimana kewajiban dan tanggung jawab suami dalam masing-masing dua macam talak di atas? Berikut jawabannya.
Pertama, jika talaknya adalah talak raj’i, yaitu jenis talak yang masih memungkinkan rujuk kembali kepada istri selama masa iddah tanpa perlu akad dan mahar baru. Nah, dalam hal ini suami memiliki beberapa tanggung jawab yang harus dipenuhi kepada istrinya. Tanggung jawab itu adalah sebagai berikut:
- Suami wajib menyediakan tempat tinggal untuknya, dan yang lebih utama adalah tempat tinggal di mana ia ditalak, selama tempat itu layak untuknya dan tidak ada halangan secara syariat atau lainnya yang melarang;
- Suami wajib memberikan nafkah dalam segala bentuknya, mulai dari kebutuhan hidup, pakaian, dan lainnya, baik istri dalam keadaan hamil atau tidak. Hal ini karena beberapa hak suami masih tetap berlaku kepadanya, dan ia masih terikat dalam tanggung jawab suami, di mana suami masih boleh merujuknya selama ia masih dalam masa iddah.
- Istri wajib menetap di rumahnya, dan tidak boleh meninggalkannya kecuali karena keperluan yang mendesak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya, “Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan.” (QS At-Thalaq, [65]: 6).
Kedua, jika talaknya adalah talak bain, yaitu jenis talak yang memutuskan hubungan pernikahan secara langsung, sehingga suami tidak bisa rujuk kepada istrinya selama masa iddah. Nah, dalam hal ini suami memiliki beberapa tanggung jawab yang harus dipenuhi kepada istrinya. Namun, tanggung jawab itu berbeda tergantung apakah istri dalam keadaan hamil atau tidak. Jika dalam keadaan hamil, maka tanggung jawab itu adalah sebagai berikut:
- Suami wajib menyediakan tempat tinggal untuknya;
- Suami wajib memberikan nafkah dalam berbagai bentuknya (sebagaimana poin-poin b pada penjelasan sebelumnya);
- Ia wajib menetap di rumah tempat ia menjalani iddah, dan tidak boleh keluar kecuali karena keperluan, seperti mencari makanan, atau menjual barang miliknya untuk kebutuhan nafkah yang tidak bisa dipenuhi oleh orang lain, atau jika ia seorang pegawai/karyawan yang tidak diizinkan untuk tetap tinggal di rumah selama masa iddah, atau jika ia merasa kesepian dan perlu menghilangkan kesendirian dengan bermalam di rumah tetangganya. Dalam kondisi seperti itu, tidak haram baginya keluar rumah. Larangan ini sebagaimana Allah tegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu:
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ
Artinya, “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar.” (QS At-Thalaq, [65]: 1).
Di sisi lain, jika istri yang ditalak bain tidak dalam keadaan hamil, maka berlaku seluruh ketentuan di atas, kecuali nafkah dalam semua bentuknya, baik nafkah harian, pakaian, dan lainnya. Dalam hal ini, ia tidak berhak mendapat nafkah, namun tetap berhak atas tempat tinggal, dan wajib menetap di dalamnya,
وَإِنْ كَانَتْ حَائِلاً: تَرَتَّبَ كُلُّ مَا ذُكِرَ فِي الْفَقْرَةِ السَّابِقَةِ، إِلاَّ النَّفَقَةَ بِأَنْوَاعِهَا الْمُخْتَلِفَةِ مِنْ مُؤْنَةٍ، وَمَلْبَسٍ، وَغَيْرِ ذَلِكَ. فَلاَ تَثْبُتُ لَهَا، وَإِنَّمَا يَجِبُ لَهَا الْمَسْكَنُ، وَتَجِبُ عَلَيْهَا مُلاَزَمَتُهُ
Artinya, “Dan jika ia tidak hamil, maka berlaku semua ketentuan yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya, kecuali nafkah dalam segala bentuknya, seperti biaya kebutuhan hidup, pakaian, dan lain-lain, maka itu tidak menjadi haknya. Namun, ia tetap berhak mendapatkan tempat tinggal, dan ia wajib tinggal di dalamnya.” (al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992 M], jilid IV, halaman 161-163).
Dalil atas ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dikisahkan, bahwa suatu saat Fatimah bint Qais ditalak oleh suaminya berupa talak yang terakhir (talak tiga), kemudian ia mendatangi Rasulullah dan mengadukan kejadiannya kepada Nabi. Setelah mendengar kejadian itu, Rasulullah bersabda:
لاَ نَفَقَةَ لَكِ إِلاَّ أَنْ تَكُونِى حَامِلاً
Artinya, “Tidak ada nafkah bagimu, kecuali jika engkau sedang hamil.” (HR Abu Daud dan al-Baihaqi).
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa talak tidak serta-merta menghapus seluruh tanggung jawab suami terhadap istrinya. Adapun besar-kecilnya tanggung jawab itu sangat bergantung pada tiga hal utama, yaitu jenis talak (raj’i atau bain), waktu terjadinya talak (sebelum atau sesudah dukhul), dan kondisi istri (hamil atau tidak hamil).
Jika talaknya adalah raj’i, maka istri tetap memiliki status hukum seperti istri pada umumnya selama masa iddah, dan berhak atas nafkah lahiriah secara penuh kecuali giliran bermalam. Sedangkan jika talaknya adalah bain, maka hak-hak itu berkurang. Jika ia hamil, maka masih berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun jika tidak hamil ia hanya berhak atas tempat tinggal saja, tanpa nafkah. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
2
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
3
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
4
Negara G7 Dukung Israel, Dubes Iran Tegaskan Hindari Perluasan Wilayah Konflik
5
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
6
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
Terkini
Lihat Semua