Syariah

Pandangan Islam soal Orang Tua yang Memaksakan Jodoh Anaknya

Sen, 20 Mei 2024 | 18:00 WIB

Pandangan Islam soal Orang Tua yang Memaksakan Jodoh Anaknya

Ilustrasi pernikahan. (Foto: NU Online/Freepik)

Kebebasan seorang anak dalam memilih calon pasangan merupakan topik yang kompleks dan sensitif. Islam sendiri sebagai agama yang universal memberikan kebebasan untuk memilih calon yang dicinta, sepanjang masih dinilai kafa’ah atau memiliki kesetaraan antara kondisi suami dengan kondisi istri perspektif syariat Islam (fiqih). 

 

Sayangnya, kebebasan itu terkadang masih sebatas angan-angan. Karena faktanya, tidak sedikit anak yang masih dihantui oleh bayang-bayang perjodohan dengan paksa yang dihasilkan oleh kesepakatan orang tua tanpa melibatkan anaknya. Hal ini terkadang menjadi pernikahan yang kurang harmonis, bahkan sampai terjadi perceraian, meski tentu banyak juga yang cocok dan akhirnya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

 

Lantas, bagaimana pandangan Islam perihal hukum orang tua memaksakan kehendak pada anak, khususnya dalam hal perjodohan? Apakah seorang anak memiliki kewajiban untuk menuruti kehendak orang tua sehingga akan durhaka jika menolaknya?

 

Merujuk penjelasan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam salah satu kitabnya, bahwa orang tua tidak boleh memaksa anaknya menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan. Sebab, kebanyakan dari pernikahan yang dihasilkan karena paksaan menjadi musibah besar dalam sebuah rumah tangga, dan ujung-ujungnya hanyalah perceraian bukan keharmonisan dan kasih sayang. Selain itu, Islam sangat tidak membenarkan adanya praktik seperti ini. Dalam kitabnya disebutkan:

 

لاَ يَجُوْزُ إِكْرَاهُ الْبَالِغَةِ عَلىَ النِّكَاحِ: بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا. وَكَمْ لِلْإِكْرَاهِ مِنْ بَلاَيَا وَنَكبَاتٍ وَعَوَاقِبَ وَخيمَةٍ، إِنَّ الْاِسْلاَمَ يَأْبَاهُ كُلَّ الْإِبَاءِ

 

Artinya, “Tidak boleh memaksa wanita yang sudah baligh untuk menikah, baik yang masih gadis maupun yang sudah janda. Betapa banyak pemaksaan hanya menimbulkan petaka, bencana, rintangan dan keburukan. Sungguh Islam menolaknya dengan benar-benar menolak.” (Sayyid Muhammad, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, [Makah al-Mukarramah: 1423], halaman 66).

 

Pendapat Sayyid Muhammad di atas berdasar pada salah satu hadits Nabi Muhammad perihal seorang wanita yang dijodohkan dengan paksa oleh orang tuanya. Dalam kisahnya, suatu saat datanglah seorang wanita kepada Rasulullah untuk menceritakan kejadian yang ia alami, sayangnya saat itu Rasulullah tidak ada di rumahnya, dan ia hanya ditemui oleh Sayyidah Aisyah.

 

Akhirnya ia bercerita kepada Aisyah bahwa dirinya telah dijodohkan secara paksa oleh ayahnya dengan anak saudaranya yang tidak ia cinta. Tujuan dari pernikahan ini adalah untuk mengangkat derajatnya melalui pernikahan tersebut. Setelah Sayyidah Aisyah mendengar kejadian itu, ia lantas menyuruhnya untuk duduk sambil menunggu kedatangan Rasulullah. 

 

Setelah Rasulullah datang dan mendengar kisah tersebut, akhirnya Nabi memanggil ayahnya, kemudian menyerahkan urusan tersebut kepada sang wanita. Dalam riwayatnya disebutkan:

 

فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ أَلِلنِّسَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

 

Artinya, “Kemudian Rasulullah datang, dan Aisyah menceritakan kepadanya. Lalu Rasulullah mengirim utusan kepada ayahnya dan memanggilnya, kemudian menjadikan urusannya kepada wanita tersebut. Maka wanita itu berkata: wahai Rasulullah, aku telah menerima putusan ayahku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita tahu, benarkah wanita memiliki hak dalam menentukan sesuatu (memilih pasangan).” (HR an-Nasa’i).

 

Dengan demikian, maka riwayat di atas menjadi sebuah dalil bahwa orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam pernikahan anaknya. Seorang anak memiliki kebebasan mutlak untuk menikah dengan pasangan yang ia cinta. Ia tidak boleh dipaksa untuk menikah dengan pilihan orang tuanya. Islam menolak dengan adanya paksaan dalam pernikahan.

 

Senada dengan pendapat di atas adalah pendapat Syekh Musthafa as-Suyuthi ar-Rahibani dalam salah satu kitabnya, ia mengatakan bahwa orang tua tidak memiliki hak untuk memaksa anaknya menikah dengan orang yang menjadi pilihan orang tuanya. Bahkan, tidak termasuk durhaka andaikan anak menolak terhadap pemaksaan tersebut. Dalam kitabnya ia mengatakan:

 

وَلَيْسَ لِوَالِدَيْهِ إلْزَامُهُ بِنِكَاحِ مَنْ لَا يُرِيدُ نِكَاحَهَا لِعَدَمِ حُصُولِ الْغَرَضِ بِهَا، فَلَا يَكُونُ عَاقًّا بِمُخَالَفَتِهِمَا ذَلِكَ

 

Artinya, “Tidak boleh bagi kedua orang tua memaksa anaknya agar menikah dengan orang yang tidak ia kehendaki, karena tidak akan tercapai tujuan dengannya, sehingga ia (anak) tidak termasuk durhaka andaikan menolak keduanya dalam hal itu (pernikahan).” (Syekh Musthafa ar-Rahibani, Mathalibu Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, [Damaskus, Maktab al-Islami: 1961], juz V, halaman 90).

 

Selain beberapa pendapat di atas, salah seorang ulama terkemuka abad ini, yaitu Syekh Ali Jum’ah juga sepakat dengan pendapat di atas. Dalam pandangannya, seorang anak laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menentukan masa depannya menikah dengan siapa, dan orang tua sama sekali tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam hal itu.

 

Dalam konteks ini, orang tua hanya diperbolehkan memberikan nasihat, arahan dan pendapat. Selebihnya ia tidak boleh memaksa,

 

فَدَوْرُ الْوَالِدَيْنِ فِي تَزْوِيْجِ أَوْلاَدِهِمَا يَتَمَثَّلُ فِي النُّصْحِ وَالتَّوْجِيْهِ وَالْاِرْشَادِ وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُمَا أَنْ يُجْبِرَ أَوْلاَدَهُمَا ذُكُوْرًا كَانَ أَوْ اِنَاثًا عَلىَ زَوَاجٍ لَا يَرْضَوْنَهُ

 

Artinya, “Maka peran kedua orang tua dalam pernikahan anaknya hanya sebatas nasihat, bimbingan dan arahan, namun tidak boleh bagi keduanya untuk memaksa anaknya; baik yang laki-laki maupun perempuan untuk menikahi orang yang tidak ia senangi.” (Syekh Ali Jum’ah, Al-Bayan lima Yusyghilul Azhan, [Mesir, Darul Maqtom: 2005], juz I, halaman 68).

 

Lebih lanjut, Syekh Ali Jum’ah juga menegaskan bahwa pernikahan dibangun atas dasar kebebasan. Seorang anak bebas untuk menentukan menikah dengan siapa, bukan dibangun atas dasar tekanan dan paksaan. Pernikahan yang dilakukan atas dasar paksaan pada hakikatnya bertentangan dengan tujuan utama nikah, yaitu membangun keluarga yang harmonis guna meraih sakinah mawaddah wa rahmah. Karena itu, ia menilai pemaksaan orang tua dalam hal ini hukumnya haram,

 

إِنَّ إِجْبَارَ أَحَدِ الْوَالِدَيْنِ إِبْنَتَهُ عَلىَ الزَّوَاجِ بِمَنْ لَا تُرِيْدُ مُحَرَّمٌ شَرْعًا لِأَنَّهُ ظُلْمٌ وَتَعْد عَلىَ حُقُوْقِ الْأَخَرِيْنَ

 

Artinya, “Sungguh pemaksaan salah satu orang tua kepada putrinya untuk menikah dengan orang yang tidak ia inginkan adalah diharamkan menurut syariat, karena hal itu adalah perbuatan zalim dan melewati batas pada hak-hak orang lain.” (Syekh Ali Jum’ah, Al-Bayan lima Yusyghilul Azhan..., halaman 69).

 

Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang tua tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya, terkhusus dalam memaksa untuk menikahkan dengan calon pilihan orang tuanya. Sebab dalam konteks ini, seorang anak memiliki kebebasan untuk memilih calon suami atau istri sesuai dengan pilihan hatinya.

 

Toh, andaikan pilihan anak tersebut tidak cocok dengan keinginan orang tua, maka ia hanya memiliki hak untuk memberikan nasihat, bimbingan dan arahan-arahan. Selebihnya ia tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya. Islam juga menolak adanya praktik-praktik semacam ini, karena akan menimbulkan petaka dan musibah yang besar. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.