Syariah

Peringatan bagi Petugas Pemilu yang Curang dalam Syariat Islam

Sel, 13 Februari 2024 | 08:45 WIB

Bangsa Indonesia sebentar lagi akan mengadakan pesta demokrasi pemilihan umum serentak pada 14 Februari 2024. Calon yang akan dipilih nantinya adalah calon presiden dan wakil presiden, calon DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota, dan dan calon DPD RI.

 

Lewat Pemilu ini diharapkan akan terpilih sosok-sosok pemimpin terbaik bangsa yang akan membawa kemajuan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkannya, bangsa Indonesia mempunyai pedoman dasar pemilihan umum yang disebut dengan asas pemilu yakni Luber-Jurdil (Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil).

 

Keutuhan dan keamanan bangsa dalam proses pemilu lima tahunan harus lebih diprioritaskan dan dijaga oleh semua anak bangsa tanpa terkecuali. Sebab itu netralitas, kejujuran, dan trasparansi pihak penyelanggara adalah sebuah keniscayaan.

 

Jika pemilu dilaksanakan secara jujur, adil, dan trasparan, tentu pihak yang kalah dalam kontestasi akan menerimanya dengan legowo. Berbeda jika ada kecurangan atau ada potensi kecurangan, ini akan menjadikan keadaan bangsa menjadi tidak kondusif.

 

Sebagai penyelenggara pemilu; KPU (Komisi Pemilihan Umum) sampai tingkat paling bawah, KPPS (kelompok Penyelengara Pemungutan Suara); Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sampai tingkatan terbawah, PTPS (Pengawas Tempat Pemungutan Suara), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus menjaga netralitas, bekerja sesuai regulasi yang telah ditetapkan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
 

 

Ketidakjujuran atau kecurangan akan berdampak buruk untuk bangsa. Selain itu, kecurangan dilarang agama dan haram hukumnya. Dalam Islam kecurangan atau ghassu (غش) difahami sebagai tindakan atau perilaku yang melanggar prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan transparansi. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Huhairah ra dijelaskan:
 



أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَل يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً، فَقَال: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَال: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُول اللَّهِ، قَال: أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنِّي. وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا


 

Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, kemudian beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah."

 

Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas makanan agar orang dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golonganku. Dalam hadits lain disebutkan: "Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami". (HR Muslim).


 

Sekilas hadits di atas konteksnya adalah jual beli, namun pemahamannya adalah dalam segala hal. Dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah dijelaskan:
 



اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْغِشَّ حَرَامٌ سَوَاءٌ أَكَانَ بِالْقَوْل أَمْ بِالْفِعْل، وَسَوَاءٌ أَكَانَ بِكِتْمَانِ الْعَيْبِ فِي الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ أَوِ الثَّمَنِ أَمْ بِالْكَذِبِ وَالْخَدِيعَةِ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ فِي الْمُعَامَلاَتِ أَمْ فِي غَيْرِهَا مِنَ الْمَشُورَةِ وَالنَّصِيحَةِ
 

Artinya: "Fuqaha' telah bersepakat bahwa kecurangan adalah haram; baik dengan ucapan ataupun tindakan; baik dengan menyembunyikan cacat pada barang yang dijual atau alat tukarnya, dengan berbohong atau tipuan; baik dalam transaksi atau selainnya seperti dalam musyawarah dan memberi nasihat."
 

 

Terkait dengan makna hadits 'مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنِّي' "barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami" , bukan berarti orang yang menipu atau berbuat curang itu kemudian keluar dari Ilam atau kafir.

 

Al-Khatabi berkata, makna hadits tersebut adalah, "Dia tidak menetapi perilaku dan jalan yang kami (Nabi Muhammad) ajarkan".


 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menipu atau berbuat kecurangan adalah dosa besar. Sebagian ulama menilai orang yang menipu atau berbuat curang, culas, dan tidak jujur sebagai orang fasik yang persaksiannya ditolak( Kementrian Waqaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XXXI halaman 219-220). 
 

 

Demikian tadi adalah ancaman bagi siapa saja yang berperilaku melanggar prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan transparansi. Menipu, memanipulasi atau membuat kecurangan adalah perbuatan haram, pelakunya mendapatkan dosa besar, dinyatakan sebagai orang fasik, dan melanggar ajaran Nabi Muhammad saw. 

 

Terakhir,  kecurangan dalam pemilu akan mencederai demokrasi, menghalangi lahirnya pemimpin-pemimpin yang terbaik untuk bangsa Indonesia, dan berpotensi mengancam keamananan dan kondusivitas bangsa. Wallahu a'lam bisshawab.

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo