Tafsir

Siapa Orang Kafir pada Awal Surat Al-Baqarah?

Sabtu, 12 Oktober 2019 | 06:45 WIB

Siapa Orang Kafir pada Awal Surat Al-Baqarah?

Ilustrasi: Ibtimes.co.uk

Ketika selesai menjelaskan mengenai sifat dan ciri orang yang bertaqwa di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 1-5, Allah SWT memperingatkan mengenai ahwal orang-orang yang kafir. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 6, Allah SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Artinya, “Sungguh orang-orang yang kafir itu, baik kamu peringatkan atau tidak, mereka tiada akan beriman,” (Surat Al-Baqarah ayat 6).

Mengapa mereka tetap tidak mau beriman meskipun sudah diperingatkan? Allah SWT menjawab dalam ayat berikutnya: 

خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya, “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Demikian pula, Allah memasang penutup atas penglihatan mereka. Bagi mereka adalah adzab yang maha pedih,” (Surat Al-Baqarah ayat 7).

Sekilas ayat ini menyebut bahwa keimanan ternyata memiliki penghalang (al-mawani’). Mawa’ni’ ini disebutkan oleh Allah SWT sebagai khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim (Allah berkehendak untuk mengunci hati mereka dan pendengaran mereka).  As-Sa’dy dalam kitab tafsirnya menjelaskan kondisi ini sebagai:

طبع عليها بطابع لا يدخلها الإيمان, ولا ينفذ فيها، فلا يعون ما ينفعهم, ولا يسمعون ما يفيدهم

Artinya, “Allah mengunci hati mereka dengan kunci yang karenanya iman tidak bisa masuk ke dalam hati dan mengakar ke dalam. Jika sudah demikian, maka tiada sesuatu pun yang bisa memberi manfaat kepada mereka, apa yang mereka dengar tiada bisa memberi faedah kepadanya,” (Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taysirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, [Riyadl, Darus Salam lin Nasyr wat Tauzi’: 2002 M], halaman 31).

At-Thabari menukil riwayat tafsir dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan kaum yang dikunci hatinya dalam ayat ini adalah kaum Yahudi. Ibnu Abbas menjelaskan: 

وكان ابن عباس يرى أنَّ هذه الآية نـزلتْ في اليهود الذين كانوا بنَواحي المدينةِ على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، توبيخًا لهم في جُحودهم نبوَّةَ محمد صلى الله عليه وسلم وتكذيبِهم به, مع علمهم به ومعرفتِهم بأنّه رسولُ الله إليهم وإلى الناس كافّة.

Artinya, “Ibnu Abbas memandang bahwa ayat ini diturunkan atas kaum Yahudi, yaitu orang-orang yang tinggal di seantero Madinah di masa Rasulillah SAW sebagai bentuk penghinaan terhadap mereka disebabkan watak keras kepala (juhud) mereka terhadap kenabian Muhammad SAW, bahkan sikap mereka condong pada mendustakan risalah tersebut, padahal mereka mengetahui bahwa beliau diutus kepada mereka dan untuk manusia seluruhnya,” (Abu Ja’far At-Thabary, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, [Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah: Tanpa Tahun]: juz I, halaman 251).

Lebih tegas lagi, Ibnu Abbas menjelaskan dalam atsar riwayat tafsirnya mengenai pihak yang disinggung di sini, yaitu: 

عن ابن عباس: أن صَدر سورة البقرة إلى المائة منها، نـزل في رجال سَمَّاهم بأعيانهم وأنْسَابهم من أحبار يهود, من المنافقين من الأوس والخزرج. كرهنا تطويل الكتاب بذكر أسمائهم

Artinya, “Dari Ibnu Abbas, sungguh 100 ayat dari Surat Al-Baqarah diturunkan untuk menjelaskan perilaku beberapa orang ternama Yahudi di kalangan mereka sebab kondisi ekonominya dan nasabnya dan termasuk kaum cerdik pandai mereka, namun termasuk kalangan munafiq qabilah Aus dan Khazraj,” (Abu Ja’far At-Thabary, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, [Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah: Tanpa Tahun]: juz I, halaman 251).

Nah, dalam Surat Al-Baqarah ayat 7 ini digambarkan mengenai watak keras kepala mereka tersebut, sebagai yang dikunci mati hati serta pendengarannya, dan pandangan matanya ditutup (wa ‘ala absharihim ghisyawatun).

Ketika sampai pada penafsiran ayat wa ‘ala absharihim ghisyawah (dan pandangan mereka ditutup), Syekh Abdurrahman As-Sa’di lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:

 غشاء وغطاء وأكنة تمنعها عن النظر الذي ينفعهم, وهذه طرق العلم والخير, قد سدت عليهم, فلا مطمع فيهم, ولا خير يرجى عندهم، وإنما منعوا ذلك, وسدت عنهم أبواب الإيمان بسبب كفرهم وجحودهم ومعاندتهم بعد ما تبين لهم الحق كما قال تعالى: { وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ } وهذا عقاب عاجل. ثم ذكر العقاب الآجل، فقال: { وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ } وهو عذاب النار, وسخط الجبار المستمر الدائم

Artinya, “Diselimuti kabut tebal (gasya’), tertutup oleh tabir (ghitha’) dan tertutup oleh keadaan, sehingga menghalanginya dari akses untuk dapat melihat sesuatu yang memberi manfaat. Padahal hati, pendengaran dan pandangan adalah pintu masuknya ilmu dan kebaikan. Namun, pintu-pintu itu telah dibuntu untuk mereka, karenanya tiada lagi harapan bagi mereka, dan tiada kebaikan yang bisa diharapkan dari sisi mereka. Sungguh penyebab terhalangnya mereka dari hal itu semua, dan terbuntu dari pintu keimanan, adalah kekufuruan yang mereka buat dan keras kepala mereka, bahkan sebab pembangkangan mereka setelah jelasnya perkara hak kepada mereka, sebagaimana Firman Allah SWT, ‘Kami balikkan hati mereka dan pandangan mereka sehingga mereka seperti kaum yang tiada beriman di awal kali turunnya wahyu.’ Inilah siksa Allah yang disegerakan. Kemudian Allah menyebutkan siksa yang tidunda atas mereka dengan firman-Nya, “dan bagi mereka kelak azab yang sangat pedih”, yaitu azab neraka, dan dibenci oleh Allah Zat Yang Maha Memaksa secara terus-menerus dan kekal,” (Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taysirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, [Riyadl, Darus Salam lin Nasyr wat Tauzi’: 2002 M], halaman 32).

At-Tanthawi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, ada keistimewaan dalam pilihan kata yang dipergunakan dalam Surat Al-Baqarah ayat 7 ini. Allah SWT membuat pilihan diksi al-khatam (kunci) untuk hati dan pendengaran. Sementara untuk mata digunakan kata ghisyawah (kabut penutup). Menurutnya, bahaya pandangan itu sudah diketahui bersama. Oleh karenanya bila disampaikan kabut penutup pada mata, maka pengertiannya pun juga jelas. Lebih jelasnya, ia menyampaikan:

فالتعبير في جانب العين بالغشاوة مما يحدد لنا مدى عجزهم عن إدراك آيات الله بتلك الجارحة ، وأما القلب والسمع فإنهما لما كانا لا تدرك آفتهما إلا بصعوبة ، فقد صور لنا موانعهما عن الاستجابة للحق بصورة الختم

Artinya, “Istilah yang disandarkan pada mata berupa ghisyawah merupakan istilah yang jatuh mudah ditangkap oleh pemahaman kita bahwa mereka menjadi lemah dalam menangkap pesan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan dengan perantara anggota jasmani ini. Adapun hati dan pendengaran, keduanya tidak mampu menangkap bahaya keduanya kecuali dengan kesulitan. Maka dari itu dapat kita bayangkan bahwa terhalangnya hati dan pendengaran tersebut adalah berupa sulit menerima kebenaran sehingga diumpamakan khatam (terkunci),” (At-Tanthawy, Tafsirut Tanthawy).

Keunikan lain dari ayat khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala absharihim ghisyawah ada pada pemakaian jumlah dari keduanya. Ayat khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim, disampaikan dengan menggunakan jumlah fi’liyah (struktur verba), sementara wa ‘ala absharihim ghisyawah disampaikan dalam bentuk jumlah ismiyah (struktur nomina). Penggunaan struktur yang berbeda ini memiliki maksud yang berbeda pula.

Jumlah fi’liyah yang dilekatkan pada qalbu dan pendengaran memiliki faidah at-tajaddud wa al-huduts (kejadian yang baru dan diciptakan). Sementara jumlah ismiyyah yang dilekatkan pada abshar berfaidah menyatakan at-tsabat wal istiqrar (tetap dan senantiasa terjadi). Dengan mencermati pada faidah ini, At-Tanthawi menyampaikan penafsirannya sebagai berikut:

لأنهم قبل الرسالة ما كانوا يسمعون صوت نذير، ولا يواجهون بحجة ، وإنما كان صوت النذير وصياغة البراهين بعد ظهور النبي صلى الله عليه وسلم . وأما ما يدرك بالبصر من دلائل وجود الله وآيات قدرته ، فقد كان قائماً في السماوات وفي الأرض وفي الأنفس ، ويصح أن يدرك قبل الرسالة النبوية ، وأن يستدل به المتبصرون والمتدبرون على وجود ربهم وحكمته ، فلم يكن عماهم عن آيات الله القائمة حادثاً متجدداً ، بل هم قد صحبهم العمى من بدء وجودهم ، فلما دعوا إلى التبصر والتدبر صمموا على ما كانوا عليه من عمى

Artinya, “Sungguh mereka tiada pernah mendengar suara peringatan sebelum risalah Nabi SAW, dan tidak pernah adu hujjah. Pendengaran mereka atas suara peringatan dan bukti-bukti petunjuk adalah hanya setelah pengutusan Nabi SAW. Adapun bukti yang bisa ditangkap oleh pandangan berupa dalil-dalil petunjuk adanya Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, maka hal itu semua telah tersedia di langit dan di bumi serta pada diri mereka. Mereka bisa menangkap tanda-tanda itu dengan pandangan meski sebelum risalah kenabian, berbekal pencarian petunjuknya kaum ahli meneliti dan memanfaatkan angan-angan mereka atas keberadaan wujud Allah, Tuhan mereka, serta pencarian hikmah. Oleh karena itu pula, sifat buta pandangan mereka terhadap ayat-ayat Allah, adalah bukan sesuatu yang bersifat baru terjadi, melainkan karena bertemannya mereka dengan orang yang membutakan pandangan sejak diciptakannya mereka ke dunia. Maka dari itu pula, ketika mereka diajak untuk menggunakan pandangan dan angan-angan mereka, mereka menulikan diri dengan tetap mengikuti pandangan-pandangan kaum yang tidak memanfaatkan anugerah pandangan,” (At-Tanthawy, Tafsirut Tanthawy).

Dengan kata lain, dengan mencermati faidah jumlah fi’liyah dan ismiyyah tersebut, dapat ditangkap makna bahwa hakikatnya manusia dari sisi fitrahnya adalah fitrah ketuhanan. Maksudnya, dalam diri mereka sudah dikaruniai bekal pandangan yang dapat dimanfaatkan untuk menangkap pesan keberadaan Tuhan, meski pun belum ditemui adanya risalah. Itulah sebabnya, pandangan disampaikan dalam jumlah ismiyyah yang berfaedah tsubut dan istiqrar dan berbeda dengan pemakaian jumlah fi’liyah pada hati dan pendengaran. Petunjuk hati dan pendengaran adalah setelah risalah, namun untuk mata, ia mampu menangkap petunjuk sebelum risalah.

Adanya sekelompok kaum Yahudi tidak dapat menangkap petunjuk tersebut adalah disebabkan karena lingkungan mereka yang tidak mau menggunakan pandangan dan angan-angannya tersebut. Bagi mereka yang tidak mau menggunakan potensi hati, pendengaran dan pandangan ini kelak oleh Allah akan diazab dengan azab yang teramat pedih di akhirat. Wallahu a’lam bis shawab.
 
 
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah–Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur