Konsekuensi Fiqih Ketika Hakim Salah Memutuskan Perkara
NU Online · Sabtu, 31 Agustus 2024 | 06:00 WIB
Muhammad Zainul Millah
Kolomnis
Keberadaan qadhi atau hakim dalam suatu negara mutlak dibutuhkan untuk menegakkan keadilan dan memutus pertikaian dan sengketa. Oleh karena itu, dalam syariat Islam, hukum menjadi hakim adalah fardhu kifayah bagi orang-orang yang memiliki keahlian.
Dalam memberikan keputusan, kebebasan hakim sangatlah penting karena hakim harus benar-benar mengabdi kepada keadilan, dan tidak boleh berat sebelah. Dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, hakim harus benar-benar bebas dari pengaruh dan tekanan dari manapun, terutama dari pihak-pihak yang berperkara.
Untuk itu, hakim harus dilindungi terhadap hal-hal yang dapat mengganggu tugasnya dalam menyelenggarakan peradilan dengan baik. Hakim memerlukan kekebalan dari tuntutan (ganti rugi) terhadap dirinya berkenaan dengan pelaksanaan tugasnya dalam menyelenggarakan peradilan.
Baca Juga
Kriteria Hakim Ideal menurut Rasulullah
Meski demikian, tidak berarti dengan adanya kebebasan hakim di Indonesia maka keadilan pasti terwujud. Kesalahan hakim dalam memberi keputusan sangat mungkin terjadi. Beberapa kasus viral di media sosial diduga karena hakim melakukan kesalahan dalam memberi keputusan.
Hukum memang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim untuk mengajukan upaya banding, kasasi, peninjauan kembali, atau perlawanan. Namun dalam banyak perkara, terbukti upaya tersebut tidak mampu memperbaiki kesalahan hakim dan kerugian yang diderita oleh pihak yang dikalahkan.
Pada kasus tuntutan ganti kerugian dalam perkara praperadilan yang didasarkan adanya putusan bebas, sebagai pihak termohon bukan hakim atau pengadilan, termohonnya adalah kepolisian dan kejaksaan. Dapat saja ada kesalahan ketika mengadili tetapi hakim tidak dapat memikul suatu konsekuensi atas putusannya. Di sinilah makna putusan hakim tidak dapat diganggu gugat.
Dalam kasus yang diduga terdapat kesalahan dari hakim dalam memberi keputusan, kemudian ada keputusan bebas, mereka sebenarnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada negara, namun tentu tidak semua tuntutan itu dikabulkan.
Ganti kerugian merupakan hak untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa “tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Kajian fiqih klasik
Dalam kajian fiqih klasik, keputusan hakim adalah keputusan yang mengikat. Namun demikian, kesalahan hakim dalam memberikan keputusan sangat mungkin terjadi. Untuk itu, pihak yang dirugikan atas keputusan tersebut, berhak mendapatkan ganti rugi, baik dalam hukum perdata maupun pidana.
Abu Ishaq al-Syirazi menjelaskan bahwa jika terjadi kesalahan dalam putusan hakim karena terbukti saksi tidak memenuhi syarat, maka ketentuan ganti rugi dirinci sebagai berikut:
- Jika berupa hukuman fisik seperti potong tangan atau hukuman mati, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemerintah.
- Jika berupa hukuman denda/harta, maka pihak yang memenangkan perkara atau mendapatkan harta dari keputusan hakim yang salah, harus mengembalikan harta tersebut jika memang masih ada. Namun jika sudah tidak ada atau rusak, maka ia wajib mengganti.
Kemudian, jika pihak yang berkewajiban mengganti ternyata tidak mampu, maka hakim harus menggantinya terlebih dahulu, selanjutnya hakim dapat meminta ganti kepada pihak yang berkewajiban mengganti ketika dia sudah mampu.
وَإِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ بِشَهَادَةِ شَاهِدَيْنِ ثُمَّ بَانَ أَنَّهُمَا كَانَا عَبْدَيْنِ أَوْ كَافِرَيْنِ نُقِضَ الْحُكْمُ وَإِنْ بَانَ أَنَّهُمَا كَانَا فَاسِقَيْنِ عِنْدَ الْحُكْمِ نُقِضَ الْحُكْمُ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ وَلَايُنْقَضُ فِي الْآخَرِ وَمَتَى نُقِضَ الْحُكْمُ فَإِنْ كَانَ الْمَحْكُوْمُ بِهِ إِتْلَافًا كَالْقَطْعِ وَالْقَتْلِ ضَمِنَهُ الْإِمَامُ وَإِنْ كَانَ مَالًا فَإْنَ كَانَ بَاقِيًا رَدَّهُ وَإِنْ كَانَ تَالِفًا ضَمِنَهُ الْمَحْكُوْمُ لَهُ فَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا ضَمِنَهُ الْحَاكِمُ ثُمَّ يَرْجِعُ بِهِ عَلىَ الْمَحْكُوْمِ لَهُ اِذَا أَيْسَرَ
Artinya: “Jika hakim memutuskan berdasarkan keterangan dua orang saksi, kemudian terbukti bahwa mereka itu budak atau kafir, maka putusan itu batal, dan jika pada waktu putusan itu ternyata mereka orang fasik, maka putusan itu batal menurut pendapat yang lebih tepat. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan hukumnya tidak batal.
Ketika hukum telah dibatalkan, maka jika hukumnya adalah perusakan, seperti memotong (anggota tubuh) atau hukuman mati, maka imamlah (pemerintah) yang bertanggung jawab, dan jika hukumannya membayar denda/harta, maka jika harta itu masih ada, ia harus mengembalikannya, jika sudah rusak, maka yang menanggung adalah pihak yang memenagkan perkara, dan jika ia tidak mampu, maka hakim yang menanggungnya, kemudian hakim dapat meminta ganti kepada pihak yang memenagkan perkara jika ia sudah mampu.” (At-Tanbih [Beirut: Darul Fikr, t.t] juz I, halaman 273)
Syekh Sulaiman Al-Jamal menjelaskan bahwa hakim yang menetapkan hukuman had atas dasar keterangan saksi yang terbukti tidak ahli, jika itu terjadi sebab kecerobohan hakim karena tidak meneliti para saksi, maka hakim sendirilah yang harus bertanggung jawab. Jika hakim tidak ceroboh dan sudah meneliti saksi, kemudian terjadi kesalahan, maka ganti rugi ditanggung keluarga.
(وَلَوْ حَدَّ) شَخْصًا (بِشَاهِدَيْنِ لَيْسَا أَهْلًا) لِلشَّهَادَةِ … (فَإِنْ قَصَّرَ) فِي الْبَحْثِ عَنْ حَالِهِمَا (فَالضَّمَانُ) بِالْقَوَدِ أَوْ بِالْمَالِ (عَلَيْهِ) … (وَإِلَّا فَـ) الضَّمَانُ بِالْمَالِ (عَلَى عَاقِلَتِهِ)
Artinya: “(Jika pemerintah atau hakim menghukum) seseorang dengan dua orang saksi yang tidak memenuhi syarat untuk memberikan kesaksian, jika dia dianggap ceroboh dalam meneliti kedua saksi, maka hukuman qishash atau harta ditanggung oleh dia sendiri. (Dan jika tidak ada kecerobohan), maka tanggung jawab dalam bentuk uang (ada pada keluarganya).” (Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal [Beirut: Darul Fikir, 2013] juz VIII, halaman 66)
Demikian penjelasan konsekuensi kesalahan hakim menurut fiqih. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam pandangan Islam, keputusan hakim dalam masalah hukum memang mengikat. Meski demikian, jika terjadi kesalahan, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi atas dampak keputusan tersebut. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Khadim Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar.
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
6
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
Terkini
Lihat Semua