Syariah

Sikap Menghadapi Kehilangan Anak dalam Islam

Kam, 24 Agustus 2023 | 19:00 WIB

Sikap Menghadapi Kehilangan Anak dalam Islam

Sikap Menghadapi Kehilangan Anak dalam Islam. (Foto: NU Online/Freepik)

"Aku merindukan suara langkah kecilnya yang riang di lorong rumah. Merindukan tangannya yang kecil menggenggam jemariku dengan erat, seolah-olah tidak ingin pernah melepaskan. Aku merindukan suaranya yang penuh kepolosan itu.


Tiap kenangan yang kami bagi seakan menjadi pedang bermata dua, yang satu sisi menghangatkan hatiku, tapi di sisi lain menusuk luka yang tak pernah sembuh. Aku merasa terluka. Rasanya seperti potongan diriku telah diambil dan ditinggalkan bersama dengan dirinya.


Pada malam-malam  yang sunyi, rasa rindu menjadi semakin kuat. Aku membayangkan bagaimana hidup akan berjalan jika ia masih ada di sampingku kelak. Apakah ia akan berkembang menjadi sosok yang kuat? Apakah ia akan mencapai impian-impiannya? Semua itu menjadi tanya tanpa jawaban, dan hanya ada kesedihan yang membekas dan hanya ada air mata yang tiada henti mengalir dari mata ku."


Begitulah cerita seorang teman, sembari berurai air mata beberapa waktu lalu. Ia baru saja kehilangan anak pertamanya. Seorang bayi perempuan cantik. Kulitnya putih. Senyumnya indah. Bayinya baru berumur 3 bulan. Kata dokter, anaknya terjangkit Sudden infant death syndrome [SIDS]. Penyakit gangguan metabolisme dan gangguan irama jantung yang membawa kembalinya bayi usia 2 sampai 4 bulan ke Sang Khalik.


Kematian pada anak merupakan duka yang mendalam. Kehilangan anak luka yang akan membekas hingga kapan pun. Wajar saja, ketika Henry Manamping, dalam buku Filosofi Teras, menyetir ungkapan bahwa tidak ada kesedihan yang lebih besar, dari kesedihan orang tua yang harus menguburkan anaknya. 


Anak yang dibesarkan dengan cinta dan kasih. Bangun di tengah malam, untuk sekadar memberikan ASI dan memandang wajah lugunya. Kerja pagi sampai malam, hanya untuk anak bisa membeli mainan.  Atau sengaja pulang cepat dari urusan kantor, hanya untuk melihat senyumnya. Tetiba harus terlihat tidak bergerak, kesakitan, dan kemudian harus ditanam oleh tangan sendiri. 


Kematian memang kejam. Kematian sebagai sesuatu yang datang dari luar diri kita, kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir edisi 22 Januari 2007. Kematian begitu cepat mencekik atau menebas leher. Semua manusia menolak  atas ajal. Tapi penampikan yang percuma. Toh pada akhirnya, kematian makin akrab dengan manusia. Saban hari kita melihat pilu, ratusan nyawa menghilang, bahkan ribuan jiwa mati, akibat flu burung, Covid-19, dan pesawat jatuh. Mungkin ini pengingat, maut tak pernah jauh. Maut sekeping bagian dari hidup. Bukankah sebelum ada, manusia didahului tiada.  


Lantas bagaimana solusi Islam, dalam menghadapi kehilangan anak? Apa langkah yang bisa dilakukan agar duka yang ada tidak semakin menganga, dan menjadikan diri tidak terkontrol? Pasalnya tak jarang akibat kematian anak, pasangan suami istri jadi tidak akur, hingga berujung pisah. Atau salah satunya, terjerumus pada hal buruk lain, misalnya narkoba, alkohol, atau juga bunuh diri. Naudzubillah.


Menghadapi Kehilangan Anak dalam Islam
 
Harus diakui, menghadapi kehilangan, terutama kehilangan anak akibat kematian, adalah salah satu pengalaman yang paling sulit dalam hidup seseorang. Butuh proses yang memerlukan waktu, dukungan, dan pengelolaan emosi yang kompleks. Setidaknya ada beberapa tips atau cara yang bisa dilakukan agar tidak larut dalam duka.


Pertama, silahkan bersedih, asalkan nalar tidak boleh diabaikan. Dukacita yang mendalam akan kehilangan seseorang itu sesuatu yang lumrah dan manusiawi. Tidak ada yang salah. Menangis akan kematian orang yang terkasih, dalam Islam, itu sesuatu hal yang wajar. Toh, manusia makhluk yang Allah titipkan cinta dan kasih dalam hatinya. Jika kekasihnya pergi, hati akan otomatis bersedih dan menangis.


Akan tetapi ketika kehilangan, jangan sampai terlelap dalam duka. Terlebih jika sampai jatuh dalam kondisi yang merusak diri. Berduka boleh, tetapi nalar juga harus dipakai. Dalam buku Filosofi Teras; Filsafat Yunani- Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini, halaman 206, bahwa seorang filsuf Seneca, dibuang di Pulau Corsica oleh Kaisar Claudius. Ia menyadari duka yang dirasakan ibunya yang masih hidup. Masa itu, pembuangan tidak akan tahu kapan berakhir hukumannya. Bisa saja yang dihukum tidak kembali lagi, atau mati di area pengasingan. 


Dalam pengasingan, Seneca menulis surat cinta pada ibunya tentang perpisahan antara anak dan ibunya. Seneca tahu akan kesedihan ibunya, tetapi ia tidak bisa membiarkan ibunya terlelap lama dengan kesedihan, padahal dunia akan terus berlanjut. 


Jangan engkau menggunakan alasan karena kamu perempuan, karena perempuan telah mendapatkan hak untuk berkabung di dalam air mata, tetapi tidak untuk selama-lamanya. Berduka yang tiada henti, atas kehilangan seseorang tercinta sesungguhnya adalah keegoisan yang bodoh. Jalan tengah terbaik antara kasih sayang dan akal sehat adalah untuk merasakan kehilangan dan di saat yang sama menaklukkannya. Dukacita yang dicoba ditutup-tutupi atau dialihkan perhatiannya akan terus kembali, dengan kekuatan yang lebih besar. Namun, dukacita yang telah ditaklukkan nalar akan tenang selamanya,”.


Dalam Al-Qur’an Q.S Al Jumu’ah [62] ayat 8, Allah berfirman;


قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ


Artinya; "Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya pasti akan menemuimu. Kamu kemudian akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.


Menurut Makki Ibn Abi Thalib dalam Kitab Al-Hidayah Ila Bulughi an Nihayah, [UE; University of Sharjah, 2008], halaman 7463, bahwa ayat ini menerangkan tentang kematian akan datang pada siapapun. Kendati pun mati itu sesuatu yang dibenci oleh manusia, akan tetapi ia akan datang pada manusia kendati manusia menghindarinya dengan cara bersembunyi. Ia berkata; 


قل لليهود - يا محمد -: إن الموت الذي تهربون منه وتكرهونه - لما قدمت أيديكم من الآثام - لا بد أن يحل بكم {ثُمَّ تُرَدُّونَ} - إذا متّمْ - {إلى عَالِمِ الغيب والشهادة}، أي: إلى الله الذي يعلم غيب السموات والأرض، ويعلم ما ظهر من ذلك، ويعلم ما أسررتم من أعمالكم وما أظهرتم فيجازيكم


Artinya; "Katakan kepada kaum Yahudi wahai Muhammad; “Kematian yang kalian lari darinya dan benci padanya - ketika tangan-tangan kalian telah menghampiri dosa-dosa - pasti akan tiba bagi kalian, kemudian kalian akan dikembalikan - saat kalian mati - kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yaitu kepada Allah yang mengetahui yang tersembunyi di langit dan bumi, Dia mengetahui apa yang tampak dari itu, dan Dia mengetahui apa yang kalian sembunyikan dari perbuatan kalian dan apa yang kalian perlihatkan, lalu Dia akan memberi balasan kepada kalian."


Kedua, tidak mengutuk diri. Dalam kehilangan dan kematian, terkadang orang menyalahkan diri dengan menyatakan hukuman dari Tuhan atas segala dosa yang dilakukan. Tak jarang kita dengar kalimat “anak saya meninggal akibat hukuman atas dosa dari Tuhan”, ketika ditinggal mati orang terkasih. Sikap ini akibat manusia sering kali suka menginterpretasikan dan memaknainya sendiri. 


Dalam Islam, tindakan mengutuk kematian dengan hukuman Tuhan dapat dianggap sebagai penolakan terhadap ketentuan Allah dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapinya. Islam mengajarkan bahwa manusia seharusnya tunduk dan pasrah terhadap kehendak Allah, termasuk dalam hal kematian. Mengutuk kematian dengan hukuman Tuhan juga bisa mencerminkan ketidakpuasan terhadap rencana-Nya, yang bertentangan dengan prinsip keimanan dan kepatuhan.


Lebih jauh lagi, tindakan ini dapat menciptakan rasa kebencian, permusuhan, dan sikap negatif terhadap orang yang telah meninggal. Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada semua orang, baik semasa hidup maupun setelah meninggal dunia. Mengutuk kematian tidak hanya merugikan pribadi yang melakukannya, tetapi juga menciptakan ketegangan dan konflik dalam masyarakat.


Dalam Q.S Az Zumar [39] ayat 30, Allah berfirman;


اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ


Artinya; "Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad akan) mati dan sesungguhnya mereka pun (akan) mati."


Syekh Fakruddin Ar Razi dalam kitab Mafatih al Ghaib halaman 451 mengatakan bahwa segala yang bernyawa pada hakikatnya akan mati. Tidak akan ada yang kebal dari kematian, setiap yang bernyawa akan hilang. Ruh akan kembali ke pemilik hakikatnya.  


وَقَوْلُهُ تَعَالَى: إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ أَيْ إِنَّكَ وَإِيَّاهُمْ، وَإِنْ كُنْتُمْ أَحْيَاءً فَإِنَّكَ وَإِيَّاهُمْ فِي أَعْدَادِ الْمَوْتَى، لِأَنَّ كُلَّ مَا هُوَ آتٍ آتٍ، ثُمَّ بَيَّنَ تَعَالَى نَوْعًا آخَرَ مِنْ قَبَائِحِ أَفْعَالِهِمْ، وَهُوَ أَنَّهُمْ يَكْذِبُونَ وَيَضُمُّونَ إِلَيْهِ أَنَّهُمْ يُكَذِّبُونَ الْقَائِلَ الْمُحِقَّ. أَمَّا أَنَّهُمْ يَكْذِبُونَ، فَهُوَ أَنَّهُمْ أَثْبَتُوا لِلَّهِ وَلَدًا وَشُرَكَاءَ. وَأَمَّا أَنَّهُمْ مُصِرُّونَ عَلَى تَكْذِيبِ الصَّادِقِينَ، فَلِأَنَّهُمْ يُكَذِّبُونَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ قِيَامِ الدَّلَالَةِ الْقَاطِعَةِ عَلَى كَوْنِهِ صَادِقًا فِي ادِّعَاءِ النُّبُوَّةِ،


Artinya; "Dan firman-Nya Yang Maha Tinggi: [Sesungguhnya Engkau (Muhammad) adalah termasuk orang yang mati dan sesungguhnya mereka juga mati]. Artinya, Engkau dan mereka sama-sama mati. Dan jika kamu termasuk orang-orang yang hidup, maka sesungguhnya Engkau dan mereka berada dalam jumlah orang mati. Karena segala yang hidup pasti akan mati. Kemudian Allah menjelaskan jenis lain dari perbuatan buruk mereka, yaitu bahwa mereka berdusta dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berdusta terhadap orang yang membantah kebenaran."


Penting untuk dicatat, kematian dengan hukuman Tuhan dapat menyebabkan penderitaan emosional bagi keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan oleh almarhum. Sikap seperti ini tidak sesuai dengan etika Islam yang mengajarkan untuk memberikan dukungan, penghiburan, dan doa kepada mereka yang berduka. Untuk itu, sikap baik terhadap kematian adalah mendoakan perlindungan dan pengampunan bagi almarhum. 


Ketiga, ikhlas. Dalam Islam, tentu saja agama lain, kematian pada hakikatnya adalah ujian dari Tuhan untuk mengukur keimanan seseorang. Pun sejatinya, kematian adalah bagian alami dari siklus kehidupan manusia yang tak terelakkan. Setiap insan yang hidup pasti akan mengalami momen ini. Dalam konteks Islam, pandangan terhadap kematian dihubungkan dengan keyakinan kepada Allah SWT dan tatanan-Nya dalam penciptaan serta penghancuran.


Dalam Islam, hidup di dunia ini adalah ujian, dan kematian adalah perpindahan menuju kehidupan yang lebih abadi, yaitu kehidupan akhirat. Kematian bukanlah akhir segalanya, melainkan peralihan menuju pengadilan Allah terhadap amal perbuatan manusia. Karena itulah, ikhlas dalam menerima kematian dihubungkan dengan kesadaran akan sementara dan fana nya kehidupan di dunia serta persiapan untuk menghadapi pengadilan di hadapan Allah.


Di dunia ini, tujuan hidup manusia untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Ini berarti bahwa setiap tindakan, termasuk cara menghadapi kematian, harus didasarkan pada niat yang tulus untuk memperoleh keridhaan Allah semata, bukan untuk memperoleh pujian atau pengakuan dari manusia lain. 


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ


Artinya; "Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar. "


Dalam Tafsir Al-Baghawi Jilid 1, halaman 169 dijelaskan maksud dari “anfus” dalam ayat ini ialah manusia akan diuji dengan pembunuhan dan kematian. Keduanya, adalah ujian dari Allah untuk manusia, dan kelak berbahagialah orang yang ikhlas. Sejatinya, ikhlas dalam menerima kematian adalah melalui kesabaran dan reda terhadap takdir yang Allah tetapkan. 


{وَالْأَنْفُسِ} يَعْنِي بِالْقَتْلِ وَالْمَوْتِ وَقِيلَ بِالْمَرَضِ وَالشَّيْبِ


Artinya; "[mengujimu dengan jiwa] maksudnya pembunuhan, kematian, atau bahkan penyakit dan uban."


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian tafsir, tinggal di Ciputat