Syariah

Ragam Kontekstualisasi Penerapan Hukuman Qishash dan Hudud di Masa Kini

NU Online  ·  Rabu, 6 Agustus 2025 | 13:00 WIB

Ragam Kontekstualisasi Penerapan Hukuman Qishash dan Hudud di Masa Kini

Ilustrasi hukuman penjara. Sumber: Canva/NU Online.

Islam adalah agama yang lentur dan relevan sepanjang zaman. Ia tidak menetapkan bentuk baku sistem kenegaraan, tetapi memberikan prinsip-prinsip dasar yang dapat diterapkan sesuai konteks zaman dan masyarakat.

 

Meski bentuk hukuman di Indonesia kini berbeda dari yang dijelaskan dalam kitab-kitab klasik, nilai-nilai dasar Islam masih tercermin di dalamnya. Ini menjadi pengingat bahwa esensi ajaran Islam tetap hidup, meskipun dalam bentuk yang berbeda.


Contoh Jenis Hukuman Masa Klasik

Sebelum mengetahui pandangan ulama kontemporer mengenai analogi hukuman masa sekarang dengan masa klasik, alangkah baiknya penulis paparkan terlebih dahulu contoh jenis hukuman yang berlaku di masa klasik.


Ambil saja contoh penerapan hukuman qishas dalam kasus pembunuhan. Dalam kitab Tarikhut Tasyri’ al-Islami, Syekh Khudhari Beik menjelaskan bahwa pada masa lalu, qishas sudah dikenal dalam tradisi bangsa Arab, dan pelaksanaannya diatur oleh adat dan kebiasaan yang berlaku saat itu. 


Dalam sistem tersebut, seluruh anggota kabilah bertanggung jawab atas tindak pidana (jinayat) yang dilakukan oleh salah satu anggotanya, kecuali jika kabilah tersebut menyatakan secara terbuka bahwa mereka menyerahkan pelaku dan menebusnya di hadapan masyarakat.


Karena itu, kata Syekh Khudhari, sangat jarang terjadi qishas dijatuhkan langsung kepada pelaku kejahatan. Apalagi jika pelakunya adalah orang terpandang atau memiliki kedudukan tinggi dalam kaumnya. Biasanya, keluarga korban akan menuntut lebih dari sekadar qishas, bahkan hingga menimbulkan konflik besar, yang kadang berujung pada perang antar suku. Sebaliknya, suku pelaku kejahatan pun cenderung akan melindunginya.


Situasi seperti ini sering menimbulkan dampak buruk berupa pertikaian berkepanjangan. Maka datanglah Al-Qur'an untuk menetapkan batas yang jelas: dalam qishas, tanggung jawab dibebankan hanya kepada pelaku tindak pidana itu sendiri, bukan kepada seluruh sukunya. (Syekh Khudhari Beik, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami, hlm. 76)


Para ulama sepakat bahwa membunuh dengan tanpa alasan yang dibenarkan syariat hukumnya haram. Banyak dalil yang menerangkan keharaman ini. Salah satunya adalah hadits Nabi Muhammad saw. berikut:


لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث: الثيب الزاني، والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة

Artinya: “Tidaklah halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali disebabkan oleh satu dari tiga sebab: orang muhshan (yang pernah menikah secara sah) yang berzina, dihukum bunuh (qishash) karena membunuh, dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jamaah’.” (HR. Bukhari: 6878 dan Muslim: 1676).


Dari hadits di atas, bisa kita pahami bahwa pada pelaksanaan hukuman (hudud), tindakan pembunuhan dibenarkan jika sudah ada putusan dari pengadilan bahwa yang bersangkutan terbukti bersalah dan divonis hukuman mati.


Syariat Islam membuat kategorisasi pembunuhan menjadi 3 kategori, yakni: sengaja, serupa sengaja dan tidak sengaja. Dalam kitab Ghayah wat Taqrib disebutkan:


الْقَتْل على ثَلَاثَة أضْرب عمد مَحْض وَخطأ مَحْض وَعمد خطأ


Artinya: “Pembunuhan ada tiga kategori: murni sengaja (‘amdul mahdh), murni ketidaksengajaan (khatha’ mahdh), dan serupa sengaja (‘amdul khatha`).” (Syekh Abi Syuja’, Ghayah wat Taqrib, [tanpa kota terbit, ‘Alimul Kitab: tt], hlm. 37)


Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fathul Qarib-nya memberikan contoh ketiganya sebagai berikut:

  1. Jika seseorang sengaja membunuh orang lain dengan media yang secara umum bisa mematikan maka disebut sebagai murni kesengajaan;
  2. Jika seseorang semisal menembak burung namun meleset malah mengenai manusia, maka disebut murni ketidaksengajaan. 
  3. Jika seseorang sengaja mengenai orang lain, namun dengan media yang umumnya tidak mematikan namun nyatanya terjadi pembunuhan semisal memukul dengan pukulan yang ringan dan tidak bertubi-tubi, namun ternyata korban mati, maka dikategorikan sebagai serupa sengaja. (Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 268)


Di sisi lain, konsekuensi dari beberapa kasus pembunuhan di atas adalah sebagai berikut:

1. Murni sengaja (‘amdul mahdh): sang pelaku wajib di-qishash atau balas dibunuh jika keluarga korban tidak mengampuni. Namun apabila keluarga korban mengampuni, maka hukumannya bisa beralih menjadi diyat mughalladzah atau denda yang diperberat. 


Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi SAW berikut:


مَنْ قُتلَ له قَتيلٌ فهُوَ بخِير النظَرَيْنِ: إمَّا أنْ يَقْتُلَ وَإمَّا أنْ يَدِيَ


Artinya: “Barangsiapa yang membunuh seseorang, ia mempunyai dua pilihan: membunuh atau membayar diyat.” (HR. Al-Bukhari: 112)


Rinciannya adalah sebagai berikut: 

  • Berupa 100 ekor unta dengan rincian 30 unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 khilfah;
  • Diyat tersebut diambilkan dari harta pelaku; dan
  • Dibayarkan secara kontan.

2. Murni ketidaksengajaan (khatha’ mahdh): tidak ada kewajiban qishash bagi orang yang melempar, akan tetapi ia wajib membayar diyat mukhaffafah (yang diringankan) yang dibebankan kepada ahli waris ashabah si pelaku dengan cara ditempo selama tiga tahun. Setiap satu tahun dari masa itu diambil kira-kira sepertiga dari seluruh diyat.


Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi saw yang berbunyi:

اقْتَتلتْ امرَأتَان مِنْ هَذَيْل، فرَمتْ إحداهما الأخْرَى بحجَر فَقتلَتْهَا وَما فَي بطنِها، فَاختَصَمْوا إلى رسولِ الله ﷺ، فَقَضىَ أن ديَةَ جَنِينهَا غرة عَبْدٌ أوْ وَلِيًدة، وَقضَى بِدِيةِ المرأةِ عَلى عًاقلَتِهَا


Artinya: “Dua orang wanita dari suku Huzail saling berkelahi. Salah satunya melempar batu ke yang lain, membunuhnya beserta janin di dalam kandungannya. Mereka kemudian mengadukan masalah ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah kemudian memutuskan bahwa diyat (denda) untuk janinnya adalah "ghurrah", yaitu seorang budak laki-laki atau budak perempuan. Beliau juga memutuskan bahwa diyat untuk wanita yang meninggal dibebankan kepada "aqilah" (keluarga besar pihak wanita yang membunuh).” (HR. Al-Bukhari: 6512)


3. Serupa sengaja (‘amdul khatha`): tidak ada kewajiban had atas si pelaku, akan tetapi wajib membayar diyat mughalladhah (diberatkan) yang dibebankan kepada waris ‘aqilah (ahli waris ashabah si pelaku, bukan orang tua atau anak-anaknya si pelaku) dengan cara diangsur selama tiga tahun. (Fathul Qarib Al-Mujib, hlm. 267-268)


Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi SAW yang berbunyi:

 

قتِيلُ الْخَطَإ شِبْهِ العمْد قَتِيل السوْطِ والعصا، مائَةٌ - في رواية: فيه مائة - منَ الإبِلَ: أربعَونَ مِنهَا خَلِفَةً في بُطُونِهَا أولادُها

 

Artinya: "Orang yang terbunuh karena kesalahan yang menyerupai kesengajaan, yaitu dengan cambuk dan tongkat, maka diyatnya adalah seratus ekor unta. Di antara seratus ekor unta tersebut, empat puluh ekor di antaranya adalah unta yang sedang hamil." (HR. Ibnu Majah: 2627)


Pandangan Ulama tentang Analogi Hukuman Klasik dan Modern

Menarik kiranya, kita telisik lebih dalam pandangan para ulama kontemporer dalam menganalogikan berbagai jenis hukuman yang ditetapkan pada masa sekarang dengan hukuman yang ada pada masa klasik.

 

1. Pendekatan Moderat Melalui Maqashidusy Syari'ah

Pandangan ini tidak menolak jenis hukuman yang ada pada masa klasik, tetapi menekankan pentingnya memahami tujuan utama syariat (maqashidusy syari'ah) di baliknya. Cendekiawan yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tujuan utama dari hukum pidana Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan publik, yakni melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.


Menurut pendekatan ini, jika penerapan hukuman klasik di era modern justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar atau bertentangan dengan prinsip keadilan yang universal, maka hukuman tersebut bisa diganti dengan hukuman lain yang lebih relevan dan mencapai tujuan syariat. Mereka menganggap hukuman modern seperti penjara, denda, atau rehabilitasi sebagai bentuk dari hukuman ta'zir (hukuman yang ditentukan oleh hakim) yang sah dan efektif.


Pendapat ini salah satunya muncul dari Jasser Auda (tokoh maqashid kontemporer). Dalam karyanya yang berjudul, Maqasid al-Shari'ah as Philosophy of Islamic Law, ia menganalisis tujuan hukum Islam dari sudut pandang sistemik. Ia berargumen bahwa hukuman had adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan keadilan, tetapi bukan satu-satunya cara. Jika ada cara lain yang lebih adil dan efektif dalam konteks modern, maka cara tersebut bisa dipertimbangkan (Jasser Auda, Maqasid al-Shari'ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, [London, The International Institute of Islamic Thought: 2008], hlm. 182-185).


2. Pendekatan Penerapan Hukuman sesuai Kadar Kemampuan

Pandangan ini meyakini bahwa hukum-hukum yang bersumber dari al-Qur'an atau syariat yang belum bisa dilakukan, tidak boleh diubah atau bahkan ditinggalkan, karena ia adalah pesan dari Allah. Kewajiban kita adalah berusaha menerapkannya semampunya, mulai dari diri sendiri, keluarga, orang-orang terdekat, hingga orang yang menjadi tanggungan kita.


Pendapat ini salah satunya muncul dari KH. Maimun Zubair dalam karyanya yang berjudul Al-‘Ulama’ Al-Mujaddidun, yang mengatakan bahwa hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an atau syariat yang belum mampu untuk diamalkan, tetap pada koridor haram untuk diganti dan dirubah. Beliau memaparkan, 


اعلم أن أحكام القرآن لا تنسخ بعد وفاة رسول الله مع العلم بأنّ بعضها لم يستطع المسلمون العمل به، مثل عتق الرقبة في كفارة القتل الخطاء وكفارة الظهار وكفارة اليمين


Artinya: “Penting diketahui, hukum-hukum di dalam al-Qur’an tidak dapat dihapuskan setelah wafatnya Rasulullah SAW, walaupun kita tahu bahwa umat Islam di zaman sekarang sudah tidak bisa lagi menjalankan sebagian hukum-hukum tersebut. Seperti halnya memerdekakan budak atau hamba sahaya, yang dapat kita temukan dalam pembahasan hukum kafarat pembunuhan tanpa sengaja, kafarat zihar, dan kafarat melanggar sumpah.” (KH. Maimoen Zubair, Al-‘Ulama’ Al-Mujaddidun, [Sarang, LTN Ponpes Al-Anwar: tt], hlm. 11)


Menurut Mbah Moen (panggilan akrab beliau), jika ada hukum-hukum syariat yang tidak mampu diterapkan, maka kita tidak boleh menggantinya dan merevisinya, apalagi dengan mengatasnamakan ijtihad dan istinbat. 


Di sisi lain, perkara yang wajib bagi kita adalah melaksanakan hukum-hukum tersebut semaksimal mungkin sesuai kadar kemampuan kita, keluarga, pelayan, dan orang yang menjadi tanggungan kita. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh beliau:


وانما الواجب علينا تجاهها العمل بما امكن في حدود انفسنا واسرنا واهلينا وخدمنا ومن تحت رعايتنا


Artinya: “Adapun yang wajib bagi kita adalah melakukan hukum-hukum tersebut semaksimal mungkin sesuai kadar kemampuan kita, keluarga, pelayan, dan orang yang menjadi tanggungan kita.” (Al-‘Ulama’ Al-Mujaddidun, hlm. 13-14).


Selain itu, Kiai Maimun Zubair juga menjelaskan bahwa ketidakmampuan ini harus selalu dibarengi dengan pertobatan, rasa sesal atas belum diterapkannya hukum-hukum klasik tersebut, dan juga bersabar serta tetap berusaha untuk menerapkan hukum sesuai dengan syariat. Namun, tetap dengan syarat tidak terdapat mudarat lebih besar yang terjadi, seperti perpecahan, peperangan, dan lain sebagainya (Al-‘Ulama’ Al-Mujaddidun, hlm. 13-14)


Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pandangan utama dalam menyikapi penerapan hukum Islam klasik di era modern: pendekatan moderat (maqashidusy syari'ah) dan pendekatan penerapan sesuai kemampuan.


Pendekatan moderat menekankan bahwa tujuan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan. Jika hukuman klasik seperti hudud dinilai menimbulkan kerusakan atau ketidakadilan di masa kini, maka dapat diganti dengan bentuk hukuman lain yang lebih relevan, seperti penjara, denda, atau rehabilitasi.


Sementara itu, pendekatan penerapan sesuai kemampuan meyakini bahwa hukum Islam tetap harus dipertahankan. Jika sulit diterapkan, umat Islam tetap wajib berusaha semampunya tanpa menggantinya, kecuali jika terbukti menimbulkan bahaya yang lebih besar. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.