Syariah

Merenungi Perjuangan Ibu sebagai Pahlawan Sesungguhnya

Rab, 15 November 2023 | 06:00 WIB

Merenungi Perjuangan Ibu sebagai Pahlawan Sesungguhnya

Ibu dan anak. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Bagi orang yang suka menonton film Marvel, bisa jadi pahlawan bagi mereka adalah avengers, yang bertempur dengan Thanos untuk menyelamatkan bumi. Di kelompok lain, Superman bisa jadi sosok pahlawan yang didambakan. Badan tegap, punya kekuatan yang mematikan. Superman, manusia super yang tidak kenal takut membela yang benar. Dengan baju khasnya, Superman bisa terbang ke sana-ke sini, untuk menyelamatkan manusia yang membutuhkan pertolongan. Superman, imajinasi yang sempurna tentang sosok pahlawan. 


Jelas sekali, setiap orang punya gambaran ideal tentang pahlawan. Kendati banyak imajinasi tentang pahlawan, namun ada titik temu di pelbagai karakter para pahlawan itu, yakni keberanian, pengorbanan, tulus, bermanfaat, dan tanpa pamrih. Pahlawan adalah orang-orang yang memberikan pelayanan dan pengorbanan dan tidak hanya mementingkan diri sendiri. 


Mungkin, inilah yang membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero


Sementara itu, jika kita membuka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan, pahlawan didefinisikan sebagai gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.


Intinya, pahlawan orang yang memberikan manfaat yang besar bagi orang lain, tanpa menginginkan balasan dan jasa atas kebaikan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW;


خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ


Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad)


Namun sosok pahlawan hakiki sangat bisa tergambar dari seorang ibu. Iya, ibu adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan keluarga.  Sosok yang sangat berani. Tidak kenal takut. Tidak kenal lelah. Tidak kenal pamrih. Membesarkan anaknya, dengan kasih dan sayang. Rela tidak makan, asalkan anaknya bisa makan. 

 
Seorang ibu, oleh budaya dan adat istiadat dibebankan tanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak-anaknya. Ibu juga, diberi memiliki tradisi untuk berbakti dan mengabdi pada suami. Ibu juga diberikan beban untuk menjaga keharmonisan keluarga.


Ibu adalah pahlawan yang sebenarnya. Pasalnya, ibu telah mengorbankan banyak hal untuk anak-anaknya. Ibu rela mengandung selama 9 bulan, melahirkan dengan rasa sakit, dan merawat anaknya hingga dewasa. 


Selain itu, ibu juga berperan dalam membentuk karakter anak-anaknya. Ibu mengajarkan anak-anaknya tentang nilai-nilai kehidupan, seperti kejujuran, kebaikan, dan tanggung jawab. Ibu juga mengajarkan anak-anaknya untuk mandiri dan menghadapi tantangan hidup.

 
Yang tak kalah penting, ibu juga rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terlebih bagi, ketika ayah telah tiada (single parent). Ia mencari makan dan menyekolahkan anaknya hingga kelak sarjana, dan sukses dalam meniti karir. 

 
Pendek kata, ibu adalah sumber cinta kasih dan dukungan bagi anak-anaknya. Ibu selalu ada untuk anak-anaknya, baik saat senang maupun saat sedih. Ibu selalu memberikan dukungan dan semangat kepada anak-anaknya untuk mencapai kesuksesan.


Pun, ibu adalah sosok yang menginspirasi anak-anaknya. Ibu mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ibu juga memotivasi anak-anaknya untuk mencapai cita-citanya.


Maka kemudian wajar bila Rasulullah SAW ketika di tanya sahabat tentang siapa orang tempat ia berbakti dan mengabdi, Nabi bersabda "ibu mu" sebanyak tiga kali. Simak hadis Nabi Muhammad berikut:


إنَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ


Artinya: "Sesungguhnya Allah mewasiatkan kepada kalian, untuk berbuat baik kepada ibu kalian sebanyak tiga kali, kemudian Allah berwasiat untuk berbakti ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat.” [HR. Ibnu Majah].


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي قال أمك قال ثم من قال ثم أمك قال ثم من قال ثم أمك قال ثم من قال ثم أبوك 


Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Jarir dari 'Amr bin al-Qa'qa' bin Syabrimah dari Abu Zar'ah dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?" Beliau menjawab, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Kemudian ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Kemudian ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Kemudian ayahmu.


Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Fath al-Bari, Jilid XIII, [Riyad; Dar Nasyar wa at-Tauziq, 2005] halaman 493, bahwa laki-laki yang datang kepada Nabi tersebut bernama Muawiyah bin Hidah, seorang sahabat Nabi Muhammad. 


Kemudian, kenapa ibu disebut tiga kali, baru kemudian ayah dan kerabat lain? Alasannya, karena kesulitan yang dialami ibu, yakni masa kehamilan, kemudian melahirkan, lalu menyusui. Hal tersebut dilakukan oleh ibu secara sendirian dan mengalami kesulitan, kemudian ayah ikut serta dalam pengasuhan.


 وكان ذلك لصعوبة الحمل ثم الوضع ثم الرضاع ، فهذه تنفرد بها الأم وتشقى بها ، ثم تشارك الأب في التربية


Artinya: "Demikian itu karena kesulitan yang dialami [ibu] ketika hamil, kemudian melahirkan, dan menyusui, ini semua dilakukan umi secara sendirian, dan ada pun ayah membantu ketika tahap keempat, yakni pengasuhan."


Pada sisi lain, penghormatan pada ibu dalam Islam, tidak dibatasi waktu, tempat, dan keyakinan. Kendatipun seorang ibu non-Muslim, Islam mengakui jasa besarnya karena telah melahirkan dan membesarkan anaknya. Oleh karena itu, anak tetap berkewajiban untuk menghormatinya.


Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah di tanya Asma’ binti Abu Bakar, apakah ia tetap diperbolehkan berbakti pada ibunya yang masih dalam keadaan musyrik, Nabi bersabda bahwa tetap dianjurkan meskipun orang tuanya berbeda keyakinan dengan anaknya. Nabi bersabda; 


أخبرتني أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنهما قالت أتتني أمي راغبة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم فسألت النبي صلى الله عليه وسلم آصلها قال نعم قال ابن عيينة فأنزل الله تعالى فيها لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين 


Artinya: "Telah mengabarkan kepadaku Asma' binti Abu Bakar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata, "Ibuku datang kepadaku dalam keadaan ingin (bertemu) pada masa Nabi saw. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah, "Apakah aku boleh menyambung silaturahmi dengannya?" Beliau menjawab, "Ya." 


Ibnu Uyainah berkata, "Maka Allah menurunkan Q.S al-Mumtahanah [60] ayat 9, "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama,”.


Untuk itu, mari kita renungi cinta dan kasih pada orang tua, terutama ibu, yang telah berjasa pada hidup kita hingga hari ini. Ibu adalah sosok pahlawan dan bentuk nyata. Jasanya abadi hingga akhir hayat. Sudah seyogianya kita, berbakti dan peduli pada ibu. Pasalnya, itu kewajiban bagi setiap anak, terlepas dari agama yang dianut oleh orang tuanya.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Keislaman, tinggal di Ciputat