Syariah

Puasa Sunnah Tanggal 27 Rajab, Bolehkah? 

Sen, 5 Februari 2024 | 06:00 WIB

Puasa Sunnah Tanggal 27 Rajab, Bolehkah? 

Puasa 27 Rajab. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Puasa merupakan amalan yang sangat istimewa di sisi Allah swt. Puasa adalah ibadah yang dilakukan dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan seperti makan, minum, dan berhubungan seksual dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa memiliki banyak manfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat.


Puasa juga memberikan pahala dan ganjaran yang besar. Bahkan, Allah swt menyediakan pintu khusus di surga yang hanya bisa dimasuki oleh orang yang berpuasa. Hal ini telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:


كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
 

Artinya; "Setiap amalan kebaikan anak Adam (manusia) akan dilipatgandakan, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwatnya dan makannya karena-Ku." (HR Bukhari Muslim)


Hadits tersebut menyatakan bahwa puasa adalah ibadah yang sangat istimewa dan memiliki pahala yang besar. Puasa memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu pahalanya langsung dilipatgandakan oleh Allah swt. Hal ini karena puasa adalah ibadah yang dilakukan semata-mata untuk Allah swt. Orang yang berpuasa telah meninggalkan keinginannya untuk makan, minum, bahkan menahan hawa nafsunya, hanya karena Allah swt.


Hukum puasa sendiri beragam. Ada puasa yang diwajibkan seperti Puasa Bulan Ramadhan dan puasa yang disunnahkan seperti puasa-puasa di hari-hari atau momentum tertentu. Dalam tulisan ini akan dibahas puasa sunnah di hari tertentu yakni puasa sunnah 27 Rajab. Bagaimana sebenarnya hukum puasa pada tanggal ini?


Hukum puasa pada bulan Rajab, termasuk 27 Rajab hukumnya adalah sah dan diperbolehkan. Menurut Syekh Syatha ad Dimyati dalam kitab I'anah at Thalibin, Jilid II, halaman 307, menjelaskan bahwa waktu terbaik untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah selama bulan-bulan haram (asyhurul hurum). Di antara bulan-bulan haram tersebut, yang paling utama adalah Muharram, disusul Rajab, Dzulhijjah, Dzulqaidah, dan terakhir Sya'ban.


(فرع) أفضل الشهور للصوم بعد رمضان: الاشهر الحرم. وأفضلها المحرم، ثم رجب، ثم الحجة، ثم القعدة، ثم شهر شعبان


Artinya "(Cabang) Bulan-bulan terbaik untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah bulan-bulan haram. Bulan haram terbaik adalah Muharam, kemudian Rajab, kemudian Dzulhijjah, kemudian Dzulqa'dah, kemudian bulan Sya'ban."


Sementara itu, Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarah al-Muhadzab, Jilid VI, halaman 437 mengatakan bahwa dalam mazhab Syafi'i di antara puasa yang sunnah dikerjakan dan mendapatkan pahala yang besar adalah puasa di bulan-bulan haram, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bahkan, Al-Ruyani dalam kitab Al-Bahr mengatakan bahwa puasa bulan yang paling utama [setelah Ramadhan] adalah bulan Rajab. Meskipun pendapat ini dianggap lemah, tetapi tidak menafikan bahwa bulan Rajab termasuk bulan yang disunnahkan untuk berpuasa.


( فرع ) قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم ، وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب ، وأفضلها المحرم ، قال الروياني في البحر : أفضلها رجب ، وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم } 


Artinya: "(Ulama madzhab Syafi'i) berkata: "Termasuk puasa sunnah adalah puasa pada bulan-bulan haram, yaitu bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bulan Muharram adalah bulan yang paling utama di antara keempat bulan tersebut. Al-Ruyani dalam kitab Al-Bahr berkata: "Bulan Rajab adalah bulan yang paling utama." Pendapat ini keliru, karena ada hadits riwayat Abu Hurairah yang akan kami sebutkan insya Allah, yang berbunyi: "Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa bulan Allah, yaitu bulan Muharram"


Lebih lanjut dalam kitab Nihayatul Muhtja ila Syarah al Minhaj, Jilid III, halaman 212, Syekh Syamsuddin Ramli menyatakan kendati terdapat perselisihan di kalangan ulama tentang apakah bulan Rajab lebih utama daripada bulan-bulan haram lainnya, sebagian ulama berpendapat bahwa bulan Rajab lebih utama. Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa bulan-bulan haram lainnya sama utamanya dengan bulan Rajab. 


واعلم أن أفضل الشهور للصوم بعد رمضان الأشهر الحرم وأفضلها المحرم ثم رجب خروجا من خلاف من فضله على الأشهر الحرم ثم باقيها وظاهره الاستواء ثم شعبان لخبر { كان صلى الله عليه وسلم يصوم شعبان كله } 


Artinya: "Dan ketahuilah bahwa bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah bulan Ramadhan adalah bulan-bulan haram, dan bulan yang paling utama di antara bulan-bulan haram adalah bulan Muharram, kemudian bulan Rajab untuk keluar dari perbedaan pendapat tentang keutamaannya di atas bulan-bulan haram, kemudian bulan-bulan lainnya yang tampak sama keutamaannya, kemudian bulan Sya'ban karena hadits "Nabi SAW biasa berpuasa di bulan Sya'ban semuanya."


Pada sisi lain ada hadits yang menyatakan tentang keutamaan puasa pada tanggal 27 Rajab. Hadits ini menyatakan bahwa siapa saja yang berpuasa pada hari ke-27 bulan Rajab, maka Allah akan mencatat baginya pahala puasa selama 60 bulan. 


Selanjutnya, hari ke-27 bulan Rajab juga dikenal sebagai malam Isra' Mi'raj. Isra' Mi'raj adalah peristiwa di mana Nabi Muhammad dibawa oleh Allah dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, kemudian naik ke langit hingga Sidratul Muntaha. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi bersabda;


مَنْ صَامَ يَوْمَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ رَجَبِ كَتَبَ اللهُ لَهُ صِيَامَ سِتِّينَ شَهْرًا، وَهُوَ الْيَوْمُ الَّذِي هَبَطَ فِيهِ جِبْرَائِيلُ عَلَى مُحَمَّدٍ بِالرِّسَالَةِ.


Artinya: "Barangsiapa yang berpuasa pada hari ketujuh dan dua puluh bulan Rajab, maka Allah akan mencatat puasanya selama enam puluh bulan. Dan, itu adalah hari di mana Jibril turun kepada Muhammad dengan risalah."


Ibnu Hajar al-Asqallani dalam kitab Kitab Tabyinul 'Ajab Bima Warada fi Fadli Rajab, halaman 45, menyatakan bahwa hadits yang menyebutkan keutamaan puasa 27 Rajab diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dan sanadnya lemah (dlaif). Hal ini dikarenakan terdapat perawi bernama Muhammad bin Ja'far al-Madani, yang dinilai sebagai perawi yang lemah oleh para ulama hadits.


Meskipun demikian, Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar, mengatakan bahwa hadits dhaif tetap bisa diamalkan dalam rangka keutamaan amalan (fadhailul a'mal), selama hadits tersebut tidak palsu. Hal ini dikarenakan hadits lemah masih memiliki kemungkinan untuk benar, dan dapat memberikan motivasi kepada umat Islam untuk beribadah dan menjauhi dosa. Imam Nawawi berkata; 


 العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويُستحبُّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف، ما لم يكن موضوعًا


Artinya: "Para ulama dari kalangan ahli hadits, ahli fikih, dan lainnya berpendapat bahwa boleh dan dianjurkan untuk mengamalkan hadits lemah dalam hal keutamaan (fadhail), motivasi (targhib), dan ancaman (tarhib), selama hadits tersebut tidak maudhu' (palsu)."


Dengan demikian, bagi umat Islam yang ingin mengamalkan puasa 27 Rajab, maka hal tersebut diperbolehkan. Pun orang yang melaksanakan puasa tersebut akan mendapatkan pahala, terutama pahala puasa di bulan haram. 


Namun, perlu diingat bahwa hadits tersebut memiliki status lemah, sehingga tidak perlu terlalu berharap akan mendapatkan pahala yang besar dengan menjalankan ibadah tersebut.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat