Syariah

Penjelasan Umum tentang Kafarat, Fidyah, dan Dam (1)

Kam, 9 Mei 2019 | 06:20 WIB

Penjelasan Umum tentang Kafarat, Fidyah, dan Dam (1)

(Foto: @steemet.com)

Secara bahasa, kaffârah (Arab)—sebagian kita mengenalnya dengan istilah kifârah atau kifarat—berasal dari kata kafran yang berarti ‘menutupi’. Maksud ‘menutupi’ di sana adalah menutupi dosa.

Makna itu kemudian dipergunakan untuk makna lain, bahkan untuk makna yang berseberangan, termasuk makna perbuatan yang tak sengaja, seperti kesalahan dalam membunuh, sebagaimana dikemukakan dalam Tahrîru Alfâzhit Tanbîh karya Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi (wafat 676 H) [Damaskus, Darul Qalam: 1408 H], cetakan pertama, jilid I, halaman 125).

Mayoritas ahli bahasa menyebut, kata "kaffarah" juga masih satu rumpun dengan kata "kufur" atau "kufrun" karena kesamaan makna, yakni "menutupi," hanya saja berkonotasi negatif. Maksud ‘menutupi’ di sini adalah menutupi hak yang semestinya diperlihatkan.

Kata kufur ini juga sering disandingkan dengan kata nikmat, yang berarti menutupi nikmat Allah dengan tidak menysukurinya. Namun, kufur yang paling besar adalah menutupi atau menentang keesaan Allah, kenabian, dan syariat. Demikian menurut menurut Syekh Zainuddin Al-Manawi dalam At-Tauqîf ‘alâ Muhimmâtit Ta‘ârîf, (Kairo, ‘Alamul Kutub: 1990 M], cetakan pertama, jilid I, halaman 282). 

Lebih populer, istilah kaffarah atau kafarat lebih dikenal sebagai penebus kesalahan, sanksi, atau denda atas pelanggaran yang dilakukan. (Lihat A Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, [Surabaya, Pustaka Progresif: 2002 M], cetakan ke-25, halaman 1218). Kemudian, jika dilihat dari hakikatnya, kafarat hanya berhubungan dengan hak Allah sehingga harus dibedakan dengan diat yang merupakan hak sesama makhluk, antara lain hak keluarga korban pembunuhan.

Adapun fidyah adalah harta tebusan yang dipersembahkan karena Allah akibat kelalaian dalam beribadah, sebagai kafarat atas kelalaian dalam ibadah tersebut. Contoh dari kafarat ibadah puasa, bercukur, atau mengenakan pakaian yang dijahit saat ihram. Lihat Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu‘jamul Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu‘ashirah, [Kairo, ‘Alamu Kutub: 2008 M], cetakan pertama, jilid II, halaman 1682).

Secara umum, fidyah terbagi atas dua, ada yang berupa takaran mud dan ada yang berupa dam. Fidyah yang berupa mud di antaranya adalah fidyah puasa orang tua, fidyah karena mengakhirkan qadha, mencabut satu helai rambut saat ihram, memotong satu kuku. Sedangkan fidyah yang berupa dam antara lain karena berburu hewan Tanah Haram, karena bersenggama saat ihram, mencukur rambut, mengenakan wewangian, memakai pakaian dijahit, memotong kuku, meninggalkan ihram dari miqat, menebang pohon Tanah Haram, meninggalkan thawaf qudum dan thawaf wada‘, dam tamattu dan qiran.

Dengan demikian, fidyah adalah harta tebusan yang menjadi turunan dari kafarat. Sedangkan dam adalah turunan dari fidyah atau bentuk dari kafarat akibat pelanggaran dalam ibadah haji.

Selanjutnya, Syekh Ahmad bin Ahmad Al-Mahamili dalam Al-Lubab fîl Fiqhis Syâfi‘i (Madinah, Darul Bukhari: 1416 H], terbitan pertama, halaman 184) menyebutkan bahwa secara umum kafarat ada empat: (1) kafarat zhihar, (2) kafarat hubungan badan di bulan Ramadhan, (3) kafarat pembunuhan, dan (4) kifarat yamin. 

Itulah keempat jenis kafarat yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad bin Ahmad. Hanya saja, dalam beberapa kitab yang lain, yaitu Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzab, ada jenis kafarat yang kelima, yakni kafarat haji. Ini artinya, terdapat perbedaan dalam memandang kafarat haji.

Perbedaan ini, salah satunya, disebabkan karena pelanggaran dalam ibadah haji oleh sebagian ulama tidak disebut sebagai kafarat, melainkan sebagai dam atau fidyah. Dengan kata lain, dam merupakan bentuk kafarat dalam pelanggaran ibadah haji sehingga dalam penggunaannya bisa saling menggantikan. 

Bentuk kafarat sendiri bisa dengan memerdekakan budak, berpuasa, atau memberi makan orang miskin. Dalam praktiknya, ada kafarat yang harus berurutan, ada yang boleh dipilih salah satunya sebagaimana petikan berikut:

وَيَدْخُلُ الْعِتْقُ بِهَا فِي نَوْعَيْنِ الْأَوَّلُ الْكَفَّارَةُ تَرْتِيبًا بِنَصْبِهِ تَمْيِيزًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الظِّهَارِ وَالْقَتْلِ وَالْجِمَاعِ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ  وَالثَّانِي  الْكَفَّارَةُ  تَخْيِيرًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ 

Artinya, “Masuknya memerdekakan budak ke dalam kafarat terbagi menjadi dua keadaan. Pertama, ke dalam kafarat yang harus dilakukan berurutan dan dibedakan pelaksanaannya, yakni kafarat zhihar, kafarat pembunuhan, dan kafarat hubungan badan sengaja di siang hari. Kedua, masuk ke dalam kafarat yang boleh dipilih, yakni kafarat yamin (sumpah),” (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, [Tanpa catatan kota, Darul Kitab Al-Islami], tanpa tahun, jilid III, mulai dari halaman 362).

Pertama, kafarat zhihar. Kata zhihar sendiri diambil dari kata zhahr yang berarti ‘punggung’. Kemudian, istilah ini dipergunakan ketika ada seorang suami menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibunya, seperti mengatakan, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku.” Hanya bagian tubuh punggung yang disamakan, bukan yang lain, sebab hanya bagian itu yang biasa dipakai menggendong. Hukumnya haram dilakukan berdasarkan ayat yang artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2).

Pada zaman Jahiliyyah, zhihar menjadi cara menceraikan istri seperti halnya ilâ. Namun, setelah Islam datang, hukumnya diharamkan dan pelakunya terkena kafarat jika ingin menarik kembali ucapannya berdasarkan lanjutan ayat di atas, “Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2).

يَحْرُمُ بِوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ لَهُ  وَطْءٌ مِنْ الْمُظَاهِرِ  حَتَّى يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ أَوْ غَيْرِهِ

Artinya, “Dengan adanya kewajiban kafarat, haram bagi suami yang melakukan zhihar berhubungan badan sampak zhiharnya ditutupi atau dikafarati dengan memberi makanan atau yang lainnya,”  (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, [tanpa kota, Darul Kitab Al-Islami: tanpa tahun], jilid II, mulai dari halaman 360). 

Adapun kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak perempuan mukmin yang normal tanpa cacat. Jika tidak mampu, seseorang harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada enam puluh orang miskin, masing-masing satu mud, berdasarkan ayat berikut, “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2-4).

Berbeda dengan kafarat yang lain, kafarat zhihar tidak memberi pilihan. Artinya, ketiga bentuk kafaratnya harus ditempuh sesuai urutan dan kemampuan, sebagaimana di atas. Wallahu ‘alam. (bersambung…)


Ustadz M Tatam Wijaya,  Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin Jayagiri, Sukanegara, Cianjur, Jawa Barat.