Syariah

Posisi Makmum Perempuan di Tengah Jamaah Laki-laki menurut Para Ulama Fiqih

Kam, 27 April 2023 | 13:00 WIB

Posisi Makmum Perempuan di Tengah Jamaah Laki-laki menurut Para Ulama Fiqih

Ilustrasi perempuan sedang melaksanakan shalat berjamaah. (Foto: NU Online/Suwitno)

Belakangan ini viral di media sosial video yang memperlihatkan praktik shalat Idul Fitri yang tidak biasanya, yaitu seorang makmum perempuan diperkenankan berada di depan barisan jamaah laki-laki.

 

Sesungguhnya, yang menjadi sorotan dalam video tersebut tidak hanya masalah posisi perempuan yang ada di tengah jamaah laki-laki, tetapi juga bagaimana masalah keabsahan shalat mereka, bagaimana konsentrasi jamaah laki-laki yang ada di belakang makmum perempuan tersebut, bagaimana masalah jarak antara satu jamaah dengan jamaah yang lain, serta bagaimana posisi jamaah yang duduk di kursi, serta posisi imam yang didampingi dua makmum?

 

Kasus ini sontak menuai tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang melihatnya secara bijak dan objektif, namun ada pula cenderung menyalahkan bahkan menyesatkan.

 

Namun sebelum memvonis terlalu jauh, kiranya kita perlu mengetahui seperti apa pandangan ulama fikih dalam masalah ini. Bagaimana keabsahan shalat si perempuan tersebut dan jamaah laki-laki yang ada di samping dan di belakangnya.

 

Sebagaimana pendapat masyhur di kalangan para ulama fikih dan juga yang sudah berlaku di tengah masyarakat muslim, seorang makmum perempuan dewasa saat shalat diposisikan tepat di belakang imam, tidak di samping kiri atau kanannya. Kemudian, jika ada makmum laki-laki dewasa, makmum perempuan dewasa ditempatkan di belakang makmum laki-laki. Jika ada makmum laki-laki dewasa dan makmum anak laki-laki, maka makmum perempuan dewasa diposisikan di belakang makmum anak laki-laki. Jika ada makmum laki-laki dewasa, anak laki-laki, dan anak perempuan, maka makmum perempuan dewasa diposisikan di paling belakang. Artinya, posisi makmum perempuan berada paling belakang.

 

Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka hukumnya adalah makruh. Sementara melakukan perkara makruh pada saat berjamaah, akan menggugurkan keutamaan berjamaah meski status makruhnya hanya pada bagian yang dilanggarnya saja.

 

Sehingga jika makmum melakukan hal makruh, membarengi imam misalnya, maka pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyebutkan tidak merusak secara total. Alasannya adalah:

 

لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ فِي الْكُلِّ حَاصِلَةٌ حَقِيقَةً وَفَضْلُهَا حَاصِلٌ فِي الصَّلَاةِ فِي الْجُمْلَةِ عَلَى مَا اعْتَمَدَهُ الشَّارِحُ وَإِنْ فَاتَتْهُ الْفَضِيلَةُ فِيمَا قَارَنَ فِيهِ فَقَطْ

 

Artinya, “Berjamaah dalam keseluruhan shalat pada hakikatnya sudah tercapai. Demikian pula keutamaan shalat berjamaah secara keseluruhan sudah tercapai menurut pendapat yang dianggap mu’tamad oleh pensyarah kitab. Kendati, ada keutamaan yang kurang maka pada perbuatan shalat yang dibarengi makmum saja.” (Lihat: Syamsuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz II/152).


 
Meski hanya berstatus makruh, tetap saja namanya praktik shalat atau posisi makmum shalat yang tak biasa pasti mengundang pertanyaan dan keheranan dari masyarakat. Demikian halnya makmum perempuan yang posisinya berada di tengah jamaah laki-laki.

 

Menurut jumhur ulama fikih, untuk keabsahan berjamaah disyaratkan tidak ada makmum perempuan di antara makmum laki-laki dan imam. Sehingga jika ada makmum perempuan di tengah jamaah laki-laki hukumnya makruh, namun tidak sampai membatalkan shalat. Demikian seperti yang disebutkan dalam kitab al-Mausu‘ah al-Fiqhiyah.


      
يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الاِقْتِدَاءِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ (الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ) عَدَمُ تَوَسُّطِ النِّسَاءِ، فَإِنْ وَقَفَتِ الْمَرْأَةُ فِي صَفِّ الرَّجُل كُرِهَ، وَلَمْ تَبْطُل صَلاَتُهَا، وَلاَ صَلاَةُ مَنْ يَلِيهَا، وَلاَ مَنْ خَلْفَهَا. وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَعْتَرِضُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةً وَهُوَ يُصَلِّي. وَالنَّهْيُ لِلْكَرَاهَةِ، وَلِهَذَا لاَ تَفْسُدُ صَلاَتُهَا فَصَلاَةُ مَنْ يَلِيهَا أَوْلَى. وَهَكَذَا إِنْ كَانَ هُنَاكَ صَفٌّ تَامٌّ مِنَ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُ لاَ يَمْنَعُ اقْتِدَاءَ مَنْ خَلْفَهُنَّ مِنَ الرِّجَال. 

 

Artinya, “Untuk keabsahan bermakmum, menurut jumhur ulama (Malikiah, Syafi’iyah, dan Hanabilah), disyaratkan tidak ada makmum perempuan di antara imam dan makmum laki-laki. Sehingga, jika ada seorang makmum perempuan berdiri di barisan laki-laki, maka dimakruhkan. Namun, shalat perempuan itu, shalat makmum laki-laki yang ada di sekitarnya, dan shalat makmum laki-laki di belakangnya, tidak batal. Sudah ada dalil bahwa suatu ketika Siti Aisyah tidur di hadapan Rasulullah saw., sementara beliau sedang shalat. Maka, larangan perempuan berada di tengah jamaah laki-laki berstatus makruh. Jika, posisi itu tidak merusak (membatalkan) shalat si perempuan tersebut, maka apalagi shalat laki-laki yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain, jika ada barisan penuh perempuan dewasa, maka tidak sampai menghalangi bermakmumnya laki-laki di belakang mereka.” (Lihat: Tim Kementrian Wakaf dan Keislaman, al-Mausu‘ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Daru Salasil], 1427 H, jilid VI, halaman 26).

 

Namun, ulama mazhab Hanafi berpendapat sebaliknya. Justru untuk keabsahan shalat berjamaah disyaratkan tidak ada shaf perempuan di antara imam dan makmum laki-laki tanpa ada penghalang. Karena itu, mereka menyatakan, jika ada seorang makmum perempuan di tengah jamaah laki-laki, maka shalat tiga orang makmum laki-laki rusak. Kemudian, jika ada dua makmum perempuan, maka shalat empat orang makmum laki-laki yang ada di sekitarnya rusak. Berikut penjelasannya:

 

وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الاِقْتِدَاءِ أَلاَّ يَكُونَ بَيْنَ الْمُقْتَدِي وَالإْمَامِ صَفٌّ مِنَ النِّسَاءِ بِلاَ حَائِلٍ ، الْمَرْأَةُ الْوَاحِدَةُ تُفْسِدُ صَلاَةَ ثَلاَثَةٍ، وَاحِدٍ عَنْ يَمِينِهَا وَآخَرَ عَنْ يَسَارِهَا وَآخَرَ خَلْفَهَا، وَلاَ تُفْسِدُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. وَالْمَرْأَتَانِ تُفْسِدَانِ صَلاَةَ أَرْبَعَةٍ مِنَ الرِّجَال، وَاحِدٍ عَنْ يَمِينِهِمَا، وَآخَرَ عَنْ يَسَارِهِمَا، وَصَلاَةَ اثْنَيْنِ خَلْفَهُمَا. 

 

Artinya, “Ulama mazhab Hanafi berpendapat, untuk keabsahan bermakmum disyaratkan tidak ada shaf perempuan di antara makmum laki-laki dan imam tanpa penghalang. Sehingga satu orang makmum perempuan merusak shalat tiga orang makmum laki-laki, yaitu satu orang yang ada di sebelah kanannya, satu orang yang ada di sebelah kirinya, satu orang yang ada orang yang ada di belakangnya. Namun, tidak merusak melebihi jumlah itu. Kemudian, jika ada dua makmum perempuan merusak shalat empat orang laki-laki, yaitu satu orang di sebelah kanan keduanya, satu orang di sebelah kiri keduanya, dan dua orang di belakang keduanya.” (Lihat: Tim Kementerian Wakaf dan Keislaman, al-Mausu‘ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Daru Salasil], 1427 H, jilid VI, halaman 26).

 

Sementara jika ada satu shaf atau beberapa shaf laki-laki di belakang shaf perempuan, maka batal shalat jamaah laki-laki, kecuali keberadaan shaf laki-laki lebih panjang dari shaf perempuan. Maka sah shalat makmum yang keluar dari barisan perempuan. Dan sah pula shaf-shaf lain yang ada di belakang barisan panjang tersebut. (Lihat: Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i, Fathul-Aziz bi Syarhl-Wajiz, [Beirut: Darul Fikr], jilid IV, halaman 341).

 

Berdasarkan kutipan di atas, jumhur ulama yakni Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, posisi perempuan di tengah jamaah laki-laki hanya sekedar makruh dan tidak merusak keabsahan shalat jamaah laki-laki yang ada di sekitarnya. Berbeda halnya, menurut ulama Hanafi, posisi satu makmum perempuan di tengah jamaah laki-laki dapat merusak shalat tiga makmum laki-laki, yaitu yang ada di samping kanan, yang ada di samping kiri, dan yang ada di belakangnya.

 

Kendati hanya berstatus makruh menurut jumhur ulama, tetap saja posisi makmum perempuan di tengah jamaah laki-laki dan praktik shalat yang tak wajar lainnya, akan mengundang pro-kontra dan tanggapan negatif dari masyarakat. Sehingga perlu dihindari, terlebih posisi makmum perempuan di tengah makmum laki-laki bisa membatalkan tiga makmum di sekitarnya menurut ulama Hanafi.

 

Adapun riwayat Rasulullah saw. pernah shalat di hadapan Siti Aisyah yang sedang tidur, dan shalat depan perempuan oleh jumhur uilama hanya dihukumi makruh, kiranya cukup dimaklumi karena Siti Aisyah adalah istri Rasulullah saw. sendiri dan kekhusyuan shalat beliau tidak perlu diragukan. Sementara kekhusyuan umatnya, apalagi umat akhir zaman, masih dipertanyakan dan perlu diperbaiki, apalagi shalat mereka di depan perempuan yang bukan mahram dan bukan pula istri mereka. Hal itu hanya akan merusak konsentrasi dan kekhusyuan shalat mereka.

 

Makanya para ulama fikih sepakat, laki-laki tidak boleh bermakmum kepada perempuan. Sehingga jika ada makmum laki-laki yang tidak tahu shalat di belakang imam perempuan, wajib mengulangi shalatnya. Demikian yang dijelaskan para fikih:

 

وَلَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَ الْمَرْأَةِ لِمَا رَوَى جَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ  خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا تَؤُمَّنَّ الْمَرْأَةُ رَجُلًا " فَإِنْ صَلَّى خَلْفَهَا وَلَمْ يَعْلَمْ ثُمَّ عَلِمَ لَزِمَهُ الْإِعَادَةُ 

 

Artinya, “Tidak boleh laki-laki shalat (bermakmum) di belakang perempuan, berdasarkan hadis riwayat Jabir, “Rasulullah saw. berkhutbah di hadapan kami. Beliau menyampaikan, ‘Tidak boleh perempuan mengimami laki-laki.’ Artinya, jika ada laki-laki bermakmum di belakang perempuan, sementara ia tidak tahu, kemudian mengetahuinya, maka wajib baginya mengulang shalatnya.” (Lihat: Imam an-Nawawi, al-Muhadzab, jilid 4, halaman 254). Wallahu a’lam.

 

Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.