Syariah

Nabi Melarang Memvonis Kafir Sesama Umat Islam

Kam, 23 Juli 2020 | 10:00 WIB

Nabi Melarang Memvonis Kafir Sesama Umat Islam

Menurut Imam Malik, andai hanya satu persen potensi keimanan seseorang, maka tetap dihukumi beriman.

Seringkali kita melihat sebagian kelompok Islam dengan mudah memberikan label kafir kepada umat Islam lainnya yang berseberangan, baik dalam hal politik ataupun tradisi dan adat istiadat. Padahal, Nabi telah memberikan pernyataan bahwa sebagian dari dasar keimanan adalah mencegah untuk melabeli kafir sesama Muslim.


حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى نُشْبَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-ثَلاَثَةٌ مِنْ أَصْلِ الإِيمَانِ : الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ تُكَفِّرْهُ بِذَنْبٍ وَلاَ تُخْرِجْهُ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِىَ اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِى الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ وَالإِيمَانُ بِالأَقْدَارِ.


Diriwayatkan dari Sa’id bin Manshur dari Abu Mu’awiyah dari Ja’far bin Burqan dari Yazid bin Abu Nusybah dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada tiga hal yang merupakan bagian dari dasar iman, yakni (1) menjaga lisan dari orang yang telah mengucapkan “Lâ ilâha illallâh”. Jangan mengafirkan mereka sebab suatu dosa serta jangan mengeluarkan mereka dari Islam sebab suatu perbuatan; (2) jihad yang tetap berlaku sejak Allah mengutusku hingga akhir dari umatku membunuh Dajjal. Keberlakuan itu tidak akan gugur sebab kekejaman orang yang jahat dan tidak juga sebab keadilan orang yang adil; (3) dan iman dengan qadar Allah (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).


Sejarah mencatat Rasulullah tidak mengafirkan orang-orang munafik yang telah beberapa kali mendurhakai perintahnya. Sebagaimana ketika kaum munafik yang enggan berperang bersama Nabi dalam perang Uhud, Rasulullah pun tetap menghitungnya sebagai bagian dari umat Islam. Kaum munafik seperti Abdullah bin Ubay dan kelompoknya tidak sedikit pun dicap kafir oleh Rasulullah, meskipun mereka secara terang-terangan menolak seruan untuk berperang membela agama Islam. Sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur’an:


وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ (١٦٦) وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ نَافَقُوا وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ ادْفَعُوا قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْواهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ (١٦٧)


Dan apa yang menimpa kamu ketika terjadi pertempuran di antara dua pasukan adalah dengan izin Allah, dan agar Allah menguj siapa orang yang benar-benar beriman. Dan untuk menguji orang-orang yang munafik, kepada mereka dikatakan, ‘Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)’, Mereka berkata, ‘Sekiranya kami mengetahui bagaimana cara berperang, tentulah kami mengikuti kamu’. Mereka pada hari itu lebih dekat dengan kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak sesuai engan isi hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan” (QS Ali Imran ayat 166-167).


Mengenai ayat ini, Imam Ali bin Ahmad al-Wahidi (w. 468 H) berpendapat dalam tafsirnya yang berjudul al-Basith:


هذه الآية دليل على أن من أتى بكلمة التوحيد لم يكفر، ولم يطلق القول بتكفيره، لأنه تعالى لم يطلق القول بكفرهم مع أنهم كافرين، لإظهارهم القول بلا إله إلا الله محمد رسول الله.


“Ayat ini adalah dalil bahwa orang yang telah membaca kalimat tauhid tidak dapat dikafirkan, dan tidak dapat dimuthlakkan cap kafir kepadanya, karena Allah (dalam ayat ini) tidak memutlakkan cap kafir kepada mereka (kaum munafik) meskipun mereka kufur (dalam hati mereka), karena mereka telah menyatakan “Tidak ada tuhan selain Allah, nabi Muhammad adalah utusan Allah” (Imam Ali bin Ahmad al-Wahidi, Tafsir al-Basith, [Alexandria: Dar Mushawwar al-Arabi], 2013, juz 6 hal. 161). 
 


Kita harus berhati-hati karena Rasulullah ﷺ telah memberikan ketegasan bahwa mengafirkan ataupun melaknat sesama umat Islam adalah sebuah perbuatan yang sangat keji setara dengan membunuh sesama Muslim sebagaimana dalam hadits


حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن ثابت بن الضحاك عن النبي صلى الله عليه و سلم قال من حلف بملة غير الإسلام كاذبا فهو كما قال ومن قتل نفسه بشيء عذب به في نار جهنم ولعن المؤمن كقتله ومن رمى مؤمنا بكفر فهو كقتله.


Diriwayatkan dari Musa bin Ismail dari Wahib dari Ayyub dari Abi Qalabah dari Tsabit bin Dhahhak, Rasulullah Saw bersabda “Barang siapa yang bersumpah dengan sumpah agama selain Islam secara dusta maka ia bagaikan apa yang ia katakan, dan barang siapa yang bunuh diri dengan sesuatu maka ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut di neraka Jahannam, dan barang siapa yang melaknat seorang mukmin maka ia bagaikan orang yang membunuhnya, Dan barang siapa yang menuduh kafir kepada seorang mukmin maka ia bagaikan orang yang membunuhnya (HR al-Bukhari).


Bahkan, tak jarang justru orang yang menuduh kafir kepada sesama umat Islam adalah orang yang terjatuh dalam jurang kekafiran sebagaimana dalam hadits:


حدثنا إسماعيل قال حدثني مالك عن عبد الله بن دينار عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما.


Diriwayatkan dari Issma’il dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw bersabda “Seandainya seseorang  mengatakan “Wahai Kafir” kepada saudaranya, maka tuduhan kafir tersebut akan kembali kepada salah satu di antara keduanya” (HR al-Bukhari)


Mengenai Hadits ini, Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan sebuah komentar dalam kitab Fath al-Bari:


والحاصل أن من أكفر المسلم نظر فان كان بغير تأويل استحق الذم وربما كان هو الكافر وإن كان بتأويل نظر ان كان غير سائغ استحق الذم أيضا ولا يصل إلى الكفربل يبين له وجه خطئه ويزجر بما يليق به


Dan kesimpulannya adalah seseorang yang mengkafirkan seorang Muslim, maka harus diteliti. Apabila ia menuduh tanpa adanya takwil (penjelasan/interpretasi) maka ia pantas mendapatkan celaan dan tak jarang ia sendirilah yang kafir. Dan apabila ia menuduh dengan adanya takwil (penjelasan/interpretasi) maka dipertimbangkan seandainya ia menuduh tanpa alasan yang diperkenankan maka ia pantas mendapatkan celaan, akan tetapi ia tidak sampai derajat kafir. Bahkan, ia harus menunjukkan segi kesalahan orang yang ia tuduhkan kafir serta ia harus menegurnya dengan perbuatan yang pantas. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, [Beirut: Darul Kutub al-Islamiyyah]​​​​​​, 209, juz 16 hal. 198).


Walhasil, kita harus mampu mencari sisi keimanan dari seseorang yang dituduhkan kafir. Karena pada dasarnya keimanan adalah suatu hal yang telah diyakini oleh segenap umat Islam, sedangkan tuduhan kafir adalah sebuah hal baru yang penuh dengan keraguan dan membutuhkan bukti yang jelas. Oleh karena itu, Imam Malik bin Anas—pendiri mazhab Maliki—pernah mengatakan:


من صدر عنه ما يحتمل الكفر من تسعة وتسعين وجها، ويحتمل الإيمان من وجه حمل أمره على الإيمان.


“Barang siapa yang muncul darinya perkara yang kemungkinan menyebabkannya kafir dari 99 sudut pandang, dan ada kemungkinan ia tetap dalam keimanan dari satu sudut pandang, maka ia dihukumi tetap dalam keimanan” (Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, [Beirut: Darul Kutub al-Islamiyyah], 2008, juz.1 hal.150).


Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo